Menanti Sunset di Desa Lonthoir Banda Besar dengan Latar Gunung Api

Pulau Banda Besar merupakan pulau terbesar dari sekian pulau yang masuk di dalam gugusan Kepulauan Banda di Propinsi Maluku. Banda Besar terletak di seberang Banda Neira. Kedua pulau ini dipisahkan oleh laguna yang berwarna biru kehijau-hijauan. Jadi jika ingin ke Banda Besar, tak ada cara lain selain naik perahu atau kapal. Pulau Banda Besar yang bentuknya mirip bulan sabit ini, luasnya sekitar 2.800 Ha. Di kawasan yang luas itu, terdapat beberapa desa diantaranya Desa Lonthoir (Lontor) yang lokasinya berhadapan langsung dengan Gunung Api Banda. Menanti sunset di lokasi yang berada di antara gunung itu dengan Desa Lonthoir, pasti seru banget!

Perkebunan Pala terbesar ada di Pulau Banda Besar

Kapal yang mengantarku menyeberang ke Banda Besar dan Desa Lonthoir
Kapal yang mengantarku menyeberang ke Banda Besar dan Desa Lonthoir

Jam 6 pagi saya sudah siap di dermaga yang berada di samping penginapan. Kali ini saya akan mengeksplor Banda Besar ditemani Saiful. Tidak sampai 20 menit kami sudah sampai di dermaga Banda Besar. Hampir sebagian besar daerah ini dipenuhi pohon pala sekaligus pohon kenari yang akarnya tampak menonjol keluar, besar dan kokoh. Fungsi pohon kenari itu tak lain sebagai pelindung bagi pohon-pohon pala yang tumbuh subur di sekitarnya. Selama di pulau ini saya berjalan kaki sambil menikmati semilir angin, suara-suara burung berkicau, pemandangan pantai yang cantik, buah-buah pala yang menyembul diantara daun-daun, dan suasana yang asri.

Dermaga di Banda Besar
Dermaga di Banda Besar

Dari cerita Saiful, saya jadi tahu kalau di Banda Besar ini para turis asing (kebanyakan dari Belanda) duduk-duduk santai di kebun pala sambil menikmati wine.
“Dulu perekonomian Belanda diatur dari Banda. Nenek moyang anda sukses membangun Belanda melalui keuntungan besar dari perdagangan pala. Sekarang setelah merdeka, kenapa pemerintah kami tidak sehebat nenek moyang anda?” Tanya Saiful kepada para turis asal Belanda.
Yang kemudian dijawab beramai-ramai oleh mereka. “Oh, kalau begitu, ijinkan kami menjadi tuan di tempat anda lagi…”

BACA JUGA: Wisata Sejarah di Banda Neira Dari Istana Mini Sampai Benteng Belgica

Hahaha… Enak aja, kata saya dalam hati. Tapi begitulah penggalan tanya-jawab bernada humor yang terselip disela-sela percakapan antara Saiful dengan para turis dari Belanda saat mereka menyusuri perkebunan pala yang sangat luas (nutmeg plantation). Dan tentu, masih banyak pertanyaan bernada humor lainnya, seperti misalnya, ‘Apakah mereka masih berniat menukar Pulau Run dengan New Amsterdam seperti nenek moyangnya dulu?’ Yang tentunya dijawab dengan penolakan keras oleh para turis asing itu. Saya sampai terbahak ketika Saiful menceritakan percakapan itu. Saiful memang sudah berkali-kali menjadi pemandu wisata bagi wisatawan asing yang ingin mengenang sejarah dan mengenal lebih dekat Banda Neira. Dan Pulau Banda besar merupakan salah satu tujuan utama dalam lawatan para turis yang kebanyakan sudah lanjut usia tersebut.

