Ketika saya menginjakkan kaki di halaman depan gedung Informasi Majapahit atau yang lebih dikenal dengan Museum Trowulan, ada serombongan murid berseragam merah putih. Saya melempar senyum ke mereka. Di tengah mereka berdiri seorang guru muda yang tampak berapi-api menceritakan sesuatu.
“Jadi anak-anak, di tempat kita berdiri ini, dulunya pernah berdiri sebuah kerajaan yang terkenal dengan ungkapan ‘gemah ripah loh jinawi.’ Kekayaannya sangat berlimpah. Majapahit nama kerajaan itu. Banyak peninggalan-peninggalan berharga yang diwariskan mereka ke kita untuk dijaga. Dan kita akan melihat sebagian peninggalan itu di gedung ini. Museum Trowulan.”
Sejarah Museum Trowulan
Setelah selesai merancang gedung kampus ITB di Bandunng, Maclaine Pont, arsitek berkebangsaan Belanda, pindah ke Surabaya dan bekerja sebagai konsultan perkereta-apian. Dua tahun kemudian ia mulai melipir ke Trowulan, Mojokerto. Rupanya selain arstitektur, Pont juga tertarik menekuni bidang arkelogi. Pekerjaan konsultan ia tinggalkan sementara, dan mulailah ia menggali dan mengumpulkan benda-benda bersejarah peninggalan Kerajaan Majapahit.
Saking banyaknya benda-benda yang ia temukan, akhirnya diajaklah Bupati Mojokerto saat itu, Kromodjojo Adinegoro, untuk mendirikan OVM (Oudheidkundige Vereeniging Majapahit). Ini sebuah perkumpulan yang tujuannya meneliti peninggalan-peninggalan Majapahit. Mengingat jumlah penemuannya kian hari kian bertambah, maka pada tahun 1926 Pak Bupati berinisiatif membangun sebuah gedung yang fungsinya menampung benda-benda bersejarah, baik itu berupa artefak, prasasti, arca, naskah kuno dan lain sebagianya. Gedung baru inilah yang nantinya akan menjadi Museum Trowulan.
Sebagian ahli berpendapat bahwa pusat pemerintahan Majapahit dulunya berlokasi di sekitar Candi Kedaton. Ada pula yang menduga lokasinya di sekitar Pendopo Agung. Sementara sebagian lainnya berpendapat lokasinya di sekitar berdirinya gedung Museum Trowulan. Mengingat, museum ini seolah-olah berada di pusatnya dan dikelilingi bangunan candi, pentirtaan maupun gapura. Coba bayangkan begini. Andaikan kita memakai matrix 2×2, Museum Trowulan ini berada persis di tengah-tengah. Di sisi kiri-atas, ada bangunan Candi Brahu dan Candi Gentong.
Di sisi kanan-atas, terdapat bangunan Gapura Wringin Lawang. Lalu, di sisi kanan-bawah, ada Candi Bajang Ratu dan Candi Tikus. Sementara di sisi kiri-bawah, terdapat bangunan Pendopo Agung, Candi Kedaton dan area Lantai Segienam. Nah, bisa membayangkan bukan?
Sesuai dengan tujuan awalnya, koleksi Museum Trowulan memang lebih banyak didominasi oleh benda-benda peninggalan Majapahit sekitar abad 13-14. Ada sekitar delapan ribu koleksi yang disimpan di museum ini. Maka gak heran, kalau museum ini lantas mendapat predikat sebagai museum terlengkap yang menyimpan peninggalan-peninggalan Kerajaan Majapahit.
Koleksi-koleksi itu dipamerkan di sebuah ruangan yang secara garis besar terbagi menjadi dua bagian. Yang pertama, Ruang Pamer. Ruang ini dugunakan untuk memamerkan artefak berukuran relatif kecil, seperti mata uang, senjata, prasati, pedupaan dan peralatan rumah tangga. Lalu yang kedua, Pendopo. Sebuah ruangan terbuka yang digunakan sebagai tempat untuk memamerkan artefak berukuran relatif berat, seperti arca, relief, kala, yoni dan lain sebagainya.
Segala benda bersejarah yang di-display di museum itu semakin membuktikan bahwa ternyata pada jaman Majapahit tehnologi dan seni yang dikuasai oleh nenek moyang kita sudah mencapai level yang unggul/tinggi. Dan di antara koleksi-koleksi benda bersejarah itu, ada sebuah arca yang mencuri perhatian saya. Arca Raja Airlangga yang digambarkan sebagai dewa Wishnu yang tengah mengendarai Garuda.
