Malam sebelumnya, saya, Onie, Roy, Ichy dan pemilik kapal yang kita sewa sekaligus kapten kapal, sudah membahas lokasi-lokasi terdekat dengan Pantai Ora yang akan kita jelajahi. Yaitu, menyusuri Sungai Salawai, snorkeling di Batu Tebing Hatupia, Pulau Kelelawar. Pulau Raja dan Air Mata Belanda. Sempat ada rombongan bule dari Belanda yang menyatakan ingin bergabung, tapi akhirnya batal. Entahlah kami juga kurang tahu apa penyebab sebenarnya. Karena mereka menjelaskannya dalam Bahasa Belanda bercampur bahasa daerah Ambon. Kami hanya serentak menjawab, “Okay, it’s fine! No problem.”
Menyusuri Sungai Salawai
Keesokan harinya, jam 8 pagi kami berempat sudah selesai sarapan dan bersiap menyusuri Sungai Salawai untuk bertemu dengan para pembuat sagu. Sungai ini menjadi pilihan pertama, karena jaraknya terhitung paling jauh dari Ora Beach Resort.
Dari Pantai Ora menuju Sungai Salawai butuh waktu sekitar satu jam. Selama menuju ke sungai itu, kami disuguhi sebuah harmoni yang sanggup menggetarkan hati. Hamparan air laut yang berwarna biru kehijau-hijauan, awan yang dihiasi perpaduan warna biru dan putih, barisan gunung batu, hutan yang rimbun dan sejumlah pulau tanpa penghuni.
Menyusuri Sungai Salawai seakan mengingatkan pengalaman saya saat canoeing di Sungai Cigenter Ujung Kulon beberapa waktu lalu. Sungainya cukup lebar dan seolah tak berujung. Meskipun matahari bersinar cukup cerah, hawanya cukup sejuk. Sentuhan semilir angin, desis suara satwa liar, tarian pepohonan, seolah semakin meneguhkan pesona keindahan yang tak berujung.
Di kanan-kiri sungai Salawai banyak tumbuh beragam pohon. Khususnya pohon nipah dan pohon sagu. Sebagian pohon itu ada yang meliuk menyentuh sungai. Kondisi yang demikian, seakan menjadi gerbang ucapan selamat datang bagi siapapun yang melintasinya. Sesekali kapten kapal mengingatkan agar anggota tubuh kita tidak menyentuh air, karena banyak buaya yang berkeliaran di dalam sungai. Sebenarnya, kami dilanda dilema. Antara ingin ketemu buaya dan takut kalau buaya itu tiba-tiba nongol di hadapan kami. Sayangnya Untungnya, tak satupun buaya yang saking narsisnya pengin beratatap muka dengan kami. 😀
Di antara rerimbunan pohon di sepanjang Sungai Salawai saya melihat beberapa peralatan tradisional pembuatan sagu. Jelas saja, para pembuat sagu selalu memilih lokasi membuat sagu di dekat sungai. Hal itu disebabkan, untuk memeras serpihan atau serbuk halus sagu, mereka membutuhkan banyak air.
Akhirnya, di satu titik yang agak jauh dari lokasi jembatan, sang kapten kapal menghentikan dan menambatkan kapal. Seharusnya, kapal bisa ditambatkan di dekat-dekat jembatan, namun saat itu ada batang pohon besar yang ambruk dan melintang di tengah sungai. Sehingga kapal sulit meneruskan perjalanan.
Dari titik lokasi kapal ditambatkan, kami melakukan trekking kecil untuk sampai ke lokasi para pembuat sagu yang berada tepat di bawah jembatan. Kapten kapal memimpin perjalanan di depan kami, sambil sesekali parangnya menebas tanaman yang menghalangi jalan. Banyak tanaman kangkung yang tumbuh subur di jalur yang kami lewati. Duh, bawaannya jadi pengen masak tumis kangkung deh. 😀
Sampai di lokasi bawah jembatan, kami menemui 2 paman pembuat sagu. Di situ saya lihat tersedia sebuah kompor, dua bungkus mie instan dan cabe. Kalau sayur kangkung kan tinggal metik di sebelah? Lho kok balik ke kangkung lagi? 😀
Saya ngobrol banyak hal dengan paman pembuat sagu itu. Tentang rumahnya yang agak jauh dari lokasi itu, sehingga kadang perlu menginap di bawah jembatan. Juga tentang bagaimana menghidupi keluarganya.