Jalan setapak di tengah perkebunan pala di Banda Besar
Jalan setapak di tengah perkebunan pala di Banda Besar

Paling cakep datang ke Banda Besar itu pas di saat musim panen pala tiba. Kita bisa menyaksikan langsung bagaimana warga setempat memanen pala. Sayang, saya datang ke sini pas musim panen raya baru saja usai. Saya hanya bisa membayangkan pasti sangat ramai dan menyenangkan bisa menikmati dan melihat langsung suasana panen raya. Musim panen pala terjadi sebanyak 4 kali di pulau Banda Besar ini. Musim panen kecil terjadi 3 kali dalam setahun dan panen besar hanya terjadi setahun sekali di saat pala berbuah sangat lebat. Bisa memetik buah pala langsung dari pohonnya pastinya memunculkan sensasi tersendiri. Sayang sekali, saya datang berkunjung bukan di saat musim panen sedang berlangsung.

BACA JUGA: Ke Makassar Mengenang Masa Kejayaannya

Hampir selalu ada pemandangan pala yang sedang dijemur di Lonthoir Banda Besar
Hampir selalu ada pemandangan pala yang sedang dijemur di Lonthoir Banda Besar

Dahulu, di jaman kolonial Belanda, panen dilakukan secara beramai-ramai oleh seluruh pekerja perkebunan. Saat itu, setiap perkernir (pemilik perkebunan) memiliki rumah tinggal semacam asrama barak (perek) yang dihuni para pekerjanya. Mereka bekerja kepada tuannya berdasarkan cluster dan lokasi pemilik perkebunan. Setelah merdeka, para pekerja itu tidak lagi tinggal di perek, melainkan mendirikan rumah di sekitar perek. Dan para buruh yang semula bekerja di lahan tuannya itu, pada akhirnya menjadi pemilik kebun-kebun pala. Sekarang, pemilik perkebunan pala di Pulau Banda adalah mereka para anak-cucu keturunan dari orang tua yang pada jaman kolonial dulu bekerja di perkebunan pala. Sehingga saat musim panen tiba, memanen pala dilakukan secara beramai-ramai oleh masing-masing keluarga pemilik blok (lahan) perkebunan.

 

Keindahan Sunset di Perairan Desa Lonthoir

Satu-satunya jalan yang ada menuju Desa Lonthoir bagian dalam
Satu-satunya jalan yang ada menuju Desa Lonthoir bagian dalam

Puas menyusuri kebun-kebun pala di Banda Besar, kami kembali menaiki kapal untuk melanjutkan perjalanan menuju Desa Lonthoir. Dari dermaga Banda Besar, saya harus naik kapal ke arah timur. Tak sampai 20 menit saya sampai di dermaga desa yang warganya tersebar sebagian tinggal di kawasan perbukitan, sebagian lagi tinggal di pesisir atau dekat pantai. Saya sempat ternganga-nganga ketika turun dari kapal. Soalnya penampakan Gunung Api Banda itu dekat banget. Gede banget gunungnya, karena seolah ada di depan mata persis.

BACA JUGA: Begini Pesona Bawah Laut Nusa Telu Maluku

Benteng Hollandia di Desa Lonthoir yang tinggal puing-puing
Benteng Hollandia di Desa Lonthoir yang tinggal puing-puing reruntuhan

Tujuan utama saya datang ke Desa Lonthoir, yaitu mendatangi Benteng Hollandia. Benteng ini berlokasi di lokasi paling tinggi di Desa Lontor (Lonthoir. Selama dalam perjalanan menuju ke banteng, saya sempat memperhatikan kalau desa ini juga banyak ditumbuhi pohon pala. Desa Lontor ini termasuk pemukiman yang padat penduduk dan tampaknya tengah membangun jalur transportasi darat. Meskipun, saat itu saya melihat hanya ada satu truk saja yang mengangkut bahan material jalan. Warganya mendiami rumah-rumah dari pinggir pantai sampai ke atas bukit. Uniknya, bentuk rumah dan perabotannya hampir mirip-mirip satu sama lain. Tidak tampak jurang perbedaan antara yang miskin dan yang kaya.

Dermaga Desa Lonthoir. Gunung Api Banda itu begitu dekat dari sini.
Dermaga Desa Lonthoir. Gunung Api Banda itu begitu dekat dari sini.

