Hari Sabtu, sekitar jam 10 pagi saya, Heni dan Swieta sudah sampai di pelataran museum tertua di Indonesia, yaitu Museum Radya Pustaka. Maksudnya, museum tertua yang digagas warga pribumi. Kami datang bersamaan dengan dua rombongan mahasiswa dari dua universitas yang berbeda.
Museum ini berlokasi di sekitar area Taman Sriwedari atau tepatnya di Jl. Brigjend Slamet Riyadi no. 275, Laweyan, Surakarta. Temboknya bercat warna putih, sementara pintu-pintunya bercat warna biru. Di beberapa dinding museum terdapat huruf timbul beraksara jawa. Tak sempat membacanya, karena otak saya butuh proses mengenali kembali huruf-huruf itu.
Awalnya, museum Radya Pustaka berlokasi di Ndalem Kepatihan Kasunanan Surakarta. Sementara gedung yang digunakan museum ini, dulunya bernama ‘Loji (Gedung) Kadipolo’ dan dibeli oleh Pakubuwono X dari bangsawan Belanda bernama Johannes Busselaar. Lalu pada tanggal 28 Oktober 1890 gedung ini resmi dijadikan museum oleh KRA Sosrodiningrat IV.
Sepertinya gedung museum ini dulunya merupakan bangunan tempat tinggal. Mengingat bangunan ini terbagi menjadi beberapa ruang, yaitu ruang teras dan sekaligus pintu masuk, ruang tamu, ruang tengah (mirip lorong) yang terbagi menjadi 4 kamar, dan terakhir ruang belakang.
Arca yang Sempat Hilang
Di teras atau pintu masuk museum, dipamerkan dua meriam dan beberapa arca yang sudah tidak utuh namun masih dapat dikenali dengan baik, antara lain: Arca Ganesha, Siwa Mahadewa, Durga Mahisasuramardini (dewi bertangan delapan), dan Kartikeya (relief dewa yang mengendarai Mayura/burung merak). Menurut keterangan yang tertempel di arca, arca-arca ini merupakan peninggalan sejarah abad 7-10 Masehi dan ditemukan di sekitar Candi Prambanan. Sebenarnya saya agak kuatir arca-arca ini diletakkan di teras, mengingat arca-arca ini sempat hilang dan tiba-tiba ditemukan di rumah adik salah satu petinggi partai.
Di ruang depan atau ruang tamu museum, pengunjung akan disapa sebuah patung pria setengah badan dengan posisi tegap. Beliau adalah KRA Sosrodiningrat IV. Keberadaan patungnya dimaksudkan untuk menghormati buah pikirannya telah mendirikan Museum Radya Pustaka. Di ruang ini banyak dipamerkan koleksi-koleksi benda-benda era colonial seperti meja-kursi marmer, aneka jenis topi dan blangkon. Namun yang paling menarik bagi saya adalah benda bernama orgel. Sebuah kotak music berhiaskan bunga-bunga dimana di bagian atasnya menancap burung kecil. Membaca penjelasannya yang menempel di situ, benda ini merupakan salah satu pemberian Napoleon Bonaparte kepada Paku Buwono IV.
Di ruang tengah yang terbagi menjadi 4 ruangan atau kamar dan sebuah lorong yang panjang. Di sepanjang lorong, banyak dipamerkan alat-alat persenjataan jaman dahulu, seperti misalnya: pedang dari berbagai daerah dan beragam tombak yang memiliki nama dan fungsi yang berbeda-beda. Di ruangan sebelah kiri lorong, dipamerkan beragam keramik, piring-piring, gelas dan guci kuno. Masih di ruangan sebelah kiri, terdapat satu ruangan perpustakaan yang penuh dengan manuskrip atau naskah-naskah kuno hasil karya raja-raja Jawa dan para pujangga dari abad 17-19, seperti misalnya: Babad Tanah Jawi Pararaton, Kawruh Empu (buku tentang keris), Jawa Carik, dan masih banyak lagi lainnya. Demi keamanan naskah-naskah tadi disimpan dalam almari yang terkunci. Tidak sembarang orang bisa menyentuhnya apalagi membacanya. Tapi jangan kuatir, naskah-naskah itu sekarang sedang dalam proses menuju digitalisasi sehingga nantinya akan lebih mudah diakses banyak orang.
Di ruang kanan lorong, di ruangan satu banyak dipamerkan berbagai keris kuno, tombak dan pedang yang tersusun rapi sekali. Sementara di ruangan satunya lagi, banyak memamerkan beragam arca mini yang terbuat dari logam. Arca-arca mini itu antara lain: Dewi Sri, Kasyapa, Dewi Tara, Avalokitesvara, Dewi Saraswati, Bodhisatwa, Dewi Cunda, Siwa Mahadewa (penguasa dewa tertinggi), dan masih banyak lainnya. Selain arca, masih di ruangan yang sama, tersimpan juga beberapa prasasti, seperti misalnya: Prasasti Mantyasih yang bertanggal 11 April 907 Masehi, Prasasti Kasugihan yang bertanggal 18 November 907 Masehi dan yang tertua Prasasti Warutunggal (Kurunan) yang bertanggal 29 April 885 Masehi. Semua prasasti ditulis dengan aksara dan bahasa Jawa Kuno.
