Wisata Sejarah di Banda Neira, Dari Istana Mini Hingga Belgica

Entah angin apa yang membuat saya dulu begitu kuat memiliki keinginan untuk mengunjungi Banda Neira di Maluku Tengah. Padahal jaraknya jauh kalau dihitung dari rumah tinggal saya. Mungkin sekira 2,500 km. Biayanya juga tak murah. Tapi kalau niat kita kuat banget, biasanya alam semesta ikut membantu mewujudkan. Dan sulit dilukisakan bagaimana rasanya ketika saya akhirnya saya berhasil juga menginjakkan kaki di Banda Neira, tanah seribu pala ini. Begitu sampai, rasanya saya sudah tak sabar untuk segera menjelajahi setiap sudut sejarah kotanya. Mulai dari Istana Mini sampai ke Benteng Belgica. Bahkan sampai membeli oleh-oleh.

Pemandangan Gunung Api Banda dari samping tempat saya menginap
Pemandangan Gunung Api Banda dari samping tempat saya menginap

“Selamat datang di Negeri Pala!” sambut Saiful sambil tersenyum lebar, begitu saya menginjakkan kaki di Banda Neira, Maluku Tengah.

Sama seperti sebagian besar warga di kota ini, pria berperawakan kurus itu menawarkan senyum dan keramahan yang tulus kepada para wisatawan yang datang. Dan pria berusia tigapuluhan kelahiran Banda ini, termasuk salah satu sosok pemuda yang sangat peduli dan cukup dalam mengenal seluk-beluk dan sejarah kota kelahirannya. Saya banyak belajar sejarah dan budaya Banda Neira dari dia.

Pasar tradisional di Banda Neira
Keramaian dan kesibukan pasar tradisional di Banda Neira

Kepulauan Banda Maluku merupakan gugusan pulau yang terdiri dari 3 pulau, yaitu: Pulau Gunung Api, Pulau Banda Besar dan Pulau Neira. Itu sebabnya, Neira lebih dikenal dengan nama Banda Neira. Banda Neira sendiri merupakan pusat kota administratif dan sekaligus juga merupakan titik tolak untuk melakukan eksplorasi ke pulau-pulau lain di kawasan Kepulauan Banda Maluku.

Baca juga: 6 pantai di Ambon yang bakal bikin kamu meleleh

Meskipun berfungsi sebagai pusat kota administratif, Banda Neira hanya terdiri dari 6 desa. Selain itu, wilayah juga tak terlalu luas. Sehingga saat mengelilingi kota ini, saya lebih banyak berjalan kaki. Sesekali saya berpapasan dengan pengendara sepeda motor, tapi jarang atau bahkan hampir tidak pernah bersua dengan pengendara mobil.

Salah satu menu sarapan saya di Banda Neira. Kue kenari, kue kayu manis dan teh kayu manis.
Salah satu menu sarapan saya di Banda Neira. Kue kenari dan teh kayu manis.

Saya menginap di rumah orang tua Saiful. Tidak terlalu mewah, tapi saya suka suasana kekeluargaan yang ada di dalamnya. Selain itu, masakan ibunya sangat lezat sekali. Seminggu tinggal di rumah ini, berat badan saya nambah 5 kilo. Hahaha… Selain masakan ibunya, hal lain yang saya suka yaitu rumahnya berlokasi di sekitar jalan Zonnegat. Di jaman colonial Belanda dulu, kawasan ini termasuk kawasan elit. Hanya orang-orang tertentu saja yang boleh melenggang di kawasan ini.

 

Istana Mini dan Kisah Kerinduan yang Tergores di Kaca Jendela

Istana Mini Banda Neira. Dulu perekonomian Belanda dikelola dari sini
Istana Mini Banda Neira. Dulu perekonomian Belanda dikelola dari sini

Hari masih pagi. Gunung Api Banda masih berkabut. Beberapa kapal nelayan masih bersandar di dermaga. Tapi saya sudah mandi dan wangi. Ransel dan kamera sudah siap ditenteng. Saya sudah siap untuk menyusuri setiap sudut bersejarah dari Banda Neira. Meskipun bisa sewa motor atau naik ojek, tapi saya memilih jalan kaki. Dengan jalan kaki, saya bisa merekam setiap sudutnya dengan lebih detail.

