“Jika perjalanan tak sesuai rencana awal, tetaplah antusias dan tetap nikmatilah setiap momen yang terlewati.”
Tiket kereta api Semarang-Surabaya PP sudah ada di tangan, sudah semingguan lebih. Tapi tepat 2 hari sebelum keberangkatan, tiba-tiba ada info kalau tour ke Gili Labak dibatalkan. Dengan sangat menyesal, Irul, tour leader bilang, mobil rental yang sudah disewanya ada kendala sehingga tak bisa membawa kami dari Surabaya ke Madura. Dan iapun menjanjikan akan mengganti biaya yang sudah aku keluarkan, termasuk biaya tiket kereta.
Masalahnya, selain malas menukarkan kembali (refund) tiket, aku juga sudah terlanjur mengambil cuti. Baik cuti siaran, maupun cuti mengajar. Istilahnya, sudah kepalang basah. Susah mau kembali lagi. Mau tidak mau, saya tetap harus berangkat ke Sumenep, meskipun destinasinya bukan Gili Labak. Destinasi kan bisa dimana saja, tapi yang penting menikmati perjalanannya bukan?
Baca juga: Selingkuh dulu sebelum wisata ke Pantai Sembilang Gili Genting
Dari Stasiun Kereta Gubeng Surabaya, aku segera memesan taxi online. Butuh sekitar 30 menit untuk sampai ke terminal bus Bungurasih (Purabaya). Oh, ternyata terminalnya lumayan bagus juga. Jika dibandingkan dengan terminal bus Terboyo Semarang. Meskipun masih kalah canggih dan keren jika dibandingkan dengan terminal bus di Kuala Lumpur yang pengaturannya sudah seperti di bandara.
Di dalam bus menuju Kabutapen Sumenep, aku sempat merasa sangat asing. Hampir sebagian besar, entah itu mereka yang duduk di depanku, di belakangku, di sebelahku, mereka saling bercakap-cakap akrab dengan memakai bahasa yang tak kumengerti sama sekali. Bahasa Madura. Hampir saja aku frustasi. Tapi aku segera men-switch pikiranku dengan sesuatu yang positif. Sampai akhirnya, obrolan yang tak kumengerti itu terdengar seperti nada yang meninabobokan.
Baca juga: Sumenep, kepingan puzzle kerajaan Majapahit yang terlupakan
Saat itu Sumenep sedang mendandani beberapa jalan utamanya di beberapa titik. Dan karenanya, kami penumpang bus ini beberapa kali terjebak kemacetan. Setelah menempuh perjalanan sekitar 9 jam, sampai jugalah aku menginjakkan kaki di bumi Sumenep. Satu destinasi yang sering mendapat julukan sebagai ‘the Soul of Madura.” Hari sudah mulai gelap. Akupun langsung menuju ke hotel yang lokasinya di pusat kota. Setelah mandi, aku bergegas ke pusat kuliner di Sumenep. Banyak menu tradisional yang ditawarkan di sana. Aku pilih sate Madura aja. Yang pasti-pasti sajalah, mengingat fisik lagi gak fit. Pulang dari sana, baru terasa badan ini seperti tak bertulang. Capek banget. Tanpa menunggu lama, akupun segera meringkuk di atas kasur yang bersprei putih bersih.
Menikmati Sunrise yang Tak Sempurna
Jam 5 pagi. Irul dan Fa’I, 2 jejaka aseli asal Sumenep itu, sudah membangunkan dan menjemputku di hotel tempatku menginap di Sumenep. Rencananya pagi ini kami akan berburu sunrise di Pantai Lombang. Lokasi pantai ini berada si Desa Lombang, Kecamatan Batang-batang, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.
Jalanan masih sangat sepi kala itu. Tak satupun kendaraan yang kewat dan berpapasan dengan kami. Dengan laju yang lumayan kencang, motor yang kami tumpangi menembus udara yang masih dingin dan cuaca yang masih gelap. Sekitar 30 menit kemudian, sampailah kami di Pantai Lombang.
Tak ada papan petunjuk mengenai harga tiket. Tapi seseorang dengan ikat kepala mendekat dan menarik tarif Rp 20.000,- untuk masing-masing motor. Sudah pasti, tanpa dikasih karcis. Tapi daripada protes dan membuat suasana hati jadi berantakan, maka kuulungkan Rp 40.000,- sembari berkata pada diri sendiri, “Mungkin orang itu lagi butuh uang. Mungkin istrinya sakit. Atau anaknya sedang butuh biaya sekolah. Jadi anggap saja ini sedekah.” Dengan begini, aku lebih ikhlas dan suasana hati tetap bahagia.
