Waktu itu bulan Desember akhir, hujan tengah produktif sekali. Kebetulan saya sedang di Makassar. Saya menginap di hotel yang berlokasi persis di depan Pantai Losari. Sudah pasti saya puas-puaskan diri menikmati keindahan yang ditawarkan pantai itu. Pagi, siang, sore dan bahkan malam, saya selalu sempatkan melipir ke pantai. Baru setelah itu mulai terpikir untuk menikmati pantai lainnya, karena memang banyak sekali pulau-pulau kecil yang berada di sekitar kota Makassar. Sehingga, pastinya, akan banyak pantai yang bisa menjadi pilihan. Salah satu yang kami datangi adalah Pulau Samalona.
Sedikit membicarakan kota Makassar, dulu sekitar abad XV kota ini pernah menjadi pelabuhan perniagaan internasional. Saat itu, Makassar menjadi pelabuhan pengumpul dengan jaringan meliputi Filipina, Kamboja, Siam, Macau, Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Kota ini menjadi pengumpul untuk perdagangan pala dan cengkeh dari Maluku, komoditas yang paling dicari seluruh dunia pada masa itu. Dan kini, Makassar dikenal sebagai pusat perdagangan sekaligus pusat distibusi barang untuk wilayah Indonesia bagian Timur. Tak heran, banyak kapal-kapal perniagaan yang bersliweran di sepanjang perairan Makassar.
Kondisi geografis Makassar, menyebabkan kota ini memiliki banyak pantai yang dapat dikunjungi. Sebetulnya, saat itu saya lagi kepengin banget ke Tanjung Bira. Ingin melihat langsung aksi pembuatan kapal yang unik. Sayang, waktu sedang tidak bersahabat. Toraja sudah ada dalam rencana, jadi tak bisa jauh-jauh melipirnya. Sementara untuk ke Bira, butuh waktu berjam-jam. Dan pertimbangan lainnya, karena saya datang pas di bulan-bulan dimana laut sedang tidak bersahabat pula. Sehingga, untuk saat itu, pilihan ke Pantai Samalona merupakan alternatif menarik untuk mengobati rasan kangen pantai.
Baca juga: Jalan-jalan ke Tanjung Bira sendirian, siapa takut?
Setelah semalam janjian dengan pemilik kapal untuk menyewa kapalnya, maka keesokannya jam 10 pagi saya dan travelmate sudah bersiap di sebuah dermaga yang tak jauh dari lokasi Pantai Losari. Sudah ada goggle dan snorkel di tangan kami. Tak berapa lama, kapal motor itupun melaju dengan kecepatan sedang. Jarak yang akan kami tempuh dari dermaga sampai Pantai Samalona, kira-kira 2 km. Tidak terlalu jauh memang, tapi mengingat cuaca lagi tak bersahabat, perjalanan menuju ke sana jadi terasa lama dan mencekam.
Perjalanan ke Samalona terasa lebih lama dan mencekam, bahkan dibanding pas saya naik kapal motor dari Tarakan menuju Derawan. Ombaknya serasa membanting-banting kapal yang kami tumpangi. Bisa tiba-tiba ombak menggulung ke atas, lalu dengan tiba-tiba pula ombak turun dengan drastis. Ini membuat kapal seolah-olah terjun bebas di lautan. Sudah begitu, landasan bawah kapal yang terbuat dari kayu saat beradu dengan ombak, menciptakan bunyi yang membuat jantung saya beregup keras. Cetak! Cetak! Duh, baru kali ini saya naik kapal dengan perasaan gelisah dan di sepanjang perjalanan komat-kamit baca doa.
Untunglah setelah kurang lebih 30 menit berlalu, perjalanan mencekam itu segera berakhir. Kami sudah sampai di sebuah pulau kecil, Samalona. Dari kejauhan tadi, terlihat di depan sana hamparan pasir putih yang menyelimuti pulau itu. Begitu mendekat, semakin jelas pemandangan indah hasil kolaborasi pasir putih, air dan langit yang biru. Perasaan mencekam yang saya rasakan tadipun hilang dan langsung berganti menjadi decak kekaguman. Tak sabar rasanya ingin segera menyelami keindahah lautnya. Maka sayapun bergegas mengganti baju dan memakai perlengkapan snorkeling.
Luas Pulau Samalona mungkin tak lebih dari 2 hektar, meskipun begitu pulau ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas penunjang wisata. Meskipun masih terbilag sederhana, di pulau ini tersedia penginapan, juga tersedia kursi-kursi panjang di tepi pantai, kamar mandi bilas, dan penjual minum dan makanan.
Sebelum berangkat snorkeling, saya memesan makan siang lebih dulu. Agar nanti setelah selesai, bisa langsung menikmati menu ikan bakar di tepi pantai. Catatan saja, kita gak bisa memilih jenis ikannya apa lho ya! Makan saja apapun jenis ikan yang tersedia, karena jenis ikan yang tersedia hasil dari menyesuaikan ikan apa yang berhasil mereka tangkap saat itu. Kalau tongkol yang berhasil mereka tangkap, itulah yang akan tersedia. Kalau cakalang yang berhasil mereka tangkap, maka menu cakalanglah yang akan kita santap.
Selain keindahan pantai pasir putihnya, tak ada yang meragukan keindahan bawah laut Pulau Samalona. Makanya, hampir setiap hari adaaaa… saja wisatawan baik local mapun asing yang mendatangi pulau ini. Hanya saja, saat itu ombak lagi tak bersahabat. Setiap saya mencoba menceburkan diri ke bibir pantainya, ombak dengan begitu keras mengantarkan kembali ke tepi pantai. Tak hanya saya saja, serombongan wisatawan lain tampaknya juga mengalami apa yang saya alami. Saya sampai berpindah-pindah tempat. Dan setelah mencoba berkali-kali dan gagal, akhirnya saya lelah dan memutuskan untuk menyerah saja. Saya putuskan duduk-duduk di tepi pantai saja sambil menikmati keindahan pantai.
Baca juga: Takabonerate, pesona magis di ujung Sulawesi
Hari sudah semakin siang. Setelah bilas dengan air yang terbatas dan berganti baju, saya langsung duduk-duduk di kursi kayu yang banyak tersedia di pinggir pantai Samalona. Menu makan siang-pun telah siap. Ikan bakar plus sambal kecap yang cabenya diiris kecil-kecil. Kebetulan mereka berhasil menangkap ikan Baronang, jadi itulah menu yang kami santap siang itu. Saya dan travelmate makan lahap sekali. Bisa jadi karena lapar, bisa juga karena kami bisa sekalian menikmati keindahan pantai pasir putih disertai angin sepoi-sepoi. Bisa jadi, karena alasan keduanya.
Selesai makan siang, kami meluangkan waktu untuk melihat-lihat kondisi di sekitar Pulau Samalona. Tak ada yang menarik, selain bangunan rumah yang berdiri mergah di pulau itu. Entah milik siapa. Mungkin milik beberapa pengusaha, yang namanya tertera di papan nama yang saya lihat di pulau itu. Sementara hari sudah semakin sore.
Semakin sore biasanya ombak semakin menggila. Saya tak ingin mengarungi laut sepanjang 2 km dalam suasana yang lebih mencekam dari yang saya alami pas berangkat tadi. Maka, kami segera bergegas dan bersiap meninggalkan pulau. Agak kaget dengan harga ikan bakar yang kami santap. Rp 400.000,- Lumayan mahal yak? Tapi syukurlah, si travelmate orangnya baik hati. Dia yang bayarin. Makasih yaa… sering-sering kek.. 😀