“Waduh, gak bisa. Aku lagi banyak deadline.”
“Pengin banget! Tapi aku lagi masa paceklik. Dompet tiris.”
“Sudah pernah kesana. Pantainya bagus!”
Kira-kira itulah jawaban dari beberapa teman ketika saja mengajak mereka ke Tanjung Bira, Sulawesi Selatan. Medio tahun 2013 lalu, sebenarnya saya pernah singgah ke Makassar, untuk tujuan ke Tana Toraja. Namun pada perjalanan kali ini (September 2014), karena sesuatu hal yang harus saya kerjakan di Makassar, saya punya sisa waktu 2 hari di sana. Makanya, daripada menghabiskan waktu di Makassar, saya membulatkan tekad mengunjungi beberapa pulau yang berada di Kabupaten Bulukumba itu.
Masalahnya, saya belum pernah ke Tanjung Bira. Tinggal di Semarang, Jawa tengah dan kurang begitu menguasai wilayah Makassar. Sehingga, berbagai lingkaran kekuatiran menaungi benak saya.
Amankah nanti di sana?
Seberat apa medan menuju kesana?
Mudahkah mencari tempat makan?
Hmm, jadi bagaimana?
Ya sudah, tetap nekad saja!
***
Informasi yang saya peroleh dari pihak hotel tempat saya menginap, sewa mobil dari Makassar ke Tanjung Bira sekitar Rp 800.000 — hingga Rp 1.000.000 (kala itu). Tapi jika naik taksi (semacam travel atau mobil kijang berkapasitas penumpang 10 orang) dari Terminal Malengkeri, maka biayanya hanya Rp 80.000,- per orang.
Akhirnya, setelah memperhitungkan ini-itu saya memilih alternatif yang terakhir.
Keesokan hari, sekitar jam 8 pagi, saya check out dari salah satu hotel yang berada di depan Pantai Losari dan menaiki taxi menuju Terminal Malengkeri. Di dalam terminal itu sudah ada puluhan taxi yang berjejer rapi dengan tujuan langsung ke Tanjung Bira. Masing-masing menunggu armadanya penuh penumpang lebih dahulu, baru kemudian berangkat.
Tak sampai 30 menit, taxi yang saya naiki berangkat dari terminal. Tampaknya, hanya saya seorang saja yang memiliki tujuan ke Tanjung Bira, karena sisa penumpang lainnya adalah warga sekitar Makassar dengan tujuan ke daerah yang dilewati oleh taxi itu.
Rute yang dilewati, antara lain: Makassar-Gowa-Takalar-Jenepento-Bantaeng-Bulukumba. Sebelum sampai Gowa, taxi itu menaikkan penumpang 5 orang, yakni sepasang suami-isteri dan 3 lainnya pria yang semuanya memakai jubah dan sorban warna putih.
Baca juga: Pantai Samalona, Makassar
Semalam saya tidur dan istirahat di hotel dengan cukup, sehingga mata ini tetap terjaga selama hampir 6 jam dalam perjalanan dari Makassar ke Tanjung Bira. Tapi saya justru bersyukur, karena mata ini disuguhi berbagai pemandangan yang menarik. Panorama gunung, pepohonan dan hewan-hewan yang sedang merumput.
Lalu, di sepanjang jalan, berderet rumah-rumah panggung khas rumah tradisional Sulawesi. Belum lagi, di kanan dan kiri jalan, terbentang sawah yang sebagian sudah menguning, sebagian lagi sudah dipanen. Terbentang juga lahan pembuatan garam.
Sayang, karena jalan kendaraan yang terlalu laju, saya tak bisa leluasa mengabadikan keindahan pemandangan itu.
Tiba di Tanjung Bira
Perjalanan panjang selama hampir 6 jam itu akhirnya berakhir juga. Sampai di Tanjung Bira sekitar jam 2 siang, penumpangnya tinggal saya seorang. Pengemudi taxi itu mengantar sampai depan jalan menuju penginapan yang saya pesan sejak beberapa hari lalu.
Penginapan itu berada di atas bukit. Dari balkon penginapan, saya bisa memandang hamparan laut yang biru, kapal-kapal yang berlabuh, serta atap-atap rumah penduduk. Indah sekali!
Baca juga: Sunshine Guest House
Begitu sampai kamar, saya langsung meletakkan barang-barang bawaan. Setelah berganti sandal, menyambar tas cangklong berisi dompet dan HP dan tak lupa kamera andalan, saya langsung menyusuri pantai Tanjung Bira.
