Ora Beach Resort, Semakin Terpana Akan Pesonanya

Keindahan alam di destinasi ini, sudah saya dengar sejak lama. Foto-fotonya yang memesona pernah saya lihat di beberapa blog dan akun sosial media. Makanya, memang pernah saya angan-angankan. Suatu saat saya akan ke sana. Tapi entah kapan. Saya hanya tak menyangka kalau ternyata Pantai ora dapat saya kunjungi ketika saya sedang dalam rangkaian perjalanan menuju Banda Neira.

Kalau saja saat itu dari Bandara Pattimura saya langsung mendapat tiket pesawat ke Banda Neira, pastinya saya tak akan sempat mampir ke sini. Beruntunglah tiket saat itu sudah full booked selama 2 pekan ke depan, sehingga selama kurun waktu menunggu itu, ada beberapa destinasi dadakan yang saya selipkan dalam itinerary. Termasuk ke Pantai Ora.

Kamar apung Ora Beach, bisa langsung melihat ikan dan terumbu karang di bawahnya
Kamar apung Pantai Ora, bisa langsung melihat ikan dan terumbu karang di bawahnya

Mengingat biaya menginap yang tidak murah dan tidak cukup kalau hanya menginap semalam, saya berupaya mencari teman perjalanan. Sehingga nantinya bisa berbagi biaya menginap dan sewa kapal. Maka saya mulai membuka list nama-nama teman yang ada di handphone. Saya pilih beberapa nama yang sekiranya mau menyambut ajakan saya.

Setelah melewati beberapa nama yang menjawab, “Duh, gue lagi banyak kerjaan,” atau “Yah, gue lagi gak ada duit,” hingga akhirnya ada juga satu nama yang nyangkut, Onie. Dia memang suka laut banget. Makanya, malam itu dia langsung beli tiket Jakarta-Ambon.

Onie datang sore sore hari. Kami berdua menginap di sebuah hotel yang ‘B’ banget deh. Yang penting dekat dan dilewati angkot menuju Pelabuhan Hurnala, dekat Tulehu, Ambon. Hanya butuh waktu sekitar 5-10 menit saja ke pelabuhan. Sengaja demikian, karena saya tak begitu menguasai situasi di siitu. Padahal kami berencana berangkat pagi hari. Takutnya telat atau gimana. Untungnya, hotel tempat menginap dekat dengan toko kelontong dan warung-warung makan. Jadi untuk urusan perut, kami aman.

Baca juga: Abda’u, tradisi mistis Hari Raya Idul Adha di Negeri Tulehu, Ambon.

Keramaian di Pelabuhan Hurnala, Ambon. Bersiap menyeberang ke Pelabuhan Amahai
Keramaian Pelabuhan Hurnala, Ambon. Bersiap menyeberang ke Pelabuhan Amahai

Sekitar pukul 6 pagi, hujan mengguyur kota Ambon. Sambil berpayungan, kami menunggu angkot lewat. Tampaknya angkot juga malas-malasan pada keluar saat itu. Soalnya jarang banget yang lewat. Baru setelah sekitar 15 menit kemudian lewatlah angkot yang kami tunggu-tunggu. Begitu mendapat tempat duduk, terdengarlah lagu-lagu mellow kesayangan pak sopir. Tak saya pahami artinya karena entah berbahasa daerah Maluku atau Ambon. Jadi saya hanya bisa berpandang-pandangan ke Onie. Yaelah. Takut pak sopir keburu terbawa emosi dengan lagu mellow-nya, saya buru-buru berpesan minta diturunkan di Pelabuhan Hurnala.

Pelabuhan Hurnala, Tulehu, pagi itu ramai sekali. Banyak orang bersliweran sambil membawa tas-tas besar dan kardus di pundaknya. Hmm, rupanya banyak juga yang akan menyeberang ke Pelabuhan Amahai. Selesai membeli tiket, kami langsung masuk ke kapal mencari tempat duduk. Begitu dapat, Onie langsung mencari posisi enak untuk tidur. Katanya, “Aku tidur dulu ya? Pokoknya untuk perjalanan kali ini aku pasrah aja. Kamu paham kan rute-rutenya ke Pantai Ora?” Saya memberikan jawaban dengan tersenyum meyakinkan, meskipun dalam hati berteriak, ‘What?! Gue kan belum pernah ke Pantai Ora juga? Lagian ini kan itinerary dadakan, mana sempat cari-cari infonya?” Tapi ya sudahlah. The show must go on. Hihihi…

Terminal bayangan di Amahai, Seram,, berjejer mobil plat hitam yang disebut taxi
Terminal bayangan di Amahai, Seram,, berjejer mobil plat hitam yang disebut taxi

Sekitar jam 11 siang kami sampai di Pelabuhan Amahai, Seram. Begitu turun dari kapal, saya langsung mencari warung untuk minum teh. Sekaligus ingin mengorek informasi bagaimana caranya sampai ke Pantai Ora. Ini adalah strategi yang selalu saya pakai. Kalau butuh informasi, pergilah ke warung, pesan teh atau kopi, lalu tanya sepuasnya ke si pemilik warung. Dari si ibu warung, saya mendapat informasi bahwa saya harus ke Desa Salaman dulu kalau ingin menyeberang ke Pantai Ora. Dan untuk sampai ke Desa Salaman, saya harus naik taxi yang hanya tersedia di terminal bayangan. Sementara untuk ke terminal, harus naik ojek dulu dari pelabuhan.