Sampai di pantai, kuedarkan pandangan ke sekeliling. Ah, ternyata pantai Lombang ini memesona juga. Tempatnya lumayan bersih. Pasir putihnya yang lembut terhampar di sepanjang 12 km tepian pantai. Jadi kalau mau main kejar-kejaran atau sekedar menulis dan menggambar di pasir, area yang tersedia cukup luas. Airnya juga terhitung jernih dengan warna yang agak biru. Ombaknya tidak terlalu besar, sehingga bisa memuaskan keinginan bagi yang ingin berenang-renang manja di situ.
Beberapa warung-warung kecil tertata rapi di sekitaran pantai. Memang, saat itu masih banyak warung yang tutup karena hari masih pagi sekali. Namun jika sudah agak siangan, warung-warung itu menjual beberapa makanan kecil, aneka menu nasi dan es kelapa muda. Selain itu beberapa gazebo juga disediakan di sekitaran pantai agar pengunjung yang datang ke sini bisa berteduh dari teriknya matahari. Meskipun sebenarnya, banyak deretan pohon cemara yang tumbuh di sekitaran pantai bisa juga dimanfaatkan untuk berteduh kala matahari bersinar dengan teriknya. Udara yang mengalir dari pepohonan itu bisa membuat suasana pantai ini terasa asri dan sejuk.
Inilah sesungguhnya keistimewaan Pantai Lombang. Pantai ini dikelilingi deretan pohon cemara yang fisiknya agak membungkuk dengan tinggi sekitar 4 meter. Nama latinnya Casuarina Equisetidolia. Oleh penduduk lokal disebut Pohon Cemara Udang, karena memang simpul-simpul daunnya jika diamati dengan seksama akan menyerupai kepala seekor udang. Menurut cerita, awalnya Pohon Cemara Udang itu hanya tumbuh di Pantai Lombang dan pantai di perairan Tiongkok. Namun dengan teknologi bonsai, tanaman cemara udang ini sudah dikirim ke berbagai daerah di dalam negeri, bahkan luar negeri.
Tampaknya, sebagian besar penduduk Desa Lombang juga menanam dan menjual pohon bonsai cemara udang. Pohon-pohon bonsai itu terlihat di sepanjang jalanan menuju pantai. Unik dan lucu-lucu bentuk pohon bonsai itu. Aku sempat berbincang dengan salah seorang petugas yang sehari-harinya menjaga dan mengawasi Pantai Lombang. Ia bahkan juga menjual pohon bonsai udang di rumahnya. Darinya, aku jadi tahu, kalau pohon cemara udang yang mengelilingi hampir di seluruh kawasan Pantai Lombang itu, dulu awalnya dibawa oleh para pedagang dari Tiongkok di abad 15. Wah berarti jamannya Panglima Ceng Ho donk ya?
Baca juga: Terpukau keindahan bukit kapur Batu Putih Sumenep
Sayang sekali keinginanku untuk menikmati sunrise yang utuh tampaknya tak bisa terealisasi. Mendung pekat menggelayut di atas sana. Pertanda akan menjadi penghalang matahari untuk memamerkan warna keemasannya pagi ini. Ya nasib. Meskipun begitu, alam masih sedikit menghiburku dengan menyisakan semburat-semburat merah di atas awan sebagai penawar kekecewaan. Lumayanlah, tetap menawan kok. Setelah sempat menikmati secangkir kopi hitam dan semangkuk mie rebus, Irul dan Fa’i mengajakku bergegas meninggalkan Pantai Lombang untuk menikmati keindahan pantai Sumenep lainnya.
Cara Menuju ke Pantai Lombang
Sebenarnya, rute menuju lokasi Pantai Lombang tidaklah sulit. Bisa pakai transportasi pribadi maupun transportasi umum. Dari Pusat Kota Sumenep dapat langsung menuju Pantai ini dengan naik transportasi umum. Jika berangkat dari Surabaya, bisa menyeberang dari pelabuhan Tanjung Perak menuju pelabuhan Bangkalan. Setelah sampai di Bangkalan dapat naik transportasi umum langsung menuju pantai Lombang.
Atau kalau tak mau pusing-pusing, hubungi saja WA Irul di 085708581174 untuk mengatur segala keperluan yang dibutuhkan. Dari mulai sewa mobil, hotel dan lain sebagainya.
Selain itu, untuk menginap, tak perlu kuatir juga. Karena di Sumenep sudah banyak hotel bagus yang bisa dipilih. Tinggal disesuaikan dengan budget yang ada.
***