Sendirian.
Penginapan saya berjarak sekitar 5 menit dari pantai. Di sepanjang jalan menuju pantai, berderet para penjual yang menawarkan berbagai dagangan. Dari mulai baju pantai, celana pantai, asesoris yang terbuat dari bahan-bahan laut, dan lain sebagainya. Tampak juga beberapa hotel atau homestay serta beberapa restaurant atau tempat makan.
Jadi, seharusnya tak perlu khawatir, karena tempat wisata ini menawarkan banyak kemudahan, baik itu penginapan maupun tempat makan.
Di sekitar pantai, ada banyak wisatawan mancanegara yang tampak melakukan berbagai aktivitas. Ada yang sibuk mengambil foto-foto seperti yang tengah saya lakukan, ada juga yang sedang ngobrol sambil duduk-duduk santai, bahkan ada juga yang sambil membaca buku.
Waktu sudah menunjukkan sekitar jam 3 sore, sayapun beranjak turun menuju tepi pantai. Pasirnya tampak putih berkilauan. Sayang, pantai agak surut airnya, karena di bulan September, Sulawesi Selatan memang masih terhitung musim kemarau.
Beberapa kapal atau speedboat banyak yang ditambatkan. Di tepi pantai itu, berjejer warung-warung kecil yang menjajakan makanan dan minuman, termasuk es kelapa muda. Saya masuk ke salah satu warung itu dan memesan es kelapa muda. Ibu pemilik warung itu baru saja selesai menggoreng pisang, yang langsung ditawarkan ke saya. Saya langsung mencomot satu biji.
Seorang pria masuk sambil menebarkan senyum ke saya. Ternyata, dia suami ibu si pemilik warung. Kami mengobrol panjang lebar tentang kondisi di daerah ini. Bahkan, saya sempat minta klarifikasi tentang beberapa review yang beredar di dunia maya yang mengatakan kalau kondisi bawah laut di Tanjung Bira sudah tidak bagus dan mengecewakan.
Bapak itu termenung agak lama. Lalu beliau memberikan penjelasan, bahwa memang ada beberapa lokasi yang seperti itu, meskipun masih banyak juga yang bagus. Dan sayangnya, para local guide di daerahnya, lebih memilih senang membawa para pelancong ke tempat yang kondisi bawah lautnya sudah tidak bagus. Hal itu dilakukan, karena lokasi spot bawah laut yang bagus lebih sulit dijangkau.
Tak lama setelah percakapan itu, si bapak kemudian ‘menantang’ saya untuk membuktikan sendiri bahwa kondisi bawah laut di daerahnya masih bagus dan layak diapresiasi.
Dia menawarkan sewa kapalnya menuju ke Pulau Liukang Loe dengan biaya sebesar Rp 150.000,- dan itu sudah termasuk biaya sewa peralatan snorkeling dan life jacket. Biasanya, sewa kapal lengkap dengan peralatan akan dikenakan biaya Rp 400.000,- tapi saat itu berhubung sudah sore dan saya hanya sendirian, maka beliau hendak memberikan diskon.
Sayapun tak menolak tantangan dan tawaran manis itu.
Saat saya keluar dari kamar mandi berganti baju renang, seorang remaja mendekati dan menanyai saya. Ternyata dia putri bapak dan ibu pemilik warung. Namanya Firda, kelas 2 SMK jurusan pariwisata. Dia menanyakan, jika saya tidak keberatan, dia ingin ikut dalam acara tantangan pembuktian bawah laut ini.
Dengan senang hati saya mengijinkan. Hitung-hitung bisa sebagai teman perjalanan atau sukur-sukur bisa mengambilkan foto untuk kebutuhan narsis saya.
Bapaknya Firda menjalankan speedboat dengan kecepatan yang sadis. Sedangkan hari sudah sore, sehingga arus sudah lumayan kencang. Akibatnya, pantat harus beradu dengan kursi kayu dengan kencang. Sakit. Untunglah tak lama, sekitar 15 menit kita sudah sampai di lokasi atau spot bawah yang berada di dekat Pulau Liukang Loe.
Sepanjang yang saya lihat, air laut di sekitaran situ berwarna biru kehijau-hijauan. Jernih sekali. Saya dan Firda segera menceburkan diri ke laut. Si bapak sempat berpesan, jangan terlalu jauh dari speedboat karena arusnya deras.
