Ambon, sebagai Ibukota Propinsi Maluku, merupakan salah satu kota yang berlokasi di pesisir pantai. Selama mengeliling kota ini, mata kita akan dimanjakan oleh pemandangan laut dengan pohon-pohon nyiur yang melambai di pinggir-pinggir pantainya. Sebagian besar pantainya memiliki pasir putih yang berkilau indah, air lautnya yang bening dan berwarna biru kehijau-hijauan.
Selama tinggal beberapa hari di Ambon sembari menunggu jadwal kapal yang hendak membawa saya ke Banda Neira, saya berupaya mengeksplor kota ini dengan semaksimal mungkin. Salah satunya dengan mengunjungi beberapa pantai yang sukses membuat hati meleleh dan ternganga-nganga.
Ini Daftar Pantai di Ambon yang bikin meleleh
Dari puluhan pantai di Ambon yang eksotis itu, saya berhasil menjamah sebanyak 6 pantai. Pantai mana sajakah itu? Berikut daftarnya:
-
Pantai Pintu Kota
Pagi itu saya masih di kamar hotel ketika seseorang masuk ke handphone saya. Oh, Atrasila Adlina! Seorang traveler asal Bogor yang saat itu tengah bekerja di Ambon. Dia mengajak saya bergabung dengan teman-teman kantornya dengan tujuan Pantai Pintu Kota, daftar pertama pantai di Ambon.
Di tengah perjalanan menuju pantai kami sempat tertawa-tawa karena ulah gokil si bule Perancis, Zorgno. Dia hanya bisa mengucapkan 2 kalimat Bahasa Indonesia, yaitu: SAPI dan BULE GILA. Hahaha. Namun singkat kisah, setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit sampailah kami di Pantai Pintu Kota. Setelah Nanda memarkir mobil, kami berlima langsung menuruni tangga curam. Pas turunnya sih tidak masalah, tapi pas naiknya nanti yang cukup membuat saya ngos-ngosan.
Dari tangga itu ada jalan setapak sepanjang sekitar 500 meter yang harus kami lewati. Beberapa penjual makanan ringan dan rujak berjejer memenuhi jalan setapak menuju pantai. Begitu sampai di bibir pantai, terlihat sebuah batu karang raksasa yang bagian tengahnya bolong menyerupai pintu yang terbuka. Keunikan inilah yang membuat warga Ambon menamai pantai itu dengan Pintu Kota, karena seolah menjadi pintu gerbang masuk ke kota Ambon. Dan sebagai traveler pemula, rasanya hidup belum lengkap kalau tidak berfoto-foto di depan batu karang yang tengahnya berlobang itu.
Hati saya terasa damai memandangi lautan yang biru yang terhampar luas di sepanjang Pantai Pintu Kota. Masih ditambah lagi dengan pepohonan kelapa yang banyak tumbuh di kawasan itu. Dan meskipun sebagian bibir pantai ini terdiri dari pantai yang berpasir putih, namun sebagian besar terdiri dari batu-batu karang yang lembab. Kontur inilah yang menyebabkan Pantai Pintu Kota tidak cocok untuk berenang ataupun berjemur.
Pantai Pintu Kota merupakan salah satu ikon wisata kota Ambon, itu sebabnya lokasi pantai ini menjadi semacam hal yang wajib didatangi oleh para wisatawan. Puas menikmati keindahan Pantai Pintu Kota, kami segera beranjak menuju lokasi pantai berikutnya.
-
Pantai Namalatu
Jarak antara Pantai Pintu Kota dengan Pantai Namalatu tidak terlalu jauh. Paling tidak, karena yang nyetir mobil Nanda, sementara saya dan yang lain asyik bersenda gurau, sehingga rasanya dekat-dekat saja jaraknya.
Memasuki kawasan Pantai Namalatu, saya dibuat kagum dengan tamannya yang tertata rapi dan bersih. Terasa sejuk, karena banyak pohon kelapa yang beberapa diantaranya bajkan menjorok ke arah pantai. Tersedia juga beberapa gazebo sebagai fasilitas untuk bersantai. Di bibir pantai dipenuhi pecahan batu karang yang terlihat eksotis dan seolah pasrah berkali-kali dihempas deburan ombak.
Di sela-sela kami melangkah menuju lokasi pantai yang berpasir putih, terlihat jembatan batu yang posisinya menjorok agak ke tengah laut. Saya ingin mengabadikan jembatan itu, tapi sudah sekitar 15 menit saya menunggu tak jua jembatan itu sepi pengunjung. Yang satunya pergi, ehhh… sekelompok orang yang lain datang lagi ke lokasi itu. Akhirnya saya pasrah, mengambil gambar seadanya.
Meskipun mirip-mirip seperti Pantai Pintu Kota yang dipenuhi batu karang, tapi area pasir putih di Pantai Namalatu porsinya lebih luas. Sehingga, hal ini memungkinkan kami untuk bermain air dan snorkeling. Dari kami ber-5, hanya Zorgno sendiri yang berniat nyemplung dan snorkeling. Yang lainnya (termasuk saya) hanya bermain-main air dan menikmati kelapa muda yang dipetik langsung dari pohonnya yang banyak dijajakan oleh para pedagang di sekitar pantai.