Bangunan yang pertama saya datangi: Istana Mini. Lokasinya hanya beberapa langkah saja dari tempat saya menginap. Bentuk bangunnya mirip plek dengan Istana Negara yang ada di Bogor. Hanya saja, yang di Banda Neira ini, versi yang lebih kecil.

Salah satu ruangan di kawasan Istana Mini. Cenderung kosong tanpa isi.
Salah satu ruangan di kawasan Istana Mini. Cenderung kosong tanpa isi.

Tidak ada yang istimewa ketika saya memasuki gedung ini. Malah bisa dibilang kosong, tak ada isinya. Selain kursi tua dan beberapa benda tua lainnya. Padahal kalau dilihat dari sejarahnya, Istana Mini ini dulunya merupakan kantor administrasi pemerintahan serta kediaman resmi gubernur dan residen yang memerintah Banda. Selain itu, gedung bercat putih dengan arsitektur Eropa klasik ini pernah digunakan Jan Pieter San Coen untuk mengatur dan mengurusi perdagangan di Kepulauan Banda.
Perasaan saya sempat merasa tak enak ketika memasuki salah satu ruangan yang berada di bagian paling depan.

Ini tulisan Charles Rumpley yang berisi tentang kerinduan terhadap keluarga. Setelah selesai menulis, ia memilih bunuh diri. Serem.
Ini tulisan Charles Rumpley yang berisi tentang kerinduan terhadap keluarga. Setelah selesai menulis, ia memilih bunuh diri. Serem.

Ada yang berdesir menghembus di telinga saya. Sepertinya saya tak sendirian di ruangan itu. Di kaca jendela ruangan itu ada goresan tulisan. Menurut Saiful, itu dulunya tulisan tangan seorang pegawai Kolonial Belanda asal Perancis bernama Charles Rumpley. Goresan itu tulisan di atas kaca itu ditulis menggunakan cincin berlian. Isinya tentang kerinduan yang sangat terhadap keluarga. Goresan tulisan tangan itu merupakan kata-kata terakhir, karena setelahnya Charles Rumpley bunuh diri. Hm, tragis ya?

 

Rumah Pengasingan Bung Hatta dan Bangku-bangku Sekolah

 

Rumah Pengasingan Bung Hatta di banda Neira
Rumah Pengasingan Bung Hatta di banda Neira

Rumah pengasingan Bung Hatta berlokasi tidak jauh dari Benteng Belgica itu. Kondisi bangunan gedungnya masih bagus dan masih terawat dengan baik. Bangunan rumah itu cukup besar, terdiri dari bangunan utama di depan dan bangunan tambahan di belakang. Di rumah bagian depan, memamerkan koleksi-koleksi pribadi, seperti misalnya foto-foto tua, baju, jas, kacamata khas Bung Hatta, mesin ketik tua, surat-surat dari ibunda, kursi, tempayan/gentong tempat menampung air hujan sebagai sumber air minum dan sebagainya. Sementara di bagian belakang rumah, terdapat bangku-bangku sekolah yang digunakan Bung Hatta untuk mengajar, ruang dapur, kamar mandi dan sumur.

BACA JUGA: Napak Tilas Ke Rumah Pengasingan Bung Karno

Sebelum diasingkan di Banda Neira sini, Bung Hatta yang punya nama lengkap Mohammad Hatta telah lebih dulu diasingkan ke Boven Digul, Papua. Papua pada masa itu tentunya lebih ganas kondisinya dari sekarang. Masih dikeliling hutan rimba dan ancaman nyamuk malaria yang masif dan ganas. Mengasingkan Bung Hatta di Papua, menyebabkan pihak Belanda menuai berbagai kritik. Akhirnya, mereka memindah lokasi pengasingan ke Banda Neira.

Bangku tempat dulu Bung Hatta mengajar anak-anak Banda Neira
Bangku tempat dulu Bung Hatta mengajar anak-anak Banda Neira

Di Banda Neira, karena statusnya sebagai tahanan yang diasingkan, Bung Hatta dijauhi oleh warga setempat yang memasang jarak dan bersikap hati-hati. Hal ini kadang membuat beliau merasa kesepian dan jenuh. Untuk mengusir kejenuhan, dia menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan ke hutan bersama anak-anak, menulis untuk surat kabar dan mengajar anak-anak Banda dalam hal menulis, membaca, aritmatika dan Bahasa Inggris.

