Rembang kota tempat pahlawan emansipasi wanita, R.A Kartini, dimakamkan, mempunyai banyak potensi wisata yang keren. Mulai dari wisata sejarah, religi, bahari, air terjun sampai wisata kuliner. Rembang yang dilalui Jalan Pantai Utara (Jalur Pantura) ini, punya beraneka makanan khas yang ikonik. Salah satunya Sate Srepeh. Sate khas Rembang ini enak banget disantap kapan saja. Mau disantap di pagi hari untuk sarapan, bisa. Mau disantap di siang hari yang terik, juga bisa. Tambah asyik lagi kalau disantap di sore yang basah sambil menyaksikan lalu-lalang orang di pinggir jalan.
Cara yang benar untuk mengucapkan ‘srepeh’ dari nama menu Sate Srepeh atau Serepeh, sama seperti ketika kita mengucapkan huruf ‘e’ pada kata ‘remeh.’ Awalnya nama itu terdengar asing di telinga Jawa saya. Makanya, semula saya kira kata “srepeh” berasal dari kosa kata Bahasa Tiongkok. Tapi rupanya bukan. Menurut Mas Bambang, salah seorang pengunjung blog saya yang aseli dari Rembang, kata Srepeh aseli merupakan kosa kata bahasa Jawa dialek Rembang.
Baca juga: Secuil kisah dan sarapan lontong Tuyuhan, kuliner khas Rembang
Srepeh adalah nama bumbu yang berwarna merah yang diguyurkan ke atas beberapa tusuk sate ayam kampung. Warna merah dari bumbu srepeh berasal dari air santan yang dicampur dengan gula jawa. Bumbu gula Jawa pada sate inilah yang akan membuat daging ayam yang dibakar atau disate semakin nikmat. Agar bumbu lebih meresap ke dalam daging ayam, konon untuk mencampur bumbu itupun butuh waktu hingga dua jam. Rasa bumbunya gurih dan sedikit asin pedas.
Di eranya dulu, menu Sate Srepeh pernah pernah menjadi primadona di kabupaten paling timur Pantura. Namun sekarang ini menu khas Rembang ini bisa cenderung sudah hampir punah. Menurut seseorang yang tetal 30 tahun lebih berjualan Sate Srepeh, sekarang ini di Rembang hanya sisa sekitar 4 orang saja yang masih bertahan berjualan Sate Srepeh. Kebanyakan pelanggannya sekarang lebih memilih makanan siap saji atau menu makanan yang modern. Tak heran jika ia sekarang lebih sering melayani pesanan dari luar kota dibanding di Rembang sendiri.
Sudah sejak lama saya mendengar gaung Sate Srepeh. Susah lama juga saya penasaran ingin mencicipi dan merasakan sendiri lezatnya kuliner khas Rembang ini. Tapi gak sempat-sempat. Akhirnya pas ada kesempatan mengunjungi Rembang, focus saya cuma satu, yaitu: harus mencicipi Sate Srepeh.
Rembang sore itu tengah diguyur hujan deras. Saya baru saja selesai membeli oleh-oleh. Mungkin karena tadi berjalan kaki kesana kemari, perut mulai minta diisi. Lapar. Seorang kawan yang aseli Rembang menawari saya makan di Warung Sate Srepeh dan Lontong Tahu milik Pak No. Tentu saja tawaran itu saya samber dengan antusias. Maka sayapun segera mengarahkan mobil ke Jalan Gambiran, Rembang, lokasi warung Pak No. Setelah sampai sana, ternyata warungnya tutup. Entah tutup atau memang tidak buka sampai sore. Pupus sudah harapan saya untuk bisa menyantap Sate Srepeh.
Mungkin karena melihat kekecewaan yang tergambar di wajah saya, teman saya langsung menawakan alternatif Sate Srepeh lainnya. Kita ke Warung Tenda Biru saja, katanya. Lalu kami segera menuju ke pertokoan pecinan di Jl. A Yani, Rembang. Di seberang toko mebel, di emperan jalan, ada warung Tenda Biru yang menjual lontong tahu dan Sate Srepeh. Pas sampai sana, ternyata buka! Kebetulan habis buka lapak, karena jam bukanya memang mulai dari jam 4 sore.