Kedua paman itu juga dengan senang hati menceritakan bagaimana proses pembuatan sagu sekaligus mengajari kami langsung. Ternyata, dalam pembuatan sagu, langkah awalnya adalah dengan memilih pohon sagu yang sudah tua. Jika pohon sagu sudah berbunga (semacam jantung/bunga pohon pisang), itu tandanya pohon sagu itu sudah tua dan siap ditebang.
Saya sempat bertanya, “Apa tidak takut suatu saat pohon-pohon sagu itu habis ditebang?” Paman pembuat sagu menjawab sambil tersenyum, “Oh tidak. Kami di Maluku ini diberkahi dengan pohon sagu yang berlimpah. Istilahnya, ditebang satu tumbuh seribu.”
Setelah ditebang, batang pohon sagu itu dipotong-potong sepanjang 1-2 meter sambil dibersihkan kulitnya. Lalu dibelah-belah lagi hingga berbentuk balok. Balok-balok batang sagu tadi, lalu dibawa ke pinggir sungai untuk proses pemarutan. Proses pemarutan bertujuan untuk mengolah batang sagu menjadi serpihan-serpihan kecil atau serbuk-serbuk yang halus. Semacam memarut buah kelapa. Tak heran, kalau alat yang digunakan untuk pemarutan batang sagu ini, juga mirip-mirip dengan alat mesin pemarut kelapa.
Jika semua batang pohon sagu tadi sudah selesai diparut sampai menghasilkan serbuk-serbuk halus, maka serbuk-serbuk tadi lalu dituangkan ke dalam sebuah pelepah sagu yang dilengkapi dengan kain saringan. Serbuk-serbuk tadi kemudian disiram dengan air yang diambil dari Sungai Salawai. Setelah disiram air, serbuk-serbuk sagu tadi diremas-remas dengan menggunakan tangan. Tujuannya, agar keluar sari pati sagunya. Sama seperti kalau kita sedang memarut kelapa sampai keluar santannya. Sari pati sagu ini teksturnya lembut dan warnanya putih sekali.
Dalam proses meremas-remas serbuk sagu harus menggunakan tenaga yang kuat. Karena ketika tangan saya mencoba ikut meremas, sari pati yang keluar hanya sedikit sekali. Tenaga saya kurang kuat. Mungkin kalau saya mengajukan diri untuk menjadi freelancer atau magang jadi pembuat sagu, nama saya pasti langsung dicoret jadi karyawan oleh kedua paman itu. Hihihi…
Proses memeras serbuk untuk mendapatkan sari pati sagu ini, dilakukan berulang-ulang. Disiram air lagi, diremas-remas lagi. Itulah gunanya saringan yang terbuat dari kain (di gambar berwarna hijau). Air sari pati sagu yang berasal dari remasan serbuk halus sagu, mengalir melewati belahan bambu ke sebuah tempat penampungan berbahan plastik yang pinggir-pinggirnya dipagari dengan kayu-kayu kecil. Biasanya air sari pati sagu itu diendapkan di tempat atau bak penampungan selama 2-3 hari supaya mengeras. Setelah mengeras, airnya dibuang dan sari patinya diambil. Dan itulah yang kemudian disebut dengan sagu. Salah satu paman pembuat sagu sempat mengatakan, bahwa sebenarnya pohon sagu yang banyak tumbuh di Maluku itu mencerminkan sosok orang Maluku kebanyakan. Dari luar terlihat garang, tapi di dalam putih dan lembut. Mirip sari pati sagu. #eaa
Kami meninggalkan lokasi pembuatan sagu, sambil tak lupa menyelipkan beberapa lembaran rupiah sebagai tanda terimakasih karena waktunya sudah kami sita dengan semena-mena.
Selfie di Pulau Raja Maluku
Pulau Raja merupakan lokasi kedua yang kami jamah. Kapal tak bisa ditambatkan terlalu dekat ke daratan, karena air sedang surut. Untuk sampai ke pulau kami harus berjalan kaki di lautan yang dangkal, dimana kerikil-kerikil kecil seringkali bersentuhan dengan telapak kaki.
