Di tengah-tengah penelitian untuk riset tesis, seorang kawan yang bekerja di media London, menelpon dan mengabarkan kalau ia tengah berada di Lombok untuk suatu liputan. Ia pun menawariku untuk menemaninya selama di sana. Katanya, “Kau tinggal beli tiket pp-lah. Hotel, mobil, sopir, makan, udah disediakan kantor.” Whohoo! Tawaran yang menarik! Apalagi penelitianku saat itu semacam tengah mengalami jalan buntu, sehingga pengalihan perhatian ke sesuatu yang lebih rileks merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan segera. Dan tawaran liburan ke Lombok itu, tentu saja tak lagi butuh pemikiran panjang untuk diputuskan.
Maka tanpa berpikir dua kali, aku langsung memesan tiket Semarang-Lombok pp. Yang saya tak mengira adalah perjalanan saya liburan ke Lombok selama 5 hari ini nantinya akan menjadi titik picu saya kecanduan traveling.
Lombok, tahun Maret 2011 silam. Inilah pertama kalinya kakiku menginjak bumi yang sering disebut sebagai Tanah Seribu Masjid. Dari bandara aku langsung menuju Senggigi Beach Hotel. Sampai hotel, ternyata teman saya sedang sibuk wawancara ini-itu, menemui inih-onoh dan akan selesai kira-kira sore nanti.
Tak mau hanya berdiam diri dan buang-buang waktu di kamar hotel, maka saya putuskan untuk sewa taxi seharian dan minta diantar ke beberapa destinasi di Lombok yang sudah ada dalam list. Selain menjadi sopir pribadi, bapak taxi ini nantinya akan menjadi fotografer dadakan saya. 😀 😀
Museum Negeri NTB
Museum Negeri NTB adalah tujuan pertama saya. Setelah membayar tiket Rp 2.000,- (waktu itu), saya segera masuk ke dalam museum. Museum ini berlokasi di Jl. Panji Tilar Negara no.6, Ampenan, Mataram. Di depan pintu masuk museum ini, terdapat buaya muara yang diawetkan. Konon buaya yang panjangnya sekitar 4 meter ini berasal dari Dompu, Sumbawa. Setelah sempat berfoto di samping buaya, saya segera memasuki ruangan utama museum.
Museum NTB yang menurut saya ukurannya tak terlalu luas ini, menyimpan banyak sekali benda-benda bersejarah, seperti misalnya: peralatan tenun yang dulunya dipakai masyarakat Lombok untuk membuat bahan baju, lalu ada juga berbagai jenis pakaian tradisional, peralatan seni musik, miniatur-miniatur yang menggambarkan kehidupan dan mata pencaharian masyarakat NTB, dan masih banyak yang lainnya.
Dari sekian banyak benda-benda bersejarah tadi, yang paling menarik bagi saya, ada banyak naskah ata manuskrip yang ada di museum ini. Konon jumlahnya mencapai 1.500-an. Kita tahu, naskah merupakan tulisan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa di masa lampau. Naskah-naskah yang ada di NTB, terdiri dari dua jenis, yaitu naskah Lombok dan naskah Sumbawa. Jika naskah Lombok beraksara Jejawan (Jawa-Sasak) dan berbahasa Sasak, maka naskah Sumbawa beraksara Jontai dan berbahasa Sumbawa atau Bima. Jika Lombok mendapat pengaruh dari Jawa dan Bali, maka Sumbawa mendapat pengaruh dari Bugis.
Taman Mayura
Selesai menjelajahi isi museum, saya segera menuju ke Taman Mayura, dimana di sekitar taman ini terdapat Bale Kambang, Pura Jagad Nata, Pura Meru Kelepung, dan lain-lain. Taman Mayura merupakan saksi keberadaan kerajaan Singasari dan orang-orang Bali di Lombok pada abad ke-19.
Uniknya di taman ini kita akan menemui betapa sejak dahulu kala semangat perbedaan sudah ada dipelihara oleh raja-raja Singasari dan Mataram. Bale Kambang atau bangunan terapung di tengah kolam Taman Mayura menceritakan hal itu. Arsitektur bangunan tersebut memperlihatkan pengaruh Hindu dan juga Islam, sedangkan di sekitar tempat itu, patung dibuat dari batu dengan nuansa haji. Bale Kambang ini, konon kata sejarah, dulunya dipergunakan atau berfungsi sebagai pengadilan sekaligus juga sebagai balai pertemuan.
Pura Meru
Dari Taman Mayura, saya minta diantar ke Pura Meru. Lokasinya berada di tengah kota, atau tepatnya di Jl. Selaparang, Cakranegara. Pura yang didirikan pada tahun 1720 ini, sarat dengan sejarah. Kenapa dinamakan Meru? Karena Meru ini merupakan kependekan dari Semeru (Gunung Semeru). Pendirinya masih memiliki garis keturunan dari Kerajaan Singosari di Jawa Timur. Kita tahu, Gunung Semeru merupakan gunung yang masih dianggap keramat oleh nenek moyang kita dan bahkan sampai sekarang masih banyak yang meyakininya seperti itu.
