Abda’u, Tradisi Mistis Hari Raya Idul Adha di Negeri Tulehu

Tulehu.

Ada yang masih asing mendengar nama Tulehu? Mungkin ada sebagian. Tapi kalau sudah pernah nonton film “Cahaya Dari Timur” pastinya sudah gak asing lagi dengan nama Tulehu. Karena film ini berangkat dari kisah nyata anak-anak remaja yang berasal dari negeri Tulehu. Dimana anak-anak berusia 15-an tahun ini, berhasil mengantar Maluku menjuarai Piala Medco U-15 2006. Itu sebabnya, Tulehu lebih dikenal sebagai kampung bola. Bahkan beberapa pemain sepak bola nasional lahir dari desa ini.

Tulehu berlokasi di sebelah timur kota Ambon dan berada di tepi pantai kecamatan Salahutu. Di sebelah utara berbatasan dengan laut, di sebelah timur berbatasan dengan negeri Tengah-tengah, di sebelah selatan berbatasan dengan negeri Suli dan negeri Passo, dan di sebelah barat berbatasan dengan negeri Waai. Kalau dari pusat kota Ambon, jaraknya sekitar 25 kilo. Atau kalau berkendara, dapat ditempuh dalam kurun waktu kurang dari 1 jam.

Anak-anak Tulehu bermain di tepi pantai
Anak-anak Tulehu bermain di tepi pantai di kampung mereka

Tulehu merupakan negeri adat dan sekaligus ibu kota Kecamatan Sala Hutu, Maluku Tengah (Masohi). Negeri Tulehu berada di tepi pantai kecamatan Salahutu, kabupaten Maluku Tengah. Warga Tulehu yang sebagian besar warganya beragama Islam, merupakan campuran antara penduduk asli dan pendatang yang menetap dan memiliki tempat tinggal yang sah. Mereka terdiri dari warga asli Sulawesi Tenggara (Buton), warga asal Sumatera, warga asal Cina, warga asal Arab, dan dari daerah-daerah Pulau Lease lainnya.

Suatu kali, saat saya sedang berada di Ambon, seorang kawan baik mengajak saya berkunjung dan menginap di rumah pamannya yang tinggal di desa Tulehu. Kebetulan besok Hari Raya Idul Adha, sehingga ia libur dan berkenan mengantar saya ke sana. Katanya, “Kamu pasti akan berterimakasih kepadaku karena nanti bisa melihat langsung atraksi unik Abda’u!” Saya mengernyitkan dahi. Abda’u?

Masjid Jami Tulehu
Masjid Jami Tulehu

Saya suka tata letak rumah-rumah warga di kampung Tulehu. Rumah antar warga saling berdekatan dan tak ada pagar pembatas. Setiap warga bisa saling menyapa. Keakraban sangat kental saya rasakan. Demikian juga keakraban yang saya terima dari keluarga paman teman saya itu. Kebetulan sang paman juga salah satu tetua di kampung itu. Saya banyak mendapat cerita tentang kisah-kisah leluhur Tulehe melalui lagu-lagu yang dinyanyikannya. Lagu-lagu itu memakai bahasa asli Tulehu. Mereka menyebutnya sebagai bahasa tanah. Bahasa itu hanya diketahui oleh orang-orang tertentu saja. Entahlah apa makna lirik lagu yang dinyanyikan sang paman. Dan bahkan judul lagunya pun saya tak tahu. Tapi mendengar lagu itu dinyanyikan, seolah batin saya ikut tersayat-sayat. Lagu yang liriknya memakai bahasa tanah itu, ternyata dapat dipahami batin saya.

Hari Raya Idul Adha di Tulehu

Sekitar jam 6 pagi waktu setempat, seluruh keluarga sang paman sudah rapi dan wangi. Sayapun juga demikian. Kami meninggalkan rumah dan berjalan kaki beriringan menuju masjid Jami Tulehu untuk menjalankan ibadah salat Hari Raya Idul Adha. Selesai salat Ied, kami langsung pulang dan melanjutkan obrolan yang kemarin sempat tertunda. Tentunya, sembari menunggu kapan Festival Abda’u segera dimulai.

Abda’u.

Tradisi Abda'u, festival saat perayaan Hari raya Idul Adha
Tradisi Abda’u selain memikat perhatian warga setempat, juga memikat pengunjung dari luar negeri

Di sebuah lapangan depan masjid Tulehu, ratusan pria dari anak kecil hingga dewasa saling dorong, saling sikut, ada juga yang menaiki punggung kawannya, ada yang jatuh ke tanah, terinjak-injak. Apakah mereka sedang baku hantam? Tidak. Mereka tengah menjalani ritual adat di negerinya yang merupakan rangkaian Festival Abda’u. Uniknya, meskipun beberapa orang terjatuh ke tanah, tak satupun yang mengalami luka-luka. Selain ritual Abdau, masih ada atraksi unik lainnya, seperti: Bambu Gila, Debus, dll.