Dulunya Pulau Raja merupakan sebuah perkampungan, ada beberapa rumah yang didirikan di pulau itu. Tapi sekarang pulau ini tak berpenghuni, hanya ada dua rumah kosong yang kondisinya sudah agak rusak. Kata kapten kapal, pulau ini sekarang hanya dipakai untuk colo-colo (makan siang) bakar-bakar ikan. Dia juga menjelaskan, bahwa dulunya pulau itu menjadi tempat kediaman seorang raja yang membantu Kapten Patimura berperang melawan penjajah. Sekedar catatan, raja adalah sebutan bagi kepala desa atau orang terpandang di sebagian besar wilayah Maluku. Siapa namanya dan bagaimana kisahnya, sulit mencari referensinya.
Kata kapten kapal juga, di Pulau ini suka ada kelelawar dan monyet yang berkeliaran. Tapi dari ujung sampai ujung saya berjalan, yang saya temui hanyalah rerimbunan pehonan belaka. Meskipun begitu, pantai Pulau Raja terhitung lumayan cantik dan masih alami. Di depan Pulau Raja persis nampak jelas Pulau Kelelawar, yang sayangnya saat itu tidak bisa kami jelajahi, mengingat air laut sedang surut. Perjalanan ke Pulau Kelelawar hanya bisa dilakukan ketika air laut sedang pasang. Jika surut, kapal tak bisa masuk karena rapatnya pepohonan dan tanaman rumput laut yang hidup di bawahnya.
Ya sudah, tak semua hal berjalan sesuai yang sudah kita rencanakan. Kecewa sudah pasti, tapi jangan sampai membuat perjalanan kita berisi kekecewaan berkepanjangan. Apapun kondisinya, kita harus bisa membuat perjalanan kita tetap fun. Dan akhirnya tak ada cara lain selain mengisinya dengan selfie-time! Hihihi…
Baca juga: Pantai di Ambon yang bakal bikin kamu meleleh
Keindahan Batu Tebing Hatupia
Tidak jauh dari Pulau Raja, berdiri sebuah gazebo di tengah laut. Kapten menambatkan kapalnya di sini untuk makan siang. Wuihhh, pernahkah kalian bayangkan gimana serunya menikmati menu makan siang di tengah laut yang luas, dikelilingi pegunungan batu dan air laut yang bening biru kehijau-hijauan? Itulah yang kami lakukan saat itu. Dan pantas saja, tak tersisa sedikitpun nasi dari rantang kami. Semuanya bersih. Ludes dessss!
Kami beristirahat sebentar di gazebo itu, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke Batu Tebing Hatupia. Batu Tebing Hatupia berada di tengah air laut yang jernih dan berwarna hijau tosca. Ia merupakan tebing bukit yang menjulang tinggi dengan kemiringan 90 derajat. Kecantikan tebing itu menyembul diantara lekuk-lekuk batu karang dan pepohonan yang menyelimutinya. Sayang, tangan-tangan jahil sudah merusak kecantikan itu dengan menggoreskan beragam kalimat tepat di dindingnya. Mungkin tangan mereka gatal-gatal ya, saat melihat sesuatu yang bersih dan alami? 🙁
Dan karena air laut sedang surut, kami bisa melihat dengan jelas goa yang berada diantara dinding-dinding batu itu. Konon, di dalam goa itu terdapat sarang burung walet. Kapten kapal segera menambatkan kapalnya di satu-satunya gazebo yang ada di sekitar lokasi. Gazebo itu mengapung di atas laut. Di tempat itu juga, kami memakai peralatan snorkeling dan menyetel camera underwater. Kabarnya, area Batu Tebing ini memiliki keindahan bawah laut yang sempurna.
Satu persatu dari kami segera menceburkan diri dan saling berpisah untuk mencari lokasi yang diminati masing-masing. Awalnya, saya menyelami area snorkeling yang agak dangkal. Di situ, saya melihat taman terumbu karang yang indah dan beberapa ikan yang kecil maupun yang besar yang berlarian kesana kemari di antara terumbu karang. Dan cahaya matahari yang dipantulkan oleh tebing ke dalam air laut, seakan semakin melengkapi keindahan panorama bawah lautnya.
