Wisata di Toraja dalam Sehari (One Day Trip)

Sebelum-sebelumnya, melangkahkan kaki ke obyek wisata di Toraja tak pernah masuk dalam daftar liburan saya. Begitu terlintas nama Sulawesi Selatan, langsung yang keluar di ingatan hanya nama-nama semacam: Losari, Somba Opu, Malino, Tanjung Bira, Takabonerate dan seterusnya. Gak ada nama Tana Toraja terselip diantaranya. Boro-boro googling mencari tempat-tempat menarik disana.

Sampai suatu ketika liburan Natal dan Tahun Baru tiba. Inilah pertama kalinya kaki saya menginjakkan kota Makassar. Tentu saja saya ingin mengeksplor kota ini baik tempat-tempat bersejarahnya, pantainya, kulinernya dan sebagainya.

Namun ketika saya sudah mendarat di Makassar dan menginap di sebuah hotel di seberang Pantai Losari, tetiba si Daeng ‘my partner in crime’ memberi ide untuk berangkat ke Toraja. One day trip saja, kata dia. Saat itu nama Toraja masih belum familiar di telinga saya. Karena cenderung gampang penasaran, saya iyain saja tawaran one day trip wisata ke Toraja waktu itu.

Rupanya, liburan ke Toraja pas menjelang libur Natal dan Tahun Baru bukan waktu yang tepat. Mengingat, masyarakat Toraja banyak yang memeluk agama Kristen. Sehingga warga asli yang bekerja di luar kota maupun di luar negeri, kebanyakan pada mudik untuk bertemu sanak keluarga. Alhasil saya dan Daeng agak kesulitan mendapatkan tiket bus. Mungkin ada sekitar 3 jam kami antri di Terminal Bus Daya Makassar. Jam 10 malam akhirnya bus yang kami tumpangi berangkat menuju Toraja.

Hari masih pagi ketika saya dan si Daeng tiba di Rantepao, ibukota Kabupaten Toraja Utara. Sebuah kota yang dikenal sebagai pusat budaya Suku Toraja. Kondisi tubuh terasa gak karu-karuan dan mungkin wajah juga sudah pucat pasi setelah 8 jam lebih kami berada di dalam bus yang melaju zig-zag mengikuti jalan menanjak yang berkelok-kelok. Makanya, begitu kaki menjejak tanah, perut jadi lapar berat.

Kami pun segera melangkahkan kaki menyusuri jalan yang sepi untuk mencari sarapan.

Sudut Kota Rantepao, Toraja Utara
Salah satu sudut kota di Rantepao, Toraja Utara

Secara liburan ke Toraja kali ini tidak melewati persiapan yang matang, makanya saya dan Daeng tidak membawa perlengkapan apapun. Seadanya saja. Hanya tas kecil, dompet dan kamera. Baju masih saya tinggal di hotel Makassar. Bahkan sabun dan sikat gigipun beli di Toraja. Ya ampun, sampai malu saya ketemu sama cermin.

Sampai di Rantepao, Daeng menyarankan agar kami mencari hotel atau penginapan untuk sekedar mandi dan istirahat. Mungkin dia melihat muka saya yang sudah lecek kemana-mana. Hahaha… Mungkin karena musim liburan dan kami kesana tanpa rencana, agak sulit mencari hotel/penginepan di sana. Rata-rata full. Untunglah ada seorang tukang ojeg yang berbaik hati mencarikan penginapan

Liburan ke Toraja
Serem gak sih berdiri di sebelah tengkorak persis? Aku sih iya.

Sekarang ini Rantepao sebagai ibukota Toraja Utara memiliki peran penting dimana banyak yang menyebutnya sebagai pintu masuk wisata Toraja. Meskipun sesungguhnya, jauh sebelum kehadiran Belanda, kota ini sudah memiliki banyak peran penting.

Selain sebagai pusat budaya, dahulu orang-orang dari daerah pegunungan akan datang ke Rantepao untuk membeli keperluan sehari-hari. Saat Belanda berkuasa, Rantepao difungsikan sebagai pusat aktivitas masyarakat Toraja. Dan sekarang, kota ini menjadi lokasi pilihan bagi para turis asing untuk menginap, mengingat lengkapnya fasilitas yang tersedia bagi mereka.