Satu-satunya cara untuk sampai ke Benteng Hollandia, kita harus berjalan kaki menaiki anak tangga yang jumlahnya sekitar 300 buah. Saya sempat menyangsikan jumlahnya, tapi Saiful menyuruh saya menghitung sendiri. Males banget. Hahaha… Anak-anak tangga itu merupakan jalan utama bagi warga desa Lonthoir, jadi mau tidak mau saat kita berada di Lonthoir, kita pasti melewatinya. Anak tangga yang dibangun oleh Belanda pada tahun 1642 ini, tampak masih kokoh dan kuat.

Perigi Keramat tempat warga Desa Lonthoir mengambil air tawar
Perigi Keramat tempat warga Desa Lonthoir mengambil air tawar

Selesai melewati anak tangga, saya sempat melewati Perigi Keramat. Perigi ini dianggap keramat oleh warga desa setempat. Ketika saya mencoba mendekat, Saiful mengingatkan agar saya tak perlu mendekat dan cukup melihat saja dari jauh. Sayapun tak hendak melwan. Kebetulan saat itu kondisi sedang ramai-ramainya. Para warga tengah sibuk menimba air dari satu-satunya sumur di desa itu yang menyediakan air tawar. Maka sayapun segera melanjutkan perjalanan. Sekitar 15 menit dari lokasi ini, akhirnya sampailah saya ke lokasi Benteng Hollandia. Saya sempat kecewa, karena ternyata banteng yang sudah dijadikan cagar alam ini kondisi bangunannya sudah tidak utuh lagi dan kurang terawat. Bentuknya sudah bukan banteng lagi. Mirip-miriplah dengan kondisi Benteng Nassau. Beberapa pohon pala tumbuh liar di dalam lokasi benteng.

Saya terkesima oleh keindahan pemandangan dari atas bukit Desa Lonthoir, persis di depan Benteng Hollandia
Saya terkesima oleh keindahan pemandangan dari atas bukit Desa Lonthoir, persis di depan Benteng Hollandia

Satu hal yang membuat saya hampir mati kegirangan adalah dari lokasi di depan Benteng Hollandia, saya bisa melihat pemandangan yang sungguh mempesona. Jantung saya hampir berhenti dibuatnya. Pemandangan yang terhampar, merupakan kolaborasi antara pemandangan dari Pulau Gunung Api, warna laut yang biru kehijau-hijauan, batu-batu di pinggir pantai, dan pohon-pohon pala. Saya jadi bisa memahami mengapa Belanda mendirikan sebuah benteng di lokasi strategis ini. Karena dari lokasi itu, mereka lebih mudah memonitor lalu lintas dan aktivitas perdagangan pala dan fuli yang melintasi selat antara Neira dan Lontor.

Matahari mulai terbenam di perarian Desa Lonthoir Banda Besar
Matahari mulai terbenam di perarian Desa Lonthoir Banda Besar

Saya masih ingin berlama-lama di tempat itu, tapi Saiful mengingatkan bahwa sebentar lagi petang akan menjelang, rugi besar kalau tidak kebagian panorama matahari tenggelam. Akhirnya kami bergegas turun untuk menaiki perahu kembali. Kami menunggu hadirnya matahari terbenam atas lautBaBg lokasinya berada di tengah-tengah antara Desa Lontor dengan Pulau Gunung Api. Saiful mencari posisi yang pas untuk melihat sunset lalu segera menurunkan jangkar kapalnya. Sembari menunggu sunset, saya menyiapkan kamera, sementara Saiful malah menyiapkan alat pancingnya. Lumayan, kalau dapat bisa untuk sarapan besok, katanya. Hahaha…

Sunset yang kece di perairan Desa Lonthoir, Banda Besar
Sunset yang kece di perairan Desa Lonthoir, Banda Besar

Sunset yang kami tunggu-tunggu akhirnya muncul juga. Semburat warna merah jingga muncul di atas perairan antara Pulau Ay dan Pulau Run. Ya Tuhan, indah sekali! Saya segera mengambil beberapa gambar, sementara Saiful masih tetap asyik memancing. Kami bersiap kembali pulang, ketika sunset sudah benar-benar tenggelam.

 

***

Writer. Lecturer. Travel Blogger. Broadcaster

Related Posts