Pak Ratidjo HS Pemilik Resto Jejamuran Jogja, Bekerja Dengan Penuh Cinta

Apabila seseorang bekerja sebagai penyapu jalan, dia akan menyapu jalan, seperti Michelangelo melukis, atau seperti Beethoven mencipta musik, atau seperti Shakespeare menulis puisi. Dia harus menyapu dengan begitu baik, sehingga semua penghuni surga dan bumi akan berhenti, untuk kemudian berseru, “Di sini hidup seorang penyapu jalan yang besar yang melakukan pekerjaannya dengan sangat baik!”—Martin Luther King Jr.

***

Ramainya pengunjung resto Jejamuran yang berlokasi di Sleman, Jogjakarta, membuat saya penasaran.

“Dari mana resto ini mendapat pasokan jamur yang jenisnya beragam dan jumlahnya banyak?”

Pertanyaan itu bermuara pada sebuah jawaban, bahwa jamur-jamur yang menjadi bahan dasar dari beragam menu yang tersedia, berasal dari pertanian jamur si pemilik resto. Dan jawaban itu, semakin menggelitik saya pada pertanyaan selanjutnya.

“Siapakah pemiliknya? Dan bagaimana dia mengelola resto sekaligus lahan pertanian jamur?”

Pertanyaan tersebut membuat saya tak keberatan meluangkan waktu untuk mengunjungi lahan pertanian jamur yang lokasinya tak jauh dari resto. Dan akhirnya, pagi itu, saya ditemani Pak Untung menyusuri lahan pertanian jamur yang luasnya sekitar 2 hektar. Lahan itu terbagi-bagi menjadi beberapa ruang dengan beragam fungsi. Ketika sampai di lahan bagian belakang, saya melihat sebuah mobil keluaran Honda warna putih yang terparkir di antara jerami dan serpihan kayu.

Dari lahan yang dipenuhi tumpukan jerami dan serpihan kayu itu, saya melihat sosok pria baya memakai t-shirt putih yang berdiri di tempat peng-komposan dan sterilisasi.

“Itu Pak Ratijo, pemilik lahan jamur ini dan resto Jejamuran,” jelas Pak Untung.

“Gak usah mendekat kesana mbak, karena di sana baunya menyengat sekali.”

Tapi saya tak bisa mengikuti saran Pak Untung. Satu hal yang membuat saya takjub dan kemudian tergerak untuk mendekati Pak Ratidjo — Ratidjo Hardjo Soewarno — karena beliau dengan antusias membersihkan jerami-jerami yang busuk bersama-sama dengan beberapa karyawannya. Tak sedikitpun terlihat rasa enggan dan jijik meremas-remas jerami busuk itu. Padahal, setahu saya, kebanyakan pemilik bisnis jarang yang mau turun tangan langsung menangani pekerjaan-pekerjaan yang levelnya kurang penting. Apalagi harus menyatu dengan bau busuk.

Lalu saya mengenalkan diri dan Pak Ratidjo mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan saya. Tanpa tedeng aling-aling, saya langsung menanyakan kenapa beliau masih mau turun tangan sendiri menangani tahap sterilisasi dan pengkomposan dalam proses budidaya jamur. Sambil tersenyum, beliau menjawab bahwa dia begitu menikmati pekerjaan itu dan begitu mencintai jamur. Setiap jamur yang tumbuh di lahannya, kedua tangannya harus terlibat. Tangannya harus kotor. Setiap pengunjung restonya perlu menyantap menu jamur yang berasal dari bahan jamur terbaik yang dipetik dari lahan pertaniannya.

Perkenalan Pak Ratidjo dengan jamur, diawali ketika beliau menjadi salah satu karyawan di pertanian jamur yang berlokasi di Wonosobo. Tahun 1968, beliau memutuskan keluar dari pekerjaannya dan memutuskan untuk mengawali bisnis jamur sendiri. Bukan hal yang gampang, karena pada saat itu masyarakat masih takut mengkonsumsi jamur. Mereka masih menganggap kalau jamur itu makanan beracun. Dengan gigih dan kesabaran, beliau berjalan mengelilingi kampung dan mengetuk pintu-pintu untuk menawarkan menu-menu jamur yang dibawanya. Sambil berjualan, beliau juga sekaligus mengedukasi masyarakat bahwa jamur bukan makanan beracun dan justru memberikan banyak manfaat bagi kesehatan tubuh.

