“Yang terpenting bukanlah destinasi, melainkan pengalaman yang kau lalui selama dalam perjalanan.”
Rencananya, setelah dari Pantai Lombang, Irul dan Fa’i akan mengantarkan aku ke Kampung Manusia Pasir yang lokasinya tidak jauh dari situ. Konon, di kampung ini warganya punya tradisi tidur di pasir meskipun di dalam rumah sudah tersedia tempat tidur atau kasur yang empuk. Mereka meyakini, dengan tidur di pasir maka tubuh akan menjadi lebih sehat, lebih bugar. Sayangnya, teman yang rumahnya ada di kampung itu, kebetulan sedang ke luar kota. Kikuk rasanya kalau harus berkunjung ke sana tanpa dia. Akhirnya, terpaksa kami batalkan rencana itu dan melanjutkan perjalanan ke arah barat. Tujuan kami ke Bukit Kapur Batu Putih.
Jalan menuju ke Bukit Kapur belum standar. Ada sebagian kecil yang sudah mulus, tapi banyak juga yang rusak dan berlobang. Kalau pas motor kena lubang itu, ya ampun, terasa sakit sekali. Berkali-kali aku terpaksa harus meringis menahan sakitnya. Selain itu, jalannya juga terhitung sempit. Hanya muat dilewati 1 mobil dan 1 motor saja. Jadi kalau misalnya mobil harus berpapasan dengan kendaraan roda 4 lainnya, salah satunya harus mengalah. Untunglah, jalanan itu sepi. Jarang sekali atau hampir tidak pernah kami berpapasan dengan kendaraan roda 4.
Baca juga: Sumenep, kepingan puzzle kerajaan Majapahit yang terlupakan
Eureka! Kutemukan Pantai Baru!
Matahari sudah semakin tinggi. Udara semakin panas. Teriknya membakar dan merasuk ke pori-pori kulit. Apa mau dikata. Pulau Madura, terlebih Sumenep, memang identik dengan laut atau daerah pesisir. Pasti panas menyengat. Apalagi saat itu terhitung musim kemarau. Jadi, nikmati saja. Karena mengomel dan mengeluh hanya akan menguras emosi dan tak akan bisa merubah keadaan sesuai yang kita inginkan.
Diawali dengan menghela napas panjang dan lalu memasang senyum di wajah, aku mulai menerima apa yang ditawarkan oleh alam Sumenep saat itu. Di sisi kanan jalan, terhampar lautan luas yang biru di balik deretan pepohonan yang berwarna hijau. Sementara di sisi kanan, berderetan bukit-bukit kecil dan bebatuan yang menyembul di sela-sela pohon dan rerumputan. Pemandangan yang sungguh indah. Aku sempat berangan-angan untuk punya rumah di daerah ini. Pasti menyenangkan, karena setiap kali buka pintu atau jendela, yang terlihat hanyalah lautan yang biru. Tapi harga tanah di sini sudah mahal. Begitu kata Irul.
Baru asyik-asyiknya berangan-angan, tetiba Irul dan Fa’i menghentikan motornya. Aku pikir bannya kempes. Ternyata bukan. Mereka memarkirkan kendaraan di sisi sebelah kanan jalan. Sudah masuk wilayah Batu Putih Laok. Lalu mereka mengajakku berjalan melewati semak-semak. Olala! Kami menemukan sebuah pantai. Pantai yang belum ada namanya. Pantai yang cukup indah. Aku sempat mengajukan usul untuk menamai pantai itu dengan nama Pantai Astin Soekanto. Yang tentu saja langsung ditolak mentah-mentah oleh kedua pria lokal hangat itu. Hihihi…
Pantai Tanpa Nama itu ternyata di luar ekspektasi. Memang belum ada fasilitas apapun, hanya sebuah kapal nelayan yang bersandar di ujung sana. Namun, pantai itu memiliki kecantikan yang alami. Pasirnya putih dan halus. Airnya kebiru-biruan. Ombaknya tak begitu besar. Berpadu dengan awan yang putih serta langit yang biru. Dan yang paling aku suka, tak tampak satupun orang di sana kecuali kami bertiga. Dengan kain tenun yang menutupi kepala, aku berjalan ke sana-kemari di sepanjang tepian pantai itu. Peduli amat dengan kulit yang semakin hitam kelam. Puas-puasin aja. Mumpung berasa pantai milik pribadi.
Baca juga: Selingkuh dulu sebelum wisata ke Pantai Sembilang Gili Genting
Eksotisme Bukit Kapur Batu Putih Laok
Jam 3 sore. Matahari masih bersinar terik. Kami segera bergegas melanjutkan perjalanan. Sesekali kami berpapasan dengan truk yang mengangkut sesuatu. Sesekali kami berhenti, karena ingin mengabadikan pemandangan atau momen tertentu. Duduk di boncengan, tentunya membuatku lebih leluasa untuk memperhatikan sekeliling. Sebenarnya ada yang membuatku tergelitik melihat deretan rumah yang ada di sebelah kiri sisi jalan yang kami lewati.