Ratusan pria orang yang terdiri dari anak-anak kecil hingga orang dewasa berlarian sekuat tenaga dan melompat sambil berteriak-teriak. Beberapa ada yang menaiki punggung kawannya, dan beberapa lagi ada juga yang sampai melompati pagar sampai atap rumah. Mereka saling berdesakan dengan wajah gusar. Apakah sedang terjadi bencana alam? Atau sedang terjadi baku hantam antar warga desa?

Tradisi Abda'u di Tulehu saat Hari Raya Idul Adha
Saling beradu otot untuk meraih bendera bertuliskan ‘Lailahaillallah Muhammadarrasulullah’

Oh, bukan. Mereka tidak sedang berkelahi, melainkan sedang memperebutkan bendera warna hijau berenda kuning yang dikaitkan ke tongkat bambu. Warna hijau melambangkan kesuburan, sementara warna kuning melambangkan kemakmuran. Di bendera itu terdapat tulisan yang memiliki arti ‘Kami bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.’

Sekitar jam 3-4 sore, seluruh warga Tulehu dan warga Ambon dari berbagai penjuru kota berkumpul dan tumpah ruah di sebuah lapangan yang lokasinya berada di depan Masjid Jami. Sama seperti saya, merekapun tampak tak sabar menunggu atraksi-atraksi menarik yang akan disajikan dalam Festival Abda’u.

Pawai saat Festival Abda'u di Tulehu
Arak-arakan Karnaval Abda’u

Tradisi Abda’u adalah bagian dari parade budaya lokal di Negeri Tulehu. Parade ini diselenggarakan setiap tahun sekali, dan hanya di Hari Raya Idul Adha. Abda’u bisa juga diartikan sebagai bentuk pengabdian seorang hamba kepada Sang Pencipta. Dan bisa juga dimaknai sebagai cara untuk mempererat hubungan persaudaraan antar pemuda. Upacara adat Abda’u yang sudah dikenal sejak abad 15 tersebut, sampai sekarang masih dijaga dan dilaksanakan.

Festival Abda’u menampilkan beragam seni dan budaya yang menarik, diantaranya: arak-arakan, hadrat, visualisasi ibadah Haji, debus, tarian Pattimura, dll. Namun kala itu, Festival Abda’u dibuka dengan sebuah tarian pembuka tari Sawat yang disusul kemudian dengan tari Sawamena.

Tarian Saawamena yang diperagakan putra-puteri Tulehu
Tarian Saawamena yang diperagakan putra-puteri Tulehu

Tari Sawat ditarikan oleh putera-putera Tulehu untuk menjemput dan menyambut para tetua dan pejabat pemerintahan. Sedangkan Tari Sawamena, ditarikan oleh para putera dan puteri Tulehu. Di tengah-tengah tarian, para penari membentuk lingkaran sembari mengajak para pejabat dan warga untuk menari bersama mereka.

Setelah tarian Sawamena berakhir, maka acara dilanjutkan dengan Hadrat. Dimana serombongan pemuda melantunkan dzikir sembari menabuh gendang. Di belakang iring-iringan mereka ada tiga orang yang menggendong anak kambing yang akan dijadikan qurban nantinya. Ketiga orang ini melambangkan pemuka agama leluhur mereka.

Tradisi Abda'u menggendong kambing keliling Tulehu saat Hari Raya Idul Adha
Menggendong kambing keliling Tulehu, sebelum disembelih

Konon, sekitar abad 15, Negeri Tulehu pernah menjadi salah satu tempat tujuan untuk menuntut ilmu agama dan sebagai tempat mengaji. Para calon murid datang dari segala penjuru, karena di Tulehu ini tinggal para pemuka agama yang hebat, yaitu Pandita Wakan, Pandita Lou dan Pandita Lain. Masing-masing pandita ini memiliki semacam padepokan yang digunakan sebagai tempat berjamaah sekaligus pengajian. Ketiga pandita ini memiliki upacara ritual di setiap Hari Raya Idul Adha. Mereka masing-masing menugasi murid yang pertama kali datang ke mereka untuk menggendong kambing yang akan dikurbankan. Ketiga murid kesayangan tadi akan mengelelingi Negeri Tulehu lebih dulu sambil menggendong kambing.

Rupanya, tradisi menggendong kambing sebelum disembelih ini, masih diteruskan sampai sekarang. Di rangkaian atraksi Festival Abda’u, 3 tetua agama akan menggendong pakai selendang sambil mengelilingi Negeri Tulehu. Lalu, setelahnya hewan-hewan itu akan dibawa ke masjid untuk kemudian disembelih.