Bung Hatta juga membuka sekolah sore, tanpa memungut bayaran. Namun karena dibatasi oleh Belanda, beliau hanya menerima 14 anak saja. Rata-rata murid yang diajar adalah murid-murid yang kurang mampu secara ekonomi. Semua mata pelajaran disampaikan dalam Bahasa Belanda. Bangku-bangku tempat Bung Hatta mengajar anak-anak Kepulauan Banda dulu, masih ada sampai sekarang.

 

Benteng Belgica dan Pesona Banda Neira dari Menara Benteng

Benteng Belgica yang masih berdiri kokoh di Banda Neira
Benteng Belgica yang masih berdiri kokoh di Banda Neira

Benteng Belgica merupakan bangunan tertinggi di Banda Neira. Dari banteng yang dibangun pada abad 16 ini, kita bisa melihat reruntuhan Benteng Nassau yang lokasinya memang lebih rendah. Semula banteng ini difungsikan sebagai pusat pertahanan Portugis, namun ketika Belanda berhasil menguasainya, banteng ini beralih fungsi sebagai tempat strategis untuk memantau lalu-lintas kapal dagang yang mengangkut rempah-rempah, termasuk pala.

Bagian atas Benteng Belgica berbentuk segi lima. Dari atas, terlihat kamar-kamar penjara
Bagian atas Benteng Belgica berbentuk segi lima. Dari atas, terlihat ruang-ruang penjara

Jika boleh jujur, sebenarnya keberadaan Benteng Belgica inilah yang membuat saya berkeinginan kuat untuk datang ke Banda Neira. Saya lihat di internet, bangunannya begitu megah. Dan unik. Benteng yang membentuk lima persegi ini terdiri dari 2 bangunan bertingkat. Bagian bawah terdiri dari beberapa ruangan tahanan yang dilengkapi dengan alat pasung dan pemenggal kepala. Terus juga ada 2 buah sumur yang konon katanya… dulunya punya 2 fungsi, yaitu sebagai terowongan menuju benteng Nassau dan satunya lagi sebagai terowongan menuju pelabuhan.

Benteng Nassau dilihat dari Benteng Belgica
Benteng Nassau dilihat dari ketingggian di Benteng Belgica

Kalau ingin melihat keindahan yang hakiki dari Banda Neira, naiklah ke atas menara benteng. Di sana terdapat ruangan terbuka dimana kita bisa leluasa melihat keindahan kota Banda Neira, yang bagai lukisan alam yang lengkap karena ada lautnya, pegunungan serta rumah-rumah penduduk yang tersebar. Dan karena berada di lokasi yang paling tinggi, spot foto paling bagus juga ada di sini. Berpuas-puaslah foto di atas menara sini. Hanya saja, perlu kehati-hatian tingkat tinggi saat menaiki menara Benteng Belgica. Mengingat, tangga untuk menaiki menara terhitung kecil, posisi tangganya agak tegak, dan hanya cukup untuk satu badan saja. Pun di bagian ujungnya, makin menyempit. Perhatikan pula posisi tubuh kita ketika akan turun tangga nantinya.

 

Rumah Budaya dan Lukisan Berdarah-darah

Rumah Budaya yang berfungsi sebagai museum di Banda Neira
Rumah Budaya yang berfungsi sebagai museum di Banda Neira

Salah satu hal yang tidak boleh terlewatkan saat mengeksplor Banda Neira adalah mengunjungi Rumah Budaya. Rumah Budaya ini fungsinya idem dengan museum yang menyimpan benda-benda bersejarah. Rumah ini dulunya milik Des Alwi, salah seorang seorang sejarahwan dulunya murid langsung Bung Hatta. Lokasinya tepat berada di depan Delfika Guest House. Atau sederatan dengan lokasi rumah Pengasingan Sultan Syahrir, rumah pengasingan Cipto Mangunkusumo, pengasingan Iwa K. Soemantri, dan rumah Captain Christopher Coole yang berasal dari Inggris.