Saat memasuki warung itu, ternyata sudah banyak pembeli yang antri. Saya perhatikan, sebagian orang Jawa dan sebagian lagi Tionghoa. Mereka membaur dan duduk di kursi yang mengitari sebuah angkringan. Mereka menanti pesanannya dengan sabar. Ada yang sambil bercakap-cakap, ada yang sambil asyik menikmati cemilan atau gorengan. Di atas angkringan memang tersedia beragam jenis cemilan. Dari mulai bakwan jagung, tempe goreng, peyek udang, sate Srepeh dan tahu goreng. Saya mencomot tempe goreng sembari menunggu pesanan lontong tahu.
Baca juga: Kemesraan kultur Tionghoa dan Jawa terekam di Lasem
Sekilas, penyajian lontong tahu dan sate Srepeh itu memang terlihat seperti menu yang ajrut-ajrutan, campur aduk dan tabrak lari. Sebenarnya sajian menu lontong tahu ini, tak jauh bedanya dengan sajian lontong tahu Magelang. Atau agak-agak mirip juga dengan sajian gado-gado. Hanya saja, lontong tahu Rembang lebih berkuah santan. Penampakannya seperti Sate Padang. Ketika tersaji di atas piring, bumbu itu berwarna kuning kecoklatan dan lebih encer. Rasanya campuran antara gurih, asin, dan pedas. Coba deh, sekali-kali biarkan lidah untuk mencicipi menu ini. Dijamin, sensasinya bikin ketagihan. Pokoknya enak dan rasanya tak terlupakan, terutama buat saya yang baru pertama kali mencicipi kala itu.
Sambil menunggu pesanan, saya memperhatikan bagaimana bapak penjual Sate Srepeh yang sedang menyiapkan bumbu kacang. Tangannya nampak luwes sekali menghaluskan bumbu-bumbu di atas cobek. Setelah bumbu kacang selesai dibuat, dia mengambil piring yang dilembari daun jati. Konon, aroma daun jati diyakini semakin menambah sedap cita rasa sajian sate srepeh. Di atas daun jati itu, dia masukkan beberapa potongan lontong dan tahu goreng dengan ditambahkan taoge atau kecambah. Lalu dia mengguyurnya dengan bumbu kacang yang tadi dibuatnya. Setelah diguyur bumbu kacang, lalu sajian Sate Srepeh itu diguyur agi dengan sayur lodeh labu. Tak lupa di atas sajian Sate Srepeh, dia menaburi bawang goreng dan perasan jeruk pecel sebagai pelengkap.
Sebenarnya selain dengan lontong, menu tahu bumbu kacang dari Sate Srepeh tadi, bisa disantap juga dengan nasi. Jadi tergantung selera, mau nasi atau lontong. Atau kalau perutnya bisa muat banyak, bisa lah pakai dua-duanya. Ya nasi, ya lontong. Biasanya, sate Serepeh dijadikan sebagai lauk pendamping saat menyantap lontong/nasi tahu.
Satu tusuk sate Srepeh terdiri dari beberapa potongan daging ayam yang berbentuk pipih dan diiris tipis-tipis. Setelah diiris-iris, daging-daging itu dikukus bersama bumbu dan kemudian dibakar, layaknya seperti sate-sate lainnya. Yang berbeda adalah cara menyajikannya. Sate Srepeh disajikan dengan dituangi kuah bumbu kacang santan yang agak kental. Saya sempat mencomot satu tusuk. Pinggiran daging ayam yang dibakar, terasa sekali di lidah. Sedangkan bumbu kacangnya sendiri, terasa gurih, asin dan pedas.
Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, akhirnya pesanan saya tersaji. Sepiring lontong tahu yang disajikan di atas piring berlapiskan lembaran daun jati. Sejujurnya, daun jatinya itu memunculkan aroma dan sensasi tersendiri. Sukar dilukiskan, tapi yang pasti, semakin menggugah selera makan. Karena tak tak ingin terlalu banyak makan daging ayam, saya mengambil Sate Srepeh hanya beberapa tusuk saja. Selebihnya, saya menyantap lontong tahu bersamaan dengan peyek udang. Wah, peyek udangnya mantab! Cuma sayang, udangnya kurang gede dikit. Saya sudah berusaha memilih dan mencari peyek yang udangnya agak besaran, ahelah… ketemunya udang yang imut lagi. Ya sudahlah, tak jadi masalah. Karena toh akhirnya saya menghabiskan 5 buah peyek udang. Begitulah saya. Lemah, kalau ketemu udang. 😀