Saya mulai berenang kesana kemari, menikmati keindahan bawah laut. Ternyata, memang terumbu karangnya sebagian besar masih bagus. Memang tidak sebagus di Pahawang atau bahkan Derawan. Tapi masih cukup lumayan. Sayang tidak banyak jenis ikan yang saya temui atau mungkin, saya memang lagi tidak beruntung. Entahlah.
Di spot snorkeling yang kedua, saya sempat melihat beberapa ikan Nemo yang sedang berenang diantara terumbu karang. Lucu sekali.
Setelah sekitar satu jam menikmati keindahan bawah laut di sana, si bapak menawari saya untuk melihat penangkaran penyu. Saya pun menyambut baik tawaran itu. Maka selang beberapa menit speedboat diarahkan ke tempat penangkaran. Kapal agak sulit ditambatkan, karena arus yang sudah semakin kencang. Saya dan Firda agak kerepotan turun dari kapal.
Disana, kami disambut oleh dua suami-istri yang langsung menyuruh kami turun ke tempat penangkaran. Wow, banyak sekali penyu! Tapi susah sekali mengambil foto penyu-penyu itu karena mereka terbawa arus yang kencang ke ujung tempat penangkaran yang sulit dijangkau. Mungkin karena gemas melihat saya berkali-kali gagal mengambil foto, si bapak berinisiatif membawa salah satu penyu ke darat. Saya mengambil fotonya sebentar dan meminta agar penyu itu segera dikembalikan ke air laut. Tak tega rasanya melihat wajah penyu yang seolah menderita itu.
Puas bermain-main dengan penyu, kami langsung kembali ke Tanjung Bira. Hari sudah mulai gelap. Firda mengajak saya menyaksikan panorama matahari terbenam di atas bukit di samping hotel dan restoran yang ada kapal pinisinya.
“Dijamin tidak menyesal”, janji Firda
Akhirnya kami berjalan kaki sekitar 10 menit untuk sampai kesana. Dan betul, pemandangang dari tempat itu sangat mengagumkan.
Perpaduan warna laut yang biru, pasir putihnya, kapal-kapal yang ditambatkan, anak-anak yang masih bermain, serta matahari terbenam yang warnanya kuning keemasan itu, seolah merupakan suatu hasil lukisan yang sempurna. Mengagumkan!
Saat matahari sudah benar-benar hilang dari pandangan, saya dan Firda segera meninggalkan tempat itu. Saya meminta Firda untuk menemani makan malam, setelah selesai mandi nanti. Diapun dengan senang hati menerima tawaran itu. Dari dia, saya mendapatkan informasi ada dua restaurant seafood yang enak dikawasan Tanjung Bira.
Saya memilih Warung Bambu, dengan alasan karena lebih dekat dari tempat saya menginap.
Bagai orang kesurupan saya melihat daftar menu yang disajikan di rumah makan itu. Rasanya ingin semuanya saya pesan. Tapi mengingat, perut saya yang mempunyai limit, akhirnya saya memesan cumi saus tiram, udang goreng tepung dan cah kangkung. Kami makan dengan lahap, karena lapar setelah berjam-jam snorkeling tadi.
Seorang pria bule yang duduk di sebelah kami, tampaknya bernafsu juga melihat cara kami berdua makan. Dia bertanya apa saja nama menu yang kami pesan itu. Dan akhirnya, dia memesan menu yang persis sama dengan menu yang kami pesan.
Dengan menu yang lezat dalam jumlah sebegitu banyak plus ditambah minuman, saya perlu mengeluarkan uang Rp 100.000 lebih sedikit. Dengan perut kenyang, tidur saya malam itu pulas sekali. Sebenarnya, saya masih ingin mengunjungi lokasi pembuatan kapal pinisi di Bulukumba. Tapi besok jam 10 pagi saya sudah dijemput taxi lagi untuk kembali ke Makassar dan selanjutnya meneruskan perjalanan (lagi) ke Ambon, Maluku.
Selamat tinggal Tanjung Bira, suatu saat saya pasti akan kembali ke sini. Entah sendirian lagi, entah bersama keluarga atau teman.
***
Ini merupakan cerita perjalanan saya medio tahun 2014. Beberapa informasi terkait tempat maupun harga, adalah saat perjalanan kala itu. Mungkin saat ini sudah tidak relevan.