Di depan Pantai Namalatu terbentang Laut Banda yang sangat luas. Air lautnya bening dan berwarna biru kehijau-hijauan. Sanggup membuat siapapun yang melihatnya akan meleleh, saking indahnya. Saya yang semula memang sedang tak ingin berbasah-basah, namun saking gemasnya, terpaksa menyingsingkan baju dan lengan untuk menceburkan diri ke laut. Tak lupa, kami mengabadikan kebersamaan di Pantai Namalatu dengan berfoto-foto.
Belum puas rasanya menyesapi keindahan Pantai Namalatu, akan tetapi hari sudah beranjak sore. Saatnya kembali ke habitat masing-masing. Mungkin suatu saat saya akan kembali ke pantai ini, setelah memastikan kondisinya tidak terlalu ramai pengunjung.
-
Pantai Batu Kuda
Di tengah-tengah kesibukannya dengan ikan-ikan tuna, Atrasila Adlina, traveler hitam manis dengan jilbab putih itu, sempat mengajak saya melawat ke Negeri Tulehu. Semula saya girang sekali, tapi begitu mengetahui kalau dia akan memboncengkan saya dengan motor, saya jadi agak kuatir. Bukan motor bebek soalnya, tapi motor laki-laki. Dan tampaknya dia belum begitu canggih mengendarainya. Huaaaa… Pasrah saja deh, yang penting bisa ke Tulehu.
Sampai di Tulehu, Adlina si bocah gokil itu langsung membawa saya ke Pantai Batu Kuda. Pantai ini memiliki hamparan karang yang sangat banyak dan luas. Konon, dulunya di pantai ini terdapat batu karang tinggi dan besar yang bentuknya menyerupai hewan kuda. Tapi saat berada di sana, kami tak lagi mengenali batu karang yang mirip kuda itu. Hmm, apa mungkin sudah terkikis ombak? Entahlah.
Baca juga: Abda’u, tradisi mistis Hari Raya Idul Adha di Negeri Tulehu
Hamparan laut yang luar yang berwarna biru kehijau-hijauan di Pantai Batu Kuda, terlihat begitu luas dan mempesonakan. Tapi sejauh mata saya memandang, tak tampak tepi pantai berpasir putih. Hanya hamparan karang-karang yang besar dan tajam. Jadi, sepertinya tepian pantai ini tidak direkomendasikan untuk bermain air atau berenang cantik. Mungkin kalau snorkeling atau diving masih bisa, tapi menurut Adlina, beberapa hari yang lalu ada yang snorkeling di sini dan menghilang tak berhasil ditemukan. Serem ih!
Kalau begitu, kenapa kita perlu datang ke Pantai Batu Kuda ini? Pemandangannya cantik, apalagi kalau pas sunset. Dan selain itu, keunikannya, di pantai ini terdapat beberapa titik sumber air panas. Yang sayangnya, pada saat saya kesana, titik-titik sumber air panas sedang mengering. Alias tidak ada airnya.
Aktivitas lain yang bisa kita lakukan di Pantai Batu Kuda ini, tentu saja berfoto-foto. Demi mengambil foto dari berbagai angle, saya dan Adlina sampai melompat kesana-kemari di antara batu karang yang besar-besar itu. Rasa sakit karena tajamnya karangpun tak kami hiraukan. Sampai kami kelelahan. Hari sudah semakin sore, sementara kawasan pantai juga sudah mulai sepi. Yang terdengar hanya desiran pepohonan yang banyak tumbuh di kawasan itu serta deburan ombak yang semakin keras. Kamipun segera beranjak meninggalkan pantai.
-
Pantai Liang
Saat itu saya sedang menunggu kedatangan Onie di sebuah hotel dekat pelabuhan Tulehu. Besokannya kami memang berencana akan berangkat ke Ora Beach Resort. Melalui handphone dia sempat menanyakan sebaiknya naik transportasi apa. Saya sudah menjelaskan, kalau naik ojeg kira-kira sekian, sedangkan kalau naik taxi kira-kira sekian. Ealah, begitu sampai, dia malah langsung memberitahukan kalau sudah carter mobil sampai jam 6 malam. Dan meminta rekomendasi enaknya jalan-jalan dulu kemana gitu.
Akhirnya, karena saya tahu dia anak pantai banget sementara waktu yang kami miliki tidak begitu banyak, saya mengajaknya ke Pantai Liang dan Pantai Natsepa. Kebetulan pas kemarin diajak kesini oleh Adlina sudah terlalu sore, sehingga kurang mengeksplor kedua pantai ini. Onipun setuju. Berangkatlah kami berdua.