Pura Meru, pura terbesar dan tertua di Lombok ini didedikasikan untuk tiga dewa utama umat Hindu, yaitu Dewa Brahmana, Dewa Syiwa dan Dewa Wishnu. Pura Dewa Brahmana dan Dewa Wishnu, masing-masing memiliki atap susun 9 tingkat, sedangkan pura Dewa Syiwa terdiri 11 atap susun. Ketiga pura ini mewakili 3 gunung. Pura Brahmana mewakili Gunung Agung di Bali, pura Syiwa mewakili Gunung Rinjani di Lombok, sedangkan pura Wishnu mewakili Gunung Semeru di Jawa Timur. Pura ini akan ramai dan penuh sesak pada saat perayaan hari-hari besar umat Hindu.
Pantai Senggigi
Setelah puas mengunjungi Museum NTB, Taman Mayura dan Pura Meru, saya sempat mampir ke toko yang menjual perhiasan-perhiasan mutiara. Tapi begitu mengetahui harganya, hati saya langsung menciut. Aiiihhh mahalnyaaaa!! Akhirnya, saya memutuskan kembali ke hotel sambil menikmati suasana sore di Pantai Senggigi.
Saat duduk-duduk santai menikmati keindahan pantai, saya ditawari oleh beberapa penjual yang bersliweran, dari mulai perhiasan dari kerang, tattoo, bahkan ada juga yang menawari ganja. Aiiihhh, memangnya saya punya style ala Bob Marley kah? Tapi saya menolak dengan halus ke pemuda yang menawari saya ganja itu. Mungkin untuk menebus rasa bersalahnya itu, dia mengatakan bahwa suasana pantai sore itu menjadi lebih sempurna karena keberadaan saya di tempat itu. Bedeuh, rayuan gombal. Lalu dia menawarkan untuk mengambil foto saya. Saya sempat menolak, tapi akhirnya pasrah pada tawarannya itu. Hihihi…
Gili Trawangan
Keesokan harinya, barulah kawan saya itu free, akhirnya liburan ke Lombok tak berasa sendiri lagi. Makanya, kami segera berkemas dan check out dari hotel karena berencana akan menginap dan mengeksplor Gili Trawangan. Sedang sibuk mengemas barang-barang, eh ternyata ada kawan lain yang ingin bergabung kesana. Ya sudah, akhirnya kami jadi bertiga. Sebelum sampai ke Bangsal tempat penyebarangan, kami berhenti sebentar di Malibu untuk foto-foto. Ternyata, banyak wisatawan lain melakukan hal yang sama. Mereka foto-foto di Malibu, sampai jalanan agak macet.
Baca juga: Mampir ke Kecinan dulu sebelum ke Gili Trawangan
Puas foto-foto di Malimbu (spot kece untuk foto-foto dan menunggu sunset), akhirnya saya sampai di tempat atau bangsal penyeberangan. Kami bertiga sempat ditawari sewa kapal private. Tapi mengingat harganya yang tidak ramah dengan kondisi kantong, maka pilihannya adalah kapal rakyat/umum. Tiketnya (waktu itu) hanya seharga Rp 10.000,-
Dari bangsal penyeberangan sampai ke Gili Trawangan, kira-kira butuh waktu kurang lebih ½ jam. Begitu sampai. pertama kali kaki ini menginjakkan tanahnya dan menatap ke sekeliling, mata ini tak henti-hentinya terbelalak menatap keindahan pantainya. Dan begitu kami mendapatkan hotel yang lumayan bagus dan murah, kami beristirahat sebentar. Kebetulan juga matahari pas berada di tengah-tengah. Tapi karena merasa sayang waktu, tidak lama kemudian saya memutuskan untuk mengelilingi Pulau Gili Trawangan dengan bersepeda. Biaya sewa sepeda waktu itu sebesar Rp 25.000,-/hari.
Baru setengah perjalanan, saya merasa hampir pingsan, tidak kuat disengat terik matahari. Ngos-ngos-an betul. Mau balik ke hotel sudah tanggung. Kebetulan ada seorang pria yang tengah berlari. Saya menanyakan, apakah masih jauh kalau saya memutari pulau ini. Pria hitam manis ini menjawab, kalau jaraknya sudah dekat. Dia juga menambahkan, kalau dia biasa berlari mengitari pulau ini sebanyak 2-3 kali/hari. Ini yang membuat saya kembali bersemangat untuk menyelesaikan rencana mengitari pulau.
Tapi ternyata, yang dibilang dekat itu, masih jauh. Butuh waktu sekitar 3 jam untuk mengitari pulau itu. Dan ketika kembali ke tempat start, waktu sudah agak sorean, sekitar jam 5-an. Dan di sana, sudah mulai berdiri café-café tenda yang menawarkan berbagai jenis minuman dengan iringan musik ajeb-ajeb. Bawaannya jadi pengin dugem. Hihiii.. dan sekedar catatan saja, hampir sebagian besar yang mengunjungi Gili Trawangan adalah wisatawan dari luar. Saya sempat mengobrol dengan beberapa, diantaranya dari Australia, Kanada, dan Inggris.
