Perjalanan saya ke Pulau Nusa Telu ini merupakan satu dari sekian perjalanan yang sebelumnya tidak masuk dalam rencana. Tapi berhubung Wildan dan Ofu, teman-teman dari MDPI, akan mengadakan penelitian ke Desa Asilulu, sayapun tak bisa menolak ajakan mereka. Sebelum kesana, saya menyempatkan diri mencari informasi melalui internet tentang keberadaan pulau Nusa Telu, tapi informasinya masih sangat minim.
Namun, Adlina dengan meyakinkan bilang, kalau bawah laut pulau itu sangat cantik. Meskipun di dalam pikiran, saya masih mengira-ngira cantik seperti apa ya? Lokasinya dimana tepatnya? Perjalanannya seperti apa?
Astaga! Saya tak menyangka kalau ternyata saya harus melewati 2 desa yang membuat saya agak sedikit was-was. Eh, ada apa sih?
Boleh dibilang, Desa Asilulu merupakan pintu masuk ke Kepulauan Nusa Telu. Untuk sampai ke desa itu, saya, Wildan dan Ofu berangkat naik angkutan umum dari terminal Mardika. Kendaraan pun mulai melaju meninggalkan pusat kota, melewati jazirah Hitu dan Hila.
Begitu melewati Negeri Lima, saya mulai terkaget-kaget. Oh ternyata, saya harus melewati daerah yang tahun 2013 lalu diberitakan tersapu bersih ke laut karena jebolnya bendungan alam Way Ela.
Jalanan yang kami lewati kondisinya memprihatinkan, di sisi kiri jalan terlihat area yang dipenuhi puing-puing dan batu-batu yang berserakan, meskipun di sisi kiri jalan saya bisa menikmati pemandangan teluk Ambon yang indah.
Baca juga: Destinasi menarik di Pantai Ora Maluku
Pemandangan memprihatinkan kembali saya temui saat melewati Desa Seith. Di desa itu terlihat beberapa rumah yang rusak parah dan habis terbakar, akibat amukan dari dua desa tetangga yang saling bertikai pada bulan Agustus tahun lalu. Memang, kondisi saat itu sudah kondusif, meskipun masih terlihat aparat yang bertugas di beberapa pos keamanan menuju Desa Asilulu.
Setelah menempuh sekitar dua jam perjalanan, sampai jugalah kami di Desa Asilulu. Tercium aroma rempah-rempah sangat kental sekali memasuki desa itu. Rupanya para warga setempat menjemur hasil panen cengkeh dan biji pala. Desa Asilulu merupakan pemukiman warga muslim di Maluku. Desa itu menempati lokasi di sepanjang pinggiran pantai yang lautnya berwarna biru kehijau-hijauan lengkap dengan karang-karang dan bebatuan. Tak heran jika sebagian besar warga di sini bermatapencaharian sebagai nelayan.
Begitu sampai, saya langsung diajak ke sebuah rumah yang biasanya jadi semacam basecamp untuk penelitian dan diskusi oleh teman-teman MDPI. Ofu sempat mampir ke warung untuk membeli mie instan. Tak ada warung makan di desa ini, begitu jelasnya. Selain tak ada warung makan, tampaknya desa ini juga tidak menyediakan fasilitas hotel atau penginapan. Tapi mungkin, jika ada yang tertarik ke sini, bisa menginap di rumah-rumah warga. Percayalah, warga di sini ramah-ramah dan murah hati.
Baca juga: Ora Beach Resort, semakin terpana akan pesonanya
Sembari menghirup secangkir teh manis, kami merencanakan ke Nusa Telu besok paginya. Setelah sepakat, Ode dan Wildan lalu terlibat perbincangan serius terkait penelitian ikan dan nelayan. Saya kurang begitu paham, akhirnya saya minta ijin untuk berkeliling desa sambil berburu sunset. Begitu pamit, Ofu berpesan, jika ada yang bertanya beritahu kalau saya menginap di rumahnya. Saya mengiyakan sambil melenggang menenteng kamera andalan.
Motivasi berburu sunset, membawa saya ke lokasi belakang rumah milik salah satu warga. Posisi di situ, merupakan posisi yang paling tepat untuk menyaksikan panorama matahari terbenam diantara Pulau Nusa Dua dan Pulau Nusa Tiga. Saya menyapa dan meminta ijin pada dua perempuan yang saat itu sedang berbincang sambil melipat jemuran. Jangankan cuma mengijinkan, malah pemilik rumah itu menyuruh salah satu anaknya untuk memanjat pohon kelapa. Dua kelapa muda langsung disodorkan ke saya. Sayang kan, kalau sampai ditolak? Duduk-duduk di tepi pantai, ngobrol-ngobrol ringan, menikmati kelapa muda, sembari menunggu sunset, sungguh merupakan sore yang sempurna.
Baca juga: Abda’u, tradisi mistis Hari Raya Idul Adha di Negeri Tulehu, Ambon.
Selesai mengambil beberapa foto sunset, saya berpamitan sambil tak lupa mengucapkan terimakasih. Tak habis-habis kebaikan pemilik rumah itu, karena saya sempat ditawari untuk menginap juga di rumahnya. Tuh apa saya bilang, warga sini murah hati, kan?