Akhirnya, perjuangan Pak Ratidjo door-to-door tersebut membuahkan hasil. Orang-orang mulai sadar akan manfaat jamur dan mau mengkonsumsi menu masakan berbahan jamur yang ditawarkan Pak Ratidjo. Semakin lama permintaan menu jamur makin bertambah, sampai akhirnya memutuskan untuk mendirikan resto yang khusus menyajikan beragam menu dari beragam jenis jamur. Kita bisa mencicipi menu-menu tadi di Resto Jejamuran.

Untuk memenuhi kebutuhan bahan jamur di restonya, akhirnya Pak Ratidjo mulai membuka lahan pertanian jamur. Ada sekitar 27 jenis jamur yang dibudidayakan di pertaniannya, dari mulai: jamur kancing (champignon), portabella king oyster, tiram putih, tiram warna-warni (hitam, pink, kuning, biru, abu-abu), jamur kuping, shitake, nameko, enoki, lingzhi biasa dan lingzhi tanduk rusa, merang hitam, meram putih, dan lain sebagainya.

Dalam menjalankan usahanya, baik lahan pertanian jamur atau resto yang menyajikan beragam menu jamur, Pak Ratidjo memberdayakan masyarakat setempat. Artinya, beliau membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat di sekitarnya. Ada puluhan atau bahkan ratusan yang bisa menghidupi keluarganya karena bisnis Pak Ratidjo yang dijalankan dengan penuh cinta. Begitu besar kontribusinya.

Terakhir, saya menanyakan kenapa Pak Ratidjo tidak membuka cabang di daerah atau tempat lain. Dengan lirih beliau menjawab, kalau ada kekuatiran kalau partner bisnisnya nanti tak memiliki rasa cinta yang besar pada jamur, sebesar cinta yang dimilikinya. Dan untuk memenuhi kebutuhan menu jamur di berbagai daerah, beliau menyediakannya dalam bentuk makanan kalengan. Ada rendang jamur kalengan, tongseng jamur kalengan, dan lain sebagainya. Atau kalau ada yang tertarik ingin menanam jamur, beliau menyediakan bibit-bibit jamur yang siap dikirim kemanapun di seluruh wilayah Indonesia.

Luar biasa perjalanan sukses Pak Ratidjo ini! Salut untuk prestasinya, keberaniannya keluar dari pekerjaan dan membuka bisnis jamur, kegigihannya, kontribusinya pada masyarakat sekitar dan kecintaannya pada jamur.

Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba saya teringat salah satu puisi karya pujangga asal Beirut, Kahlil Gibran:

“Jikalau kau bekerja dengan rasa cinta, engkau menyatukan dirimu dengan dirimu, kau satukan dirimu dengan orang lain, dan sebaliknya, serta kau dekatkan dirimu kepada Tuhan. Dan apakah yang dinamakan bekerja dengan rasa cinta? Laksana menenun kain dengan benang yang ditarik dari jantungmu; seolah-olah kekasihmulah yang akan mengenakan kain itu. Bagai membangun rumah dengan penuh kesayangan, seolah-olah kekasihmulah yang akan mendiaminya dimasa depan. Seperti menyebar benih dengan kemesraan, dan memungut panen dengan kegirangan, seolah-olah kekasihmulah yang akan makan buahnya kemudian.”

Sungguh indah sekali, bagaimana Kahlil Gibran menggambarkan seseorang yang bekerja dengan penuh cinta. Kalau saja kita bisa menerapkannya sebagai sikap kita terhadap pekerjaan, maka kita menempatkan seseorang yang kita kasihi sebagai customer kita. Lalu, produk atau layanan yang kita hasilkan pun, akan mendekati sempurna. Selain itu, kita mengerjakan pekerjaan itu dengan suasana hati yang senang, riang, dan penuh semangat.

Seperti Pak Ratidjo.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top