Di Tana Toraja banyak berdiri bangunan-bangunan gereja. Istilahnya, kalau di tanah Jawa tiap sepuluh langkah kita ketemu masjid, di sini, tiap sepuluh langkah ketemu gereja. Maklum saja, karena hampir 65% penduduk sini menganut agama Kristen.

Selain bangunan gereja, di sepanjang jalan utama kita bisa menyaksikan gedung-gedung perkantoran yang arsitekurnya mengadopsi model Tongkonan, rumah adat Toraja. Meskipun, ada juga gedung yang masih mempertahankan arsitekur Belandanya, seperti RS Elim misalnya. Inilah rumah sakit pertama yang berada di Toraja, yang didirikan pada tahun 1929 oleh Pemerintah Belanda (Zelf Bestuur Luwu).

RS Elim Toraja
RS Elim, rumah sakit pertama yang berdiri di Toraja

Setelah kondisi tubuh lumayan segar, saya dan si Daeng segera bersiap-siap mengeksplor keunikan kota Toraja. Kami memilih sewa jasa tukang ojeg dibanding rental mobil mengingat medan yang masih asing bagi kami berdua dan tingkat kepadatan lalu lintas saat itu.

Lalu selama di Toraja lokasi mana saja yang sempat kami kunjungi?

Tentu, tidak semua tempat bisa kami datangi, mengingat malamnya kami harus kembali ke Makassar. Kami hanya sempat berkunjung beberapa tempat saja. Dan kebanyakan makam. Tak salah, jika saya berasumsi bahwa keunikan dan keindahan Toraja ada di makam-makam para leluhurnya.

 

  1. Batutumonga

    Toraja merupakan kawasan pegunungan, tak heran jalan menuju kesana cenderung menanjak. Sementara Batutumonga yang menjadi salah satu destinasi wisata di Toraja ini, merupakan wilayah tertinggi di Rantepao, Toraja.

    Lokasinya di lereng Gunung Sesean yang merupakan gunung tertinggi di Toraja. Tingginya sekitar 2.100 mdpl. Makanya, untuk sampai ke Batutumonga, kita akan melewati pemandangan gunung ini. Selain gunung, di sekitar daerah ini terhampar pemandangan perkebunan dan sawah yang hijau.

    Dari Rantepao, sekitar 1 jam kemudian sampailah saya di Batutumonga. Hari masih pagi Sekitar jam 9 pagi. Hawa dingin dan sekumpulan awan putih membalut wilayah itu. Suasananya cenderung lengang. Tak ada warga yang kelihatan di depan rumah adat, selain seorang bapak yang sedang fokus mengaduk semen dan pasir. Di depan saya berdiri, terhampar bukit yang di lerengnya berjejeran batu-batu megalith.

    Di atas bukit tersebut berdiri rumah-rumah Tongkonan. Apa yang harus saya lakukan di tempat ini?

    Gunung Sesean, Objek Wisata di Toraja
    Sesean, Gunung Tertinggi di Toraja
    Batutumonga, Objek Wisata di Toraja
    Bebatuan megalitik di Batutumonga

    Tak ada papan petunjuk, sehingga saya hampir tak sadar bahwa tanah yang sedang saya injak saat itu adalah Batu Tumonga. Hanya sebuah guest house-coffee shop yang bertuliskan ‘Mentirotiku, Batu Tumonga’ yang meyakinkan saya bahwa saya telah sampai di Batu Tumonga. Kami sebenarnya tertarik untuk ngopi-ngopi cantik di café itu, tapi tampaknya penuh diisi tamu-tamu wisatawan bule. Ya sudah, kami mending eksplor lokasi lain.

  2. Lembang Tonga Riu (Lo’ko Mata)

    Masih di sekitar kawasan Batutumonga, kamipun terus mengeksplor destinasi lain. Tanpa sengaja, sebuah batu besar (sangat besar) nyangkut di mata saya. Saya minta berhenti di sini. Ternyata tempat ini dinamakan Lembang Tonga Riu (Lo’kamata). Sekarang ini Lo’ko Mata merupakan salah satu tempat dilaksakannya ritual Ma’nene.

    Selain membuat pemakaman di lereng-lereng tebing, suku Toraja juga membuat makam di batu-batu besar. Pada batu tersebut dibuat lubang yang berfungsi sebagai pintu untuk memasukkan jenazah ke dalam. Di dalam batu tadi juga dibuat sebuah ruang besar yang berfungsi sebagai tempat menyemayamkan jenazah.