Aura Mistisme Canthik Rajamala di Museum Radya Pustaka
Ruang paling belakang di Museum Radya Pustaka terhitung luas, bahkan paling luas diantara ruangan yang ada. Saya menyebutnya ruang gamelan. Tepat di tengah ruangan itu, tersusun rapi seperangkat alat gamelan berjuluk Gamelan Ageng Radya Pustaka.
Gamelan yang ditengarai usianya lebih dari 100 tahun ini merupakan peninggalan dari KRA.Sosrodiningrat IV). Jika akan ditabuh atau dimainkan, biasanya gamelan ini akan melewati suatu tahapan ritual dan memberi sesaji.
Di samping kiri dan kanan gamelan, berjejer ragam wayang. Ada wayang madya, wayang purwa, wayang kulit, wayang klithik, wayang dupara, wayang golek, adegan wayang gedog, dan lain-lain. Wayang-wayang itu dijejer dengan sangat rapi dan menarik.
Yang unik, di bagian sisi kiri dari pintu masuk, terpampang Pawukon Jawa atau semacam astrologi. Kalau di Barat kita mengenal zodiac: Aries, Virgo, Sagitarius, dan lain-lain. Di China kita mengenal shio: Jago, Monyet, Kelinci dan sebagainya.
Nah, kalau di Jawa ada Pakuwon. Pakuwon berasal dari kata wuku. Jumlah Pakuwon ada 30 wuku. Ada wuku Shinta, Landhep, Wukit, Kurantil, Tala, Gumbreg, Warigalit, Warigagung, Julungwangi, Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Mandasia, Julungpujut, Pahang, Kuruwelut, Mrakeh, Tambir, Madangkungan, Maktal, Wuye, Manahil, Prangbakat, Bala, Wugu, Wayang, Kulawu, Dhukut, dan terakhir Watugunung.
Kalau misalnya seseorang bernama Bobby tanggal lahirnya 18 Januari 1986, maka weton Jawa dia adalah Sabtu Kliwon (bisa dicari di Google). Kalau Sabtu Kliwon, berarti wukunya urutan ke 2, yaitu: Landhep (bisa dicari di Google juga). Sifat Landhep antara lain: suka menolong, tidak dendaman, murah hati, terang hatinya, tempat bertanya atau belajar, sabar, tajam ingatannya, karyanya memuaskan orang. Hari na’as Rabu Pahing. Dan sebagainya (bisa dicari di Google).
Sayangnya, Pawukon Jawa ini statusnya sudah sayup-sayup tak terdengar. Orang Indonesia lebih mengenal zodiac dan shio dibanding pawukon. Padahal keakuratannya cukup lumayan lho, sekitar 70% mendekati benar. Selain itu, dibandingkan dengan astrologi versi lain, Pawukon memiliki kelebihan. Selain memberi gambaran secara umum untuk mengetahui kondisi fisik, karakter, atau watak seseorang, setiap wuku juga mampu menemukan jenis naas (pengapesan) atau pantangan yang harus dihindari serta proyeksi “nasib” seseorang di masa datang.
Di ruangan belakang ini ada satu ruangan kecil di pojokan dan agak gelap. Ruangan Canthik Rajamala namanya. Ruangan ini menyimpan canthik (hiasan) kapal yang terbuat dari pohon jati hutan Donoloyo (Wonogiri). Hiasan ini terpasang pada kedua ujung kapal, yaitu pada haluan dan buritan kapal. Nama Rajamala diambil dari Raden Rajamala, salah satu tokoh pewayangan yang berwujud raksasa air yang perkasa karena memiliki kesaktian yang tak terkalahkan. Matanya melotot, rambutnya tebal dan lebat, hidungnya menjorok ke depan disertai kumis tebal dan digambarkan memiliki sepasang taring.
Canthik Rajamala sudah ada sejak tahun 1811 dan merupakan peninggalan dari pemerintahan Pakubuwono IV. Perahu ini merupakan alat transportasi andalan bagi Kasunanan Surakarta, karena saat itu memang belum ada kereta api.
Pada mulanya, kapal ini digunakan untuk hilir mudik dari Bengawan Solo sampai ke Gresik. Bahkan Perahu ini pernah juga digunakan raja-raja Surakarta yang akan menjemput dan mempersunting putri-putri dari kerajaan Madura. Kapal mewah ini terakhir digunakan pada masa pemerintahan Paku Buwono IX, karena alat transportasi sudah beralih ke kereta api. Sekarang, Canthik Rajamala disimpan di Museum Radya Pustaka. Dan pada hari tertentu, selalu diberi sesaji lengkap dengan tujuan menghormati ‘penunggunya.’
Pantas saja, saya seperti ditarik untuk menorehkan banyak perhatian di tempat ini. Seperti daya magnet, ruangan itu menyedot seluruh perhatian saya. Dari semua ruangan yang saya masuki, hanya di ruangan ini saya menghabiskan waktu agak lama. Saya ingin mendekat, tapi seolah ada tangan yang memegang kaki saya. Ternyata, ada ‘kisah’ di balik hiasan perahu itu.