Museum Trowulan terletak di wilayah Dusun Trowulan, Desa Trowulan, Kecamatan Trowulan. Meskipun gedungnya dari luar terlihat seperti rumah biasa dan terlihat pucat, tapi di dalamnya menyimpan benda-benda yang tak ternilai harganya bagi Indonesia. Meskipun saya lihat benda-benda bersejarah itu terawat dengan baik, akan lebih bagus kalau benda-benda itu dipamerkan di sebuah ruangan yang desain interiornya agak modern. Seperti misalnya desain interiornya Museum Sangiran di Boyolali. Wuahh, pasti makin bikin betah pengunjung deh!
Sudah pernah ke sini? Buruan, museum ini dapat dicapai melalui Jalan Raya Trowulan atau jalan kecamatan tepat di seberang Kolam Segaran.
Baca juga: Trowulan: Berawal dari Candi Wringin Lawang
Kolam Segaran
Pemandu saya bercerita, kalau sampai sekarang masih sering ditemukan benda-benda berharga dari Kolam Segaran. Benda-benda itu konon berasal dari peralatan jamuan makan yang sengaja dibuang ke dalam kolam atas perintah Raja Hayam Wuruk. Dan benda-benda yang dibuang itu bukan sekedar benda biasa, melainkan benda yang terbuat dari bahan emas. Jadi, dalam jamuan itu sang raja akan mengundang makan tamu-tamu dari berbagai negara. Lalu setelah jamuan makan di tepi kolam itu sudah selesai, benda-benda itu yang diantaranya berupa piring mahal, sendok emas, cangkir dan lain sebagainya, langsung dibuang ke dalam kolam. Tujuannya untuk memperlihatkan bahwa Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan yang kaya. Mungkin dengan demikian, para kepala negara atau kerajaan lain akan menaruh hormat dan trust menjadi mudah terbentuk. Sehingga, dengan demikian sang raja jadi lebih mudah berbisnis dengan negara-negara lain.
Kolam Segaran berasal dari kata ‘segara’ (baca: segoro) yang berarti laut. Tapi kan Segaran bukan berupa laut, melainkan kolam. Jadi mungkin Segaran di sini dapat dimaknai sebagai kolam besar yang hampir menyerupai laut. Kolam Segaran dikelilingi tembok dan tanggul bata merah yang sekaligus memberi bentuk pada kolam tersebut. Sebagai pembatasnya, kolam ini menggunakan konstruksi batu bata.
Batu bata tersebut hanya ditata sedemikian rupa tanpa perekat dan hanya digosok-gosok-kan satu sama lain. Dan hebatnya, bangunan itu masih berdiri kokoh hingga sekarang, meskipun usianya sudah lebih dari 800 tahun. Yang mengherankan, kala musim hujan dan airnya hingga ketinggian 2 meter, kolam itu ini tak pernah banjir atau meluap. Sebaliknya, bila musim kemarau menjelang, kola mini tetap memiliki debit air yang panjang dan tak pernah kering.
Di era Majapahit, Kolam Segaran memiliki beragam fungsi. Selain sebagai tempat untuk menjamu tamu-tamu kerajaan, kola mini juga berfungsi sebagai waduk dan penampung air. Ini sekaligus membuktikan bahwa Majapahit sudah memiliki teknologi dan tata pengairan yang canggih di jamannya. Hebat bukan nenek moyang kita?
Kolam Segaran juga berfungsi sebagai tempat penggemblengan para ksatria laut Majapahit. Dan ada juga yang bilang, kalau kolam ini sering dimanfaatkan para Maharaja Majapahit untuk bercengkerama dengan permaisuri dan para selir kedatonnya. Sementara fungsi yang lainnya, sebagai tempat untuk bersantai para putri-putri raja, seperti yang telah disebutkan dalam kitab Negarakertagama.
Bagaimana dengan fungsinya sekarang? Selain sebagai cagar budaya, yang saya lihat, di tepi Kolam Segaran ini banyak warga yang duduk-duduk menikmati suasana sambil memancing ikan. Atau mungkin ada juga yang berharap sambil mancing bisa mendapatkan benda-benda yang terbuat dari emas.
Kolam Segaran pertama kali ditemukan oleh Maclaine Pont di tahun 1926. Lokasinya dekat banget dengan Museum Trowulan. Hanya berjarak sekitar 5 meter dari museum purbakala itu. Tepatnya di sebelah timur laut Museum Trowulan, di tepi jalan desa jurusan Trowulan-Pakis.
Dengan ukuran yang sangat besar itu, kolam yang menjadi salah satu simbol kejayaan Kerajaan Majapahit ini, diakui beberapa ahli antropologi nasional sebagai kolam kuno terbesar di Indonesia. Sekali lagi, salah satu kolam kuno terbesar di Indonesia. Rugi besarlah, kalau sekalipun belum pernah berkunjung ke sini.