Sampai di Pantai Liang, saya terkagum-kagum dengan air lautnya yang jernih dan warnanya biru kehijau-hijauan. Pasir pantainya juga putih bersih. Saya tak kuasa menahan godaan keindahannya itu. Ombaknya juga tidak terlalu kuat. Beberapa anak kecil berenang di pinggiran pantai dengan menggunakan ban. Sementara di tengah laut sana, beberapa kapal tampak hilir mudik.
Konon, di salah satu titik di Pantai Liang ini terdapat spot diving yang menjadi titik favorit pala diver, dimana di lokasi bawah laut itu terdapat goa bawah air yang menakjubkan. Tapi saya tak melihat ada toko atau kios yang menawarkan paket bawah laut di sekitar pantai itu. Bahkan penyewaan alat snorkeling pun juga tak ada. Tak ada cara lain, selain langsung nyebur ke laut dan berenang cantik seadanya.
Selesai bermain air, kerongkongan saya terasa haus. Kami langsung menuju ke penjual makanan yang berada di sekitar pantai. Sambil menikmati es kami memandangi laut yang menakjubkan. Ditambah dengan rindangnya pohon-pohon besar yang tumbuh di sekitar lokasi pantai. Sempurna banget.
Seorang bapak-bapak mendekati kami yang sedang bersantai. Dia menawarkan kapal dayungnya. Mempertimbangkan belum satupun wisatawan yang menyewa kapalnya dan keuntungan berfoto-foto sambil menaiki perahu dayung, kamipun mengiyakan tawaran bapak itu. Saya dan Onie bergantian menaiki kapal itu. Radius berlayarnya juga tak terlalu jauh, tapi lumayan bisa menikmati gelombang yang mengayun-ayun kapal yang kami naiki.
Bapak pemilik perahu itu juga menawari kami untuk berlayar menuju Pulau Pombo yang ada di seberang Pantai Liang. Katanya, tidak sampai 30 menit sudah sampai di Pulau itu. Tapi mempertimbangkan soal waktu, kapalnya non motor, kelengkapan alat snorkeling, termasuk life vest, maka sambil tersenyum kami menolak tawaran itu.
Berat rasanya untuk meninggalkan Pantai Liang ini. Rasanya tak ingin beranjak dari pantai yang pernah mendapatkan penghargaan sebagai pantai terbaik di Indonesia. Tapi waktu terus berjalan. Sewa mobil hanya akan sampai jam 6 petang saja. Maka kami segera melanjutkan perjalanan ke pantai berikutnya.
-
Pantai Natsepa
Pantai di Ambon berikutnya yang bikin hati saya meleleh adalah Pantai Natsepa yang terkenal dengan hamparan pasir putihnya yang lembut. Memang setelah saya pegang, terasa lembut sekali. Paling lembut dari pasir pantai-pantai yang pernah saya datangi. Air lautnya meski menurut saya tak sebagus Pantai Liang, tapi tetap terlihat bening dan berwarna biru kehijau-hijauan. Sementara di pinggir pantai beberapa kapal tengah bersandar siap untuk disewa.
Katika kami sampai di bibir pantai itu, kondisinya cukup ramai pengunjung. Tampak anak-anak kecil berlarian kesana-kemari, beberapa orang dewasa tengah bermain sepak bola. Bahkan ada pula sekelompok orang tengah melatih keahlian olah raga bela dirinya. Mereka berlari-lari, menendang, memukul, sambil kakinya terendam dalam air laut.
Di Pantai Natsepa, saya dan Onie melakukan aktivitas yang juga dilakukan oleh sebagian wisatawan yang berada di lokasi itu, yaitu: berenang-renang cantik. Konon, orang Ambon bilang, jangan pernah bilang sudah ke Ambon jika belum berenang di Pantai Natsepa. Maka, kami berduapun segera menceburkan diri laut sembari mengejar riak-riak ombak.
Lelah berenang kian kemari, kami bersantai pondok-pondok pedagang yang menghadap pantai. Banyak jajanan yang dijual disini, seperti misalnya: jagung rebus, pisang goreng, dan beberapa makanan khas Maluku lainnya. Saya dan Onie sudah pasti memesan rujak Natsepa yang terkenal itu dan es kelapa muda.
Sebenarnya rujak Natsepa ini tak beda jauh dengan rujak-rujak yang dijual di Jawa atau di daerah lainnya. Bahannya terdiri dari aneka buah-buahan, sedangkan sambalnya terbuat dari cabe, gula merah dan kacang tanah. Masalahnya, orang Ambon bilang, jangan pernah mengaku sudah menginjak Natsepa jika belum merasakan rujak Natsepa. Tapi kan kalau kita sudah punya foto kita di Natsepa, sudah kita unggah di media sosial pula, masak iya, masih butuh hal lain untuk pembuktian? Hihihi…
Sembari menikmati rujak dan es kelapa muda, di ujung sebelah kanan kami duduk tampak matahari mulai meredup. Oh senja telah datang! Saatnya kembali ke penginapan, beristirahat, dan besoknya melanjutkan perjalanan lagi. Berarti secuil kisah di Pantai Natsepa menjadi penutup dalam artikel ini.