Lonceng yang melegenda, Lonceng Perek Babi Mandi (1881)
Lonceng yang melegenda, Lonceng Perek Babi Mandi (30 Desember 1881)

Rumah Budaya yang arsitekturnya bergaya Belanda ini terdiri dari beberapa ruang. Benda-benda bersejarah yang disimpan di museum ini kebanyakan berasal dari masa kolonial Belanda ketika menguasai Banda Neira. Seperti misalnya 3 lonceng yang terdiri dari lonceng Perek Lautaka (1873), lonceng Perek Babi Mandi (1881) dan lonceng Perek Dender. Lonceng-lonceng ini dibunyikan pada saat para pekerja di kebun pala akan mulai berkumpul, bekerja, waktu istirahat dan waktu selesai bekerja.

Lukisan yang menggambarkan kekejian algojo Jepang yang memenggal orang-orang kaya dan terpandang di Banda Neira
Lukisan yang menggambarkan kekejian algojo Jepang yang memenggal orang-orang kaya dan terpandang di Banda Neira

Kisah kekejaman di era kolonial Belanda juga terekam di Rumah Budaya. Kisah ini direkam melalui sebuah lukisan raksasa dimana 44 warga Banda yang kaya dan terpandang dieksekusi oleh 6 algojo Jepang atas perintah Gubernur Jenderal Belanda Jan Pieterzoon Coen. Mereka dieksekusi pada 8 Mei 1621 tepat di depan Benteng Nassau karena menolak memberikan tanah yang kemudian dirampas paksa oleh Belanda. Karena menolak, akhirnya mereka dipenggal kepalanya secara sadis di depan anak-istri beserta keluarganya. Setelah dipenggal, kepala dari 44 orang terpandang di Banda tadi diarak keliling kota, lalu ditancapkan di atas bambu, dan digantung di depan Benteng Nassau. Sementara tubuhnya diceburkan ke dalam sebuah sumur tua. Saat ini sumur tadi masih terawat baik yang dikenal dengan sebutan Perigi Rante. Nama ke 44 orang yang dipenggal tertera jelas di sumur tua yang sekarang telah menjadi monumen.

 

Perigi Rante, Benteng Nassau, Gereja Tua Neira dan Klenteng sampai Oleh-oleh

Perigi Rantai menyimpan kisah kelam masa lalu Banda Neira
Perigi Rantai menyimpan kisah kelam masa lalu Banda Neira. Semua nama yang dipenggal kepalanya tertera di sini,

Menyusuri Banda Neira untuk berkenalan dengan sudut-sudut sejarah kota ini memang paling pas dilakukan dengan jalan kaki. Ada banyak tempat atau lokasi bersejarah yang wajib kita datangi. Jarak antara satu tempat ke tempat lainnya tidak begitu jauh, sehingga tak perlu menguras energi meskipun kita lakukan dengan jalan kaki. Bahkan, justru dengan berjalan kaki sendirian, saya jadi bisa lebih detail mengamati dan menyesap kisah di balik tempat-tempat bersejarah itu. Dan bisa lebih leluasa mengambil foto-foto dari berbagai angle.

Kisah di balik Perigi Rantai yang memilukan mengingatkan saya bahwa nafsu ingin memperoleh keuntungan besar dalam berbisnis lama kelamaan akan menjadikan diri kita berjiwa kejam dan sadis. Jadi datang ke tempat ini merupakan hal yang wajib kita lakukan saat berada di Banda Neira. Jika tak keberatan, sempatkan berdoa. Semoga arwah-arwah di sana senantiasa berbahagia.

Reruntuhan Benteng Nassau yang pernah menjadi saksi kekejaman yang pernah terjadi di Banda Neira
Reruntuhan Benteng Nassau yang pernah menjadi saksi kekejaman yang pernah terjadi di Banda Neira

Benteng Nassau juga termasuk tempat yang wajib kita datangi selama berada di Banda Neira. Benteng yang juga punya nama lain Beneden Kasteel ini, dibangun oleh Admiral Verhoven pada tahun 1607 – 1609 di atas fondasi Benteng Portugis. Benteng yang fisiknya sudah runtuh dan tinggal hanya puing-puing ini, pernah menjadi saksi berbagai peristiwa di Banda Neira. Dari sudut sini, kita bisa melihat bangunan Benteng Belgica yang berdiri megah di tempat yang lebih tinggi. Dan memang, di tempat yang agak berbukit saya melihat ada tangga bawah tanah yang tempatnya agak tersembunyi. Konon, tangga tersembunyi inilah yang menghubungkan Benteng Nassau dengan Benteng Belgica.