    Lo'ko Mata, Salah satu wisata di Toraja
    Lo’ko Mata, tempat pemakaman berbentuk batu yang sangaaat besar
    Lo'ko Mata Batutumonga
    Tubuh saya hanya sepersekian saja besarnya dibanding batu Lo’ko Mata

    Lo’ko Mata yang sebenarnya merupakan temat pemakaman, berbentuk batu bulat yang sangat besar, dimana di sepanjang dinding batu terpahat ceruk/lubang (semacam goa kecil) yang memiliki pintu. Pahatan ceruk atau goa kecil berpintu ini, merupakan makam leluhur dan kerabat warga Toraja yang telah digunakan sejak abad ke-14. Terdapat beberapa lubang kuburan layaknya sebuah bangunan bertingkat dengan puluhan jendela.

    Biasanya 1 lubang diperuntukkan bagi 1 keluarga besar, yang berarti dalam satu ceruk bisa berisi lebih dari 1 jenazah. Saat jenazah siap untuk dikubur di dalam batu, maka keluarga harus menyediakan puluhan ekor kerbau (bule). Untuk memasukan jenazah ke dalam lubang batu, ada 2 prosesi yang harus dilewati, yaitu membuka dan menutup pintu makam batu. Untuk membuka pintu, dilakukan upacara penyembelihan kerbau. Begitu pula saat menutup pintu. Selama belum melakukan upacara penyembelihan kerbau, pintu itu tidak boleh ditutup.

    Jadi, berapa total biaya untuk proses pemakaman? Jangan tanya!

  3. Londa

    Lokasi berikut yang saya datangi selama liburan di Toraja adalah (Goa) Londa.  (Goa) Londa merupakan kawasan pemakaman kubur batu atau tempat menyimpan mayat bagi leluhur dan keturunannya. Memasuki kawasan ini, setiap pengunjung bisa menyaksikan gapura klasik yang di sisi kanan-kirinya dipenuhi ukiran khas Toraja, sedangkan di bagian tengahnya terdapat patung kepala kerbau dengan tanduk yang menantang.

    Londa Tana Toraja
    Tau-tau, patung yang menyerupai orang yang meninggal. Terdapat di Londa

    Jika mata kita arahkan ke sekeliling kawasan, maka dapat terlihat kalau kawasan ini memiliki pemandangan tebing hijau yang indah. Di sela-sela tebing itu bersemayam makam para leluhur Toraja. Semakin tinggi lokasi makam seseorang, maka semakin tinggi derajat jenazah yang dimakamkan di situ. Di bawah tebing tersebut, terdapat 2 buah goa tempat pemakaman. Di depan kedua goa, terdapat semacam bangsal atau balkon yang menempel di dinding goa. Di balkon itu, berjejer patung yang menyerupai orang yang meninggal (Tau-tau). Bahan patung terbuat dari kayu nangka, dengan biaya pembuatan 1 patung berkisar 15 jutaan rupiah.

    Tengkorak leluhur di Londa Toraja
    Mereka tetap diperlakukan layaknya keluarga yang masih hidup

    Saya agak ngeri dan merinding disko saat memasuki goa Londa. Karena saya melihat dengan mata kepala sendiri berbagai peti jenazah yang berserakan di setiap sudut goa. Ada yang diletakkan di bawah, ada pula yang ditaruh di langit-langit goa. Peti-peti jenazah itu memang sengaja diletakkan secara bertumpuk-tumpuk. Di sekitar peti mati saya juga menemui botol minuman, rokok, sirih dan bunga serta kain. Konon hal ini sengaja dilakukan untuk menunjukkan bahwa mereka meskipun sudah meninggal tetap layak diperlakukan sebagai keluarga yang masih hidup.

  4. Kete Kessu

    Kete Kesu ini merupakan suatu desa wisata yang masih kental memelihara adat dan kehidupan tradisional masyarakatnya. Memasuki kawasan desa wisata ini, kita akan melewati areal persawahan yang luas dan memiliki tanah seremonial yang dihiasi oleh 20 menhir.

    Memasuki kawasan Kete Kesu, terlihat deretan rumah adat (tongkonan) yang epic banget. Usianya sudah ratusan tahun. Di masing-masing bangunan rumah adat tadi, terdapat hiasan kepala kerbau dan ukir-ukiran yang memiliki banyak makna dan filosofi.

