Morea, Belut Raksasa Yang Selalu Kelaparan di Larike Maluku

“Awaaasss..! Nanti digigit…!” Begitulah teriak kawan saya, Kak Ade, ketika tangan saya bersiap memegang salah satu belut raksasa Morea. Otomatis, saya pun refleks dan segera menarik tangan kembali.

Melihat respon saya yang demikian, kontan Kak Ade tertawa terbahak. Rupanya dia hanya bercanda menakut-nakuti saja, karena sebetulnya belut-belut raksasa itu merupakan hewan yang jinak. Huh!

Apa uniknya belut raksasa Morea itu? Kenapa warga setempat menganggapnya keramat? Dan dimanakah lokasi tepatnya?

Pagi itu setelah menginap selama 3 hari di Desa Asilulu, Leihitu, Maluku Tengah, saya bertolak menuju kota Ambon yang berjarak sekitar 1,5 jam perjalanan. Saya dibonceng oleh seorang teman, Kak Ade, dengan kendaraan roda dua. Meskipun melewati jalanan aspal yang tak begitu lebar, saya cukup menikmati pemandangannya. Pohon-pohon yang rimbun, tanaman cengkih, pala dan kopi, serta pemandangan tepi laut.

Beberapa meter setelah melewati turunan yang agak curam, nampaklah bongkahan-bongkahan batu karang besar yang unik yang terdapat di sepanjang pantai nan biru. Saya minta turun sebentar untuk mengambil foto.

“Ini Batu Selayar namanya”, begitu penjelasan Kak Ade tanpa saya minta.

Setelah puas mengambil gambar bongkahan batu karang itu, kami melanjutkan perjalanan. Sampai di sebuah pertigaan depan masjid di Desa Larike, Kak Ade kemudian bertanya,

“Mau mampir ke kolam Morea kah? Banyak belut raksasa di sana.” Sayapun mengiyakan pertanyaan itu.

Sudah jauh-jauh berada di Maluku, kenapa tidak sekalian saja, bukan? Sekali menyelam, dua tiga pulau terlampaui.

Morea merupakan sebutan masyarakat setempat bagi belut raksasa atau sidat. Panjangnya lebih dari 1 meter. Di kepalanya tumbuh telinga (insang) di kiri dan kanan. Badannya licin, dan loreng-loreng. Jenis ikan Morea ini hidup di air tawar (sungai) di sela-sela batu-batu yang besar selama usia puluhan tahun.

Bila akan berkembang biak, dia akan berenang ke laut. Lalu, morea-morea kecil yang sudah menetas di lautan, pada akhirnya akan berenang kembali ke air tawar dan hidup di sana hingga dewasa. Sampai akhirnya akan kembali ke laut lagi, ketika akan berkembang biak lagi.

Demikianlah siklus hidupnya.

***

Lokasi kolam Morea di Desa Larike ini, masuk agak ke dalam sekitar 10 meter dari jalan raya. Desa Larike sendiri berada Kecamatan Leihitu, Ambon, Maluku Tengah. Kalau dari Bandara Pattimura Ambon, bisa dicapai dengan kendaraan roda dua atau ojek dengan jarak tempuh sekitar kurang lebih 1 jam.

Aturan adat di desa ini, menyebutkan larangan bagi warga untuk mengambil atau memakan ikan Morea ini. Entahlah apa alasan sesungguhnya. Tapi, aturan itu bisa dipahami. Ikan Morea terhitung langka.

Di negara-negara maju, seperti Jepang, ikan sejenis ini banyak diburu. Konon karena kandungan gizinya yang melebihi ikan-ikan lainnya. Sehingga, bagaimanapun juga keberadaan aturan adat itu, turut melestarikan kehidupan ikan Morea.

Setelah berjalan kaki naik-turun melewati tangga-tangga di sekitar rumah-rumah warga Desa Larike, sampailah saya di sebuah sungai. Airnya jernih. Di sepanjang sungai itu banyak ditumbuhi pohon-pohon yang rimbun. Banyak batu-batu besar maupun batu-batu kerikil. Pemandangannya indah sekali. Sungai itu namanya sungai Weindana (sungai perempuan). Tak heran, jika di sungai itu kita akan melihat beberapa perempuan yang sedang melakukan beberapa aktivitas. Entah mencuci baju maupun mencuci perabotan dapur. Sungai itu airnya mengalir tidak begitu deras.
morea 5

Sebelum ke kolam Morea, saya lebih dulu membeli ikan-ikan kecil sebagai umpan atau makanan. Mungkin karena di sungai itu para perempuan warga setempat sering membersihkan ikan dan membuang insang serta isi perut ikan mentah ke dalam air, maka jadilah ikan-ikan kecil itu sekarang menjadi makanan favorit para Morea. Ikan-ikan umpan itu, dijual di beberapa rumah warga yang kita lewati. Dengan umpan ikan kecil ini, Morea si belut raksasa akan saling berebutan untuk mendekati kita.

Jika datang ke tempat ini, sebaiknya memakai sandal saja, karena untuk sampai ke lokasi kolam Morea, kita perlu menyeberangi sungai itu. Saat sampai di sana, sudah ada beberapa wisatawan dan anak-anak kecil yang sedang mengelilingi kolam di sungai itu. Kak Ade menyorongkan baskom yang berisi ikan. Tapi saya tolak halus, dengan alasan, “Saya bawa kamera, nanti kotor.” Padahal selain geli takut amis juga sih.

Akhirnya, Kak Ade melempar ikan-ikan umpan itu ke sungai. Dan dalam hitungan detik, datanglah puluhan Morea besar yang menyerbu. Mereka tak peduli harus menggelepar-gelepar di air yang dangkal, yang penting bisa melahap makanan favorit!

Setiap kali ikan umpan dilempar, tiap kali pula Morea-morea itu membuka mulutnya dengan beringas. Seolah tak pernah kenal kata kenyang.

Bikin gemes, tapi sekaligus geli. Hihihi…

***
Ini adalah cerita perjalanan saat backpacking ke Maluku medio tahun 2014 lalu. Mungkin terdapat informasi seperti harga adalah pada waktu berkunjung, mungkin sudah tidak relevan lagi di tahun ini.

Writer. Lecturer. Travel Blogger. Broadcaster

Related Posts