Keesokan harinya, setelah saya selesai masak tumis kangkung dan ikan goreng (iya, saya di sini masak lho!), saya menanyakan kapan akan berangkat ke Nusa Telu. Ternyata, diskusi antara Wildan dan Ofu kemarin belum selesai. Tak ingin mengganggu pekerjaan mereka, maka setelah makan pagi bersama saya minta ijin mereka untuk menyambangi Masjid Tua Wapaue dan Benteng Amsterdam. Dua tempat bersejarah ini membuat saya puas lahir batin. Tapi kisahnya akan saya bagikan di artikel lain ya?
Saya sudah tak sabar untuk menyelami bawah laut Nusa Telu yang katanya cantik tiada tara itu. Maka sepulang dari Masjid Wapaeu dan Benteng Amsterdam, dengan sedikit memaksa saya mengajak segera berangkat ke sana. Tau deh, apakah Wildan dan Ofu diskusinya sudah selesai atau belum. Hihihi…
Sebenarnya yang dimaksud Pulau Nusa Telu atau Pulau Tiga merupakan gugusan elok tiga pulau yang terdiri dari Nusa Lain (Pulau Satu), Nusa Hatala (Pulau Dua) dan Nusa Ela (Pulau Tiga). Dari ketiga pulau itu, hanya Pulau Dua yang tidak berpenghuni. Kesinilah kami bertiga akan menyelami bawah lautnya.
Dari Desa Asilulu sampai ke Nusa Hatala (Pulau Dua) sebenarnya hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Cuma yang bikin saya agak ngeri, kesananya kita naik kapal ketingting. Warga di sini menyebutnya dengan sebutan bodi. Perahu ini bentuknya kecil, muat hanya sekitar 5 orang, dan bila ada ombak agak kencang atau ada salah satu penumpang yang bergerak keras ke kiri atau kanan, perahu itu akan oleng mengikuti gerakan. Tentu saja, kedua tangan saya berpegang erat pada bahu kanan dan kiri kapal demi menjaga keseimbangan.
Sampai di Pulau Dua (Nusa Hatala), nelayan yang mengantar kami langsung pergi lagi untuk menangkap ikan setelah berjanji akan menjemput sebelum waktu maghrib tiba. Di pulau tak berpenghuni ini, kami disambut oleh keindahan karang-karang di tepi pantai, tebing batu, air lautnya yang bening, serta pasirnya yang putih. Pasirnya tak begitu halus, banyak kerikil-kerikil kecil putih. Jadi agak sakit kalau kaki kita telanjang.
Sambil menyiapkan alat snorkel dan kamera under-water, saya memperhatikan pohon-pohon besar yang tumbuh di antara batu-batu karang di atas bukit. Sebenarnya saya penasaran ingin menaiki bukit itu, tapi kedua teman saya meneraikan kekaguman atas keindahan biota laut Nusa Hatala yang luar biasa. Wah, seindah apa sih? Saya jadi gak sabar untuk segera nyebur.
Begitu saya memasuki dalam air, tampak jelas kalau terumbu karang di sini masih sangat bagus. Dalam lautnya masih sangat bersih, masih perawan kalau banyak orang bilang. Mungkin masih belum banyak traveler yang menyambangi pulau ini ya? Dan biarpun pantainya banyak karang, namun daerah dangkal lautnya lumayan luas.
Beberapa rombongan ikan kecil warna-warni berenang mendekati pantai seolah tak terganggu oleh kehadiran kami. Remah-remah roti yang saya sodorkan, langsung dilahap dalam waktu singkat. Semakin agak ke dalam, saya bisa melihat dengan jelas beberapa terumbu karang. Entahlah apa nama jenis terumbu karang itu. Apakah Acropora Millepora, atau Montipora Stilosa, atau Pectinia Lactuca, atau yang lain. Saya kurang begitu paham. Mungkin lain kali kalau nyelem kudu ngajak teman yang pakar beginian. Yang saya tahu pasti, di situ banyak terumbu karang kecil yang mulai terbentuk.
Selain ikan yang berwarna-warni, terlihat juga beberapa bintang laut berwarna biru cerah. Dan beberapa jenis ikan yang saya )lagi-lagi) kurang paham apa namanya. Namun, agak ke dalam lagi, ada seekor ikan yang bentuknya seperti monster namun mukanya agak bodoh. Hihihi… Warnanya pink keabu-abuan seolah sedang menyamar untuk menyembunyikan dirinya di antara terumbu karang. Populasi ikan di Pulau Dua memang tergolong tinggi dan memiliki potensi biota laut yang mempesona.
Tak terasa hari sudah menjelang sore, kami segera naik ke bibir pantai. Brrr… dingin! Dan ternyata di situ sudah ada 2 nelayan yang mencoba menangkap ikan dengan cara menusuk-nusukan lembing tajam. Sementara seorang lainnya, anak kecil belasan tahun, berhasil menangkap seekor butterflyfish tanpa menggunakan alat apapun, hanya dengan tangannya. Membuat saya terkagum-kagum. Sama halnya kekaguman yang saya tujukan untuk Ofu, yang bisa menyelam di kedalaman sekian meter tanpa menggunakan perangkat apapun. Tanpa goggle, tanpa kaki katak pula. Ckk… ckkk… hebat euy!
Sambil menunggu jemputan kapal nelayan, kami bertiga istriahat sembari mengunyah cemilan karena lapar. Sesaat kemudian nelayan yang mengantarkan kami pulang sudah sampai. Di perahunya, ada dua ember ikan tuna. Kami membeli sekilo untuk persiapan makan malam nanti. Gak mahal, sekilo cuma Rp 10.000,- saja. Tak heran, selama di Maluku timbangan saya naik beberapa kilo. Hahaha…