Tarian Pattimura di Tulehu
Salah satu adegan dalam Tarian Pattimura
Penari Tarian Pattimura
Seolah tersihir oleh lagu yang dinyanyikan di Tarian Pattimura

Setelah para tetua yang menggendong kambing tadi hilang dari pandangan penonton, tiba-tiba terdengar seseorang petugas memberi peringatan, “Awas! Sebentar lagi laskar Abda’u akan lewat. Penonton harap hati-hati agar tidak tertabrak oleh mereka!”

Di depan saya tampak ratusan pemuda yang memakai kaos singlet dan ikat kepala. Mereka saling dorong, saling sikut, menaiki punggung kawannya, dan aksi kekerasan lainnya demi memperebutkan bendera warna hijau berenda kuning. Sebagian ada yang terinjak, sebagian lagi ada yang terjatuh dari punggung kawannya. Meskipun demikian, mereka seolah tak merasakan sakit. Konon, karena rambut dan tubuh mereka telah dibasahi oleh imam negeri agar terbebas dari rasa sakit selama mengikuti ritual adat.

Arak-arakan membawa replika Ka'bah saat Hari Raya Idul Adha
Arak-arakan yang membawa replika Ka’bah

Di belakang laskar Abda’u beriring-iringan orang yang membawa replika Kabah sambil mendemontrasikan tawaf Kabah. Yang kemudian disusul oleh serombongan lainnya untuk mempertunjukkan atraksi lainnya. Atraksi berikutnya, tarian Pattimur, sangat menyedot seluruh perhatian saya. Tarian ini dibawakan oleh beberapa pemuda yang wajah dan mukanya diwarnai hitam. Mereka menari sambil membawa parang di tangan kanan dan salawaku di tangan kiri.

Pada saat membawakan tarian Pattimura, salah seorang penari tiba-tiba menangis keras lalu pingsan seketika. Dia seolah tersihir oleh lagu yang yang mengiringi tarian mereka. Si penari yang ‘kesurupan’ tadi bisa disembuhkan setelah dikasih air minum oleh pemimpin ritual. Memang terkesan mistis, tapi itulah yang saya saksikan di depan mata saya.

Atraksi Debus di Tulehu
Atraksi Debus yang menusuk tubuh hingga berdarah

Memang sih, kalau mendengar lagu yang mengiringi tarian Pattimura itu dinyanyikan, meskipun saya tak paham liriknya, tapi seolah hati saya seperti disayat-sayat sembilu. Nadanya sedih banget. Kata salah seorang tetua, lirik itu memang menyiratkan perasaan luka yang dalam dari pahlawan kita Pattimura, karena mengalami kekalahan dengan musuh. Lirik lagu ini memakai ‘bahasa tanah’ yang menurut tetua, tak semua orang Tulehu bisa memahaminya.

Atraksi Debus adalah atraksi ‘mistis’ berikutnya yang saya saksikan. Atraksi ini dimainkan oleh sekitar 20 pemuda memakai t-shirt putih. Di bagian dada t-shirt tampak bekas-bekas darah yang keluar dari tubuh mereka. Para pemuda itu menggunakan alat dari besi yang ujungnya runcing lalu ditancap-tancapkan ke dada mereka. Tentu saja, banyak darah yang keluar dari tubuh mereka. Tapi mereka seolah tak merasakan kesakitan. Hanya saja, kalau di antara mereka ada yang terlalu bertubi-tubi menancapkan alat tajam itu ke tubuhnya, maka pemimpin ritual akan menghentikan mereka atau mengingatkan agar memperlambat gerakan. Saat itu saya berada di depan mereka persis, jadi berasa agak-agak ngeri nontonnya.

Atraksi Bambu Gila di Tulehu
Atraksi ‘Bambu Gila’ dimana bambu bergerak sendiri yang menyebabkan banyak orang kewalahan memegangnya

Masih ada satu lagi atraksi yang tak kalah mistisnya, yaitu Bambu Gila. Atraksi ini dibawakan oleh 10 orang. Mereka beramai-ramai menggotong sepotong bambu. Anehnya, meskipun bersepuluh, mereka terlihat kesulitan membawa bambu itu. Bambu itu seolah memiliki tenaga yang kuat dan bergerak sendiri sesuai keinginan hati. Tak heran, jika atraksi ini disebut Bambu Gila.

Atraksi Bambu Gila menjadi atraksi terakhir di Festival Abda’u. Saya segera bergegas untuk kembali ke kota Ambon dengan perasaan yang sangat takjub dan senang luar biasa. Sungguh luar biasa kekayaan budaya negeri ini. Dan saya sangat berterimakasih bisa punya kesempatan menyaksikan festival yang luar biasa ini.

Baca juga: 6 pantai di Ambon yang bikin kamu ‘meleleh’

Kalau ada yang menyukai seni-budaya negeri dan tertarik untuk menyaksikan Festival Abda’u, pastikan kamu berkunjung ke Negeri Tulehu.

Writer. Lecturer. Travel Blogger. Broadcaster

Related Posts