Unik. Kebanyakan rumah-rumah di sekitar wilayah ini, struktur bangunannya terbuat dari susuanan batu bata yang berwarna putih. Berbeda dengan bangunan rumah yang ada di Jawa Tengah atau Jawa Timur pada umumnya. Bangunan dan dindingnya terbuat dari batu bata merah. Apakah batu bata merah lebih mahal di wilayah sini? Atau jangan-jangan karena ada tradisi yang melarang menggunakan batu bata merah?
Oh. Ternyata alasannya hanya karena masalah praktis saja. Warga di sini menggunakan batu bata putih sebagai dinding rumah dikarenakan di wilayah Batu Putih ini memang terkenal sebagai penghasil batu bata putih. Dan memang, sebagian besar wilayah Batu Putih merupakan gugusan karst (batu kapur). Tak heran jika mata pencaharian sebagian masyarakat di sekitar sini adalah penggali kapur putih. Dari tempat penambangan batu kapur itulah batu bata putih diproduksi. Sejauh yang aku lihat, ada sekitar 2-3 penambangan bukit kapur. Mungkin lebih. Entahlah.
Salah satu bukit kapur yang terkenal dan akhirnya menjadi destinasi wisata yang hits yaitu Bukit Kapur Batu Putih Laok. Tak ada penanda atau papan nama. Tak ada tempat untuk berteduh. Hanya sebuah pondok bamboo yang telah rusak dan tak bisa dipakai berteduh. Padahal waktu itu terik matahari sedang semangat-semangatnya menyengat kulit.
Tak ada seorangpun yang kami temui di Bukit Kapur Batu Putih. Selain beberapa orang yang berjaga di tempat parkiran. Sambil memarkirkan motor, Irul dan Fa’i sempat bercakap sebentar dengan mereka. Tak kupahami bahasanya. Cuma mungkin semacam pemberitahuan singkat ke mereka, “Ini lho… nganterin perempuan cantik. Dosen, penyiar, traveler, dari Semarang.” Hahaha… #disambitgaram
Dari parkiran, perlu berjalan kaki sedikit ke lokasi Bukit Kapur itu. Aku terpesona dengan pemandangan bukit kapur yang fisiknya berbentuk pilar-pilar yang menjulang tinggi. Bentuk masing-masing batu tak ada yang sama. Tapi masing-masing memiliki keunikannya tersendiri. Warnanya putih berbalut hitam dan abu-abu. Ada sebuah pilar batu yang daya pikatnya melebihi dari batu-batu lainnya. Liukannya sangat menawan. Ia memiliki citra seni tersendiri. Batu itu persis berada di tengah-tengah lokasi galian. Tingginya sekitar 9-10 meter dengan diameter sekitar 5 m. Ia seolah memiliki magnet yang kuat untuk menarik perhatian semua orang.
Konon keberadaan bukit batu kapur itu sudah berusia ratusan tahun silam. Sementara keindahan dan eksotisme batu-batu itu terbentuk tanpa sengaja dari tangan-tangan para penambang. Hanya dengan menggunakan alat-alat sederhana mereka memotong dan memecah batu kapur. Meskipun demikian, tak bisa dipungkiri bahwa alampun ikut andil dalam memahat karya indah di atas bebatuan itu. Entah itu dari keberadaan panas, angin, hujan, dan lain sebagainya. Pantaslah kalau kemudian pesona keindahan seni batu karst itu susah ditolak pesonanya.
Cara Menuju Ke Batu Kapur Sumenep
Lokasi Bukit Kapur Batu Putih ini berada di Desa Batu Putih Laok. Jarak tempuhnya, kira-kira satu jam perjalanan dari pusat kota Sumenep. Belum ada angkutan umum yang menuju ke destinasi ini. Sehingga cara terbaik untuk datang ke sini dengan menyewa kendaraan pribadi. Baik itu mobil maupun motor.
Petunjuk arah atau rambu-rambu menuju ke lokasi ini juga masih sangat minim. Selain itu sulit menemukan lokasi ini melalui Google Map, mengingat sinyal provider juga masih belum bagus. Sehingga cara paling aman adalah dengan sering-sering bertanya ke penduduk setempat. Atau kalau mau lebih sederhana, pakailah guide lokal.
Bawa payung kalau tak ingin tersengat teriknya mentari. Dan satu lagi. Jangan lupa bawa bekal makanan dan terlebih minuman, karena di lokasi ini tak satupun ada warung atau toko.
Akomodasi dan Transportasi
Tak perlu kuatir untuk menghabiskan liburan di Kabupaten Sumenep. Sumenep menawarkan banyak pilihan hotel atau penginapan dengan harga yang bervariasi. Untuk hotel yang berkelas (tarif di atas Rp 300.000,-) ada Hotel C1, Hotel Musdalifah dan Hotel Garuda. Untuk hotel yang terjangkau (tarif di bawah Rp 150.00,-) ada Hotel Purnama, Hotel Wijaya 1 dan 2.
Sedangkan untuk sewa kendaraan dan mobil, silakan menghubungi Irul (jejaka aseli Sumenep) di 0857-0858-1174 dengan biaya sewa Rp 350rb – 400rb/hari.
Jadi tunggu apa lagi? Segera packing dan kunjungi Sumenep, The Soul of Madura.
***