Sampai di terminal bayangan, saya agak heran. Yang ada dalam bayangan saya, terminal yang dimaksud akan dipenuhi bis-bis atau taxi yang memakai argo. Tapi ternyata bukan. Taxi yang dimaksud adalah mobil-mobil pribadi yang ‘ngetem’ menunggu isinya penuh 10 orang, baru deh jalan. Sebenarnya kalau mau cepet bisa carter mobil. Banyak yang menawari di pelabuhan Amahai tadi. Masalahnya, biayanya bisa sampai Rp 1 juta, sementara kalau naik taxi biayanya hanya sekitar Rp 100 ribu.

Dermaga Saleman, Seram
Dermaga Desa Saleman, nyebrang sedikit lagi sampai Ora Beach Resort

Masalahnya, kalau milih yang Rp 100 ribu, kita harus sabar menunggu sampai mobilnya penuh isi sekitar 10 orang. Dan itu butuh waktu 1-2 jam. Jadi sambil nunggu, kami makan siang dulu di sebuah warung yang ada di dekat terminal. Menunya kebanyakan ikan. Enak kok. Sambil makan, kami sempat berkenalan dengan dua traveller yang punya tujuan ke Ora Beach juga. Namanya Ichy dan Roy. Namanya juga sesama traveller dan mungkin sering solo traveling, jadinya kami berempat gampang akrab. Bahkan kami langsung merencanakan itinerary selama di Ora Beach nanti. Tak terasa satu jam sudah berlalu. Mobil sudah terisi 10 orang. Kamipun bersiap berangkat. Dan entah karena masih ngantuk dan lelah, atau entah karena takut melewati jalanan terjal dan berliku di sepanjang Amahai menuju ke Desa Salem, saya dan Onie seperti kompakan tertidur dengan sukses.

Dari Amahai menuju Desa Salem, butuh waktu sekitar 2-3 jam. Karena dari terminal bayangan Amahai tadi berangkat sekitar jam 12 siang, maka kami sampai di sebuah dermaga kecil Desa Salem sekitar jam 3 sore. Subhanallah, pemandangan yang saya saksikan saat itu… Baguuuuss banget! Sampai dada saya berdesir saking bahagianya. Dari titik dermaga itu, kami naik speed boat menuju Ora Beach Resort. Biayanya Rp 150 ribu dibagi berempat.

Mengunjungi Pantai Ora Maluku, terlihat dari jauh Ora Beach Resort
Kamar-kamar apung Ora Beach Resort terlihat dari jauh

10 menit kemudian, tadaaaaaaaa… sampailah kita di Ora Beach Resort. Makin ternganga-nganga saya menyaksikan keajaibannya. Warna lautnya hijau tosca. Jernih. Tanpa perlu snorkelling-pun. Kita sudah bisa melihat terumbu karang dan ikan-ikan yang berenang di dalamnya. Ketjeeeeeehhh! Kalau di film-film kartun, saking kagumnya saya digambarkan matanya melotot sampai ke tanah. Hahaha

Sebenarnya, Ora Beach Resort menawarkan 2 pilihan kamar. Kamar yang mengapung di atas laut atau kamar yang di darat. Jumlah kamar yang mengapung terbatas, hanya ada 8 kamar. Dimana hanya ada 1 saja kamar yang besar, yang bisa dipakai untuk berombongan.

Saya memesan kamar apung yang diisi untuk 2 orang. Dan karena jumlah kamar apung ini terbatas, sebaiknya pesan jauh-jauh hari sebelumnya. Gak lucu kan, kalau sudah sampai situ ternyata kamarnya sudah penuh semua? Selain itu, harga kamar juga sudah termasuk makan pagi, siang dan malam. Mengingat, memang Ora Beach Resort itu seperti terisolasi dari dunia luar. Tak ada warung atau toko yang berjualan di sekitar situ.

Baca juga: Kuliling dalam Kota Ambon

Kamar darat di Ora Beach Resort
Kalau kamar apung pas full -booked, kamar darat ini bisa jadi alternatif.

Karena kami sampai di Ora Bach Resort sudah sore hari, maka sebelum gelap datang, kami mengisinya dengan snorkelling sebentar di sekitaran resort. Tak seberapa lama, waktupun sudah berganti malam. Sembari makan malam, saya, Onie, Ichy dan Roy mendiskusikan kapal yang akan kita sewa dan destinasi yang akan kita datangi besok.

oOo

Writer. Lecturer. Travel Blogger. Broadcaster

Related Posts