Gereja Tua Neira Di bangun di atas pusara 30 prajurit Belanda yang gugur saat perang menaklukan rakyat Banda.
Gereja Tua Neira Di bangun di atas pusara 30 prajurit Belanda yang gugur saat perang menaklukan rakyat Banda.

Di sekitar lokasi Tugu Ciptaan Rakyat Banda yang tertanda 27 Desember 1949, saya melihat sebuah gereja. Gereja Tua Neira. Kata Saiful, lonceng yang terpasang di atas gereja itu terbuat terbuat dari perunggu dan dikirim langsung dari Belanda. Konon, lonceng ini hanya ada 4 buah saja di dunia. Saya hanya melintas saja. Tak ingin masuk. Serem. Seorang bapak yang rumahnya di sebelah gereja itu, menawari saya masuk. Tapi saya hanya menggeleng sambil tersenyum.

BACA JUGA: Tersihir Magnetisme Kota Melaka

Gereja Tua Neira yang sekarang sudah menjadi cagar budaya itu, dulunya dibangun di atas gedung Kerk Hollandisch yang runtuh akibat gempa. Di depan bangunan gereja itu dipasangi sebuah papan pengumuman berwarna hijau tua. Di papan itu tertulis bahwa gereja ini dibangun pada 20 April 1873. Di bangun di atas pusara 30 prajurit Belanda yang gugur saat perang menaklukan rakyat Banda. Identitas dan nisan ke 30 prajurit Belanda tadi terdapat di lantai gereja. Dan sampai saat ini, Gereja Tua Neira masih digunakan untuk pelayanan umat Nasrani yang tinggal di Banda Neira.

Bangunan klenteng di Banda Neira yang masih misterius
Bangunan klenteng di Banda Neira yang masih misterius

Setelah melewati pasar tradisional Banda Neira, kaki ini membawa saya ke sebuah bangunan yang saya yakini klenteng. Entah klenteng apa namanya. Taka da keterangan apapun. Tak ada tulisan yang dapat saya mengerti. Hanya tulisan berhuruf China dan simbol-simbol tertentu yang tertera di bangunan klenteng itu. Saya tak tahu maknanya. Tak ada juga sosok yang sedang bersembahyang di klenteng itu. Hanya seorang bapak yang sedang sibuk membuat manisan pala. Kalau menurut keterangan bapak tadi, di waktu-waktu tertentu masih ada yang datang ke klenteng untuk melakukan sembahyang.

Beragam jenis makanan khas Banda Neira yang bisa kita jadikan oleh-oleh
Beragam jenis makanan khas Banda Neira yang bisa kita jadikan oleh-oleh

Di sekitar lokasi klenteng, ada deretan pedagang yang menawarkan aneka oleh-oleh khas dari Banda Neira. Dari mulai manisan pala, sirup pala, halua kenari aseli dari Banda Neira, kacang botol dan masih banyak yang lainnya. Para penjual oleh-oleh itu menggelar dagangannya di meja yang terbuka, meski ada juga yang berjualan di warung. Saya membeli beberapa untuk oleh-oleh. Harganya masih ramah dengan suasana kantong kok. Lebih baik beli sekarang, daripada besok harus kembali ke sini lagi. Buang-buang energi dan waktu saja.

Membeli oleh-oleh menjadi aktivitas terakhir ketika saya mengekspor Banda Neira. Besok saya akan seharian menyeberang dari Neira menyusuri Banda Besar, termasuk Desa Lonthoir. Makanya, saya ingin segera istirahat. Setelah membeli oleh-oleh, saya kembali ke penginapan. Perut mulai keroncongan. Terbayang menu khas Banda Neira yang akan tersaji di meja makan nanti. Ah, makin lapar.

 

***

Writer. Lecturer. Travel Blogger. Broadcaster

Related Posts