Bosan berputar-putar di area yang dangkal, saya mencoba menyusuri area yang agak dalam. Wow! Terumbu karang di area sini lebih berwarna-warni. Cahaya matahari yang masuk ke air karena terhalang oleh tebing membuat pemandangan bawah laut menjadi lebih eksotis. Dari jauh saya seperti melihat sosok penyu. Tak begitu jelas, sehingga membuat saya sempat meragu. Terlihatnya sih seperti karang. Penyu bukan ya? Eh ternyata beneran penyu! Saya segera ambil kamera. Baru satu klik, eh, dia kabur. Huuu… dasar penyu penakut. Hihihi…
Saya kembali melanjutkan aktivitas berenang, sambil sesekali mengejar beberapa ikan yang seolah mengajak bermain. Kenapa sih kalian berlari-lari melulu kesana kemari? Sini lho, deket-deket sini. Tak inginkah kalian berkenalan denganku? Tak ada satupun dari ikan-ikan itu yang terdengar memberi jawaban, selain deru nafas saya sendiri yang terdengar dari balik alat snorkel.
Setelah sekitar satu jam lebih, kapten kapal memberi kode agar kami segera cabut dari lokasi itu. Ombak sudah mulai kencang. Dan bahkan, jangkar kapal yang kami naiki hanyut entah kemana. Kapten kapal mencari kesana kemari dan tidak ketemu juga. Alhasil, saya menjadi kuatir berat. Apalagi ombak semakin kencang. Saat kapal tak bisa ditambatkan di lokasi Air Mata Belanda, saya memilih tak ingin turun dari kapal dan tak ingin berlama-lama di area itu. Yang saya inginkan cuma satu, segera sampai kembali ke Ora Beach Resort.
Di Sisa Waktu Menikmati Ora Beach Resort
Saya mulai lega ketika kami sampai kembali di Ora Beach Resort. Sebetulnya saya ingin menikmati suasana kamar sambil leyeh-leyeh. Tapi Onie ribut mengajak snorkeling lagi di sekitar resort. Sepertinya dia ingin memaksimalkan sisa waktu di sini. Setelah snorkeling sebentar, saya memutuskan mandi. Lalu menikmati kopi dan cemilan ringan yang disediakan pihak resort. Sebagai penggemar sunset, tak lupa saya mengabadikan panorama sunset yang cantik sekali saat itu.
Baca juga: Ora Beach Resort, semakin terpana akan pesonanya
Malamnya kami packing, karena besok subuh-subuh kami harus meninggalkan area Pantai Ora dengan naik kapal speedboat menuju Desa Saleman lagi. Dan untuk selanjutnya, menuju Masohi sampai akhirnya ke Ambon. Onie harus kembali ke Jakarta dan saya masih akan melanjutkan perjalanan. Di dekat dermaga Desa Saleman sudah menunggu mobil yang kami pesan berdua. Oni sempat ngedumel, karena mobil itu memutar lagu-lagu daerah Ambon yang menye-menye, memilukan dan menyayat hati.
Memang, selama di Ambon, Maluku ini, tidak hanya mobil rental, mobil angkutan umum pun, memutar lagu-lagu yang merintih-rintih dengan volume yang keras. Setiap kali mendengar lagu itu, kami berdua lirik-lirikan sambil menahan senyum. Heran sebenarnya, kenapa pria-pria Ambon yang tampak luarnya gagah dan garang itu menyukai lagu yang menyayat-nyayat sembilu?
Baca juga: Abda’u, tradisi mistis Hari Raya Idul Adha di Negeri Tulehu, Ambon.
Beberapa hari kemudian, setelah Onie telah sampai Jakarta, dia menelepon saya. “Tau gak, lama-lama… lagu-lagu daerah Ambon yang kita dengerin di angkot itu, enak juga lho! Seolah mewakili suara hati yang sedang galau. Gimana ya cara dapetinnya? Bisa didownload dimana kira-kira? Aku mau masukin di playlist iphoneku.”