    Kete Kesu, wisata di Toraja
    Kete Kessu, dikelilingi area persawahan yang hijau
    Toraja dan Ritual Ma'nene 13
    Bendera Merah Putih yang pertama kali berkibar di tanah Toraja

    Selain 6 buah Tongkonan, disini juga terdapat 12 buah lumbung padi, sebuah museum dan beberapa kios/toko yang menjual souvenir. Di dalam museum terdapat beberapa benda bersejarah, seperti misalnya: bendera merah putih yang pertama kali dikibarkan di Toraja, senjata tajam, barang pecah belah, keramik dan sebagainya. Beruntung sekali pas saya kesana, pas museum sedang dibuka. Mengingat, tidak setiap hari museum ini dibuka untuk umum.

    Toraja dan Ritual Ma'nene 14
    “Om, dipilih.. dipilih… oleh-olehnya om…”

    Jika ingin membeli kenang-kenangan buat diri sendiri atau oleh-oleh untuk keluarga, merapatlah ke toko souvenir. Yang dijual di toko ini kebanyakan benda-benda hasil ukiran, karena perkampungan ini memang terkenal dengan keahlian seni ukir yang dimiliki oleh warganya. Sementara, di bagian belakang perkampungan adat tersebut, kira-kira sekitar 10 meter, terdapat kompleks pemakaman bagi kaum bangsawan. Disini ditemukan kuburan purba tergantung dari atas dinding-dinding batu disertai patung-patung (tau-tau).

    Saya membeli beberapa souvenir, termasuk kerajinan ukiran khas Toraja. Yang saya tahu, makna ukiran berbentuk Bulan dan Matahari (Pa’ Bare’ Allo) melambangkan suatu tatanan aturan tingkah laku seperti bulan dan matahari yang sudah tetap; ada terbit dan terbenam. Sedangkan ukiran berbentuk kepala kerbau (Pa’ Tedong), melambangkan kesejahteraan. Entahlah, ukiran yang saya beli itu melambangkan apa, saya kurang paham.

  5. Rante Kerrassik

    Dari Kete Kessu, akhirnya sampai juga kami di Rante Kerrassik. Saat pertama kali kaki menginjakkan tanah di sini, batin saya sempat berteriak, “Ya Allah, ternyata wisata makam lagi?” Hiks. Baru ngeh. Sedih akutu.

    Rante Kerrasik, objek wisata di Toraja
    Batu-batu menhir di Rante Kerrassik bukti bahwa di sini pernah diadakan ritual penting

    Saya melewati perkampungan rumah penduduk untuk sampai ke kawasan ini, karena memang, Rante Kessik ini dikelilingi pemukiman penduduk. Meskipun, lokasi sebenarnya berada lapangan rumput yang luas. Suasana sepi ketika saya sampai di sana, hanya ada 2 anak muda yang sedang bersantai di atas motor.

    Toraja dan Ritual Ma'nene
    Perpaduan antara orang Goa, menhir dan tongkonan 😀

    Yang menarik dari Rante Kerrasik ini adalah batu-batu megalitikum (menhir) besar yang tertancap megah di atas tanah. Jumlahnya ada puluhan dengan tinggi yang bervariasi, bahkan ada yang sampai 7 meteran. Sebagian juga masih ada yang terkubur di dalam tanah. Batu menhir ini adalah simbol bahwa telah sekian banyak upacara adat pemakaman bangsawan Rambu Solo’ Rapasan dilaksanakan di lokasi tersebut.

Rante Kerrasik merupakan lokasi terakhir yang saya kunjungi selama liburan di Toraja. Meskipun one day trip, kalau boleh saya menyimpulkan bahwa ternyata wisata di Toraja itu memang tak bisa lepas dari wisata makam atau kematian. Ada banyak ritual kematian yang harus dilaksanakan oleh warga setempat. Dan itu tentunya butuh dana yang tidak sedikit. Mereka perlu bekerja keras untuk bisa membiayai ritual orang tua dan keluarganya yang sudah meninggal.

Masih banyak sebenarnya yang ingin saya kunjugi, seperti keindahan alamnya, kampung tenunnya dan lain-lain. Tapi hari sudah menjelang malam. Saya harus segera mengkahiri one day trip wisata di Toraja kali ini. Dan kemudian bergegas ke pool bus, karena jam 8 malam kami akan kembali ke Makassar.

Writer. Lecturer. Travel Blogger. Broadcaster

Related Posts