Dan ketika hari sudah sore, matahari sudah tidak gahar lagi, saya merasa inilah saatnya untuk melihat keindahan di dalam laut Gili Trawangan. Setelah meminjam alat-alat snorkling, sayapun menuju pantai. Mencelupkan kepala ke dalam laut untuk melihat keindahan di sana. Saya berharap anda tidak akan tertipu oleh foto yang saya tampilkan ini, karena sesungguhnya (pas waktu itu) saya tidak bisa berenang. Hahaha..
Kampung Tenun dan Keramik Sukarara
Keesokan harinya, saya menyeberang kembali dari Gili Trawangan ke Lombok. Rencananya, kami akan jelajahi air terjun, desa kerajinan tangan, pantai, dan desa adat.
Kita semua tahu, bahwa Lombok juga mewarisi kerajinan kain tenun, maka saya sengaja mampir ke sebuah toko tenun (kampung tenun) dimana di halaman depannya terdapat pos-pos pengrajin tenun yang sedang bekerja. Saya sempat menjajal menenun, ternyata rumit juga. Perlu ketelatenan dan kesabaran penuh untuk menenun. Dan meskipun saya sangat menghargai hasil kerja keras penenun itu, namun saya tidak membeli hasil karya tenun itu. Kantong saya tidak sanggup. Saya hanya sanggup membeli beberapa kerajinan keramik.
Mohon dimaklumiiiiii ya…! Hahaha
Desa Sade Lombok
Dari kampung tenun dan keramik, saya melanjutkan perjalanan ke 2 dusun tradisional, yaitu Sade dan Sigenter. Dusun yang pertama saya datangi adalah Dusun Sade. Di dusun ini, konon pemerintah memang sengaja memfilter atau bahkan sengaja menghalangi masuknya budaya dan tehnologi canggih. Bahkan, mereka masih menggunakan bahasa Sasak sebagai bahasa sehari-hari mereka. Hanya 1-2 orang (terutama yang memandu saya) yang bisa memahami Bahasa Indonesia. Tapi meskipun saya tidak bisa berkomunikasi dengan mereka memakai bahasa adat mereka, saya tetap merasakan bahwa saya disambut dengan ramah oleh warga di sini. Bahkan ada yang memeluk Penghasilan utama warga dusun ini adalah bertani dan menenun. Saya sempat membeli beberapa kain tenun yang dijual di dalam wilayah dusun tradisional ini.
Desa Sigenter
Dusun tradisional berikutnya adalah Dusun Sigenter. Berbeda dengan di Sade, di sini saya merasa agak dicuekin. Tidak ada sambutan hangat dari warga di sini. Tapi memang, saat itu sedang ada persiapan pernikahan dari salah satu warga, sehingga hampir seluruh warga (baik yang kecil maupun yang dewasa) berkumpul di satu tempat untuk menyiapkan masakan/menu pesta. Beberapa dari mereka melemparkan senyum, dan sayapun memblasa senyum mereka. Saya tidak ingin berlama-lama di dusun ini, karena tidak hendak menggangu kesibukan mereka. Akhirnya, setelah berpose sejenak, sayapun pamit ke beberapa warga untuk melanjutkan perjalanan.
Tanjung Aan dan Pantai Kuta Lombok
Laut adalah tujuan saya berikutnya, yaitu Tanjung Aan dan Pantai Kuta Lombok. Tidak banyak aktivitas yang saya lakukan di sini. Apalagi di Pantai Kuta. Saat itu, air laut di Pantai Kuta sedang sedikit atau berkurang banyak sekali, sehingga pemandangan di sini tidak begitu menarik perhatian saya. Saya hanya mampir untuk membuat tulisan nama saya di pasir pantai itu.
Sedangkan di Tanjung Aan, saya agak lama berada di sini. Bahkan saya sempat berkenalan dengan 2 orang yang sedang memancing ikan. Merekapun sempat menawarkan diri untuk mengambil foto saya, dimana tawaran itu tanpa menunggu 2x langsung saya terima dengan tangan terbuka. Setelah meneguk es kelapa muda seharga Rp 5.000,- sayapun segera pergi dari situ melanjutkan perjalanan.
Air Terjun Sendang Gila
Perjalanan berikutnya berlanjut ke wisata air terjun. Tujuan saya adalah air terjun Sendang Gila dan Tiu Kelep. Kedua air terjuan ini berada di kawasan Gunung Rinjani. Sesampai di kawasan parkiran air terjun, ada beberapa orang yang menawarkan diri untuk menjadi pemandu dengan biaya Rp 75.000,- Setelah saya pikir-pikir, karena lokasi menuju kesana sangat luas dan tampak masih liar, maka daripada saya tersesat lebih baik saya menyewa jasa mereka.
Untuk sampai ke air terjun Sendang Gila, kita harus menuruni tangga (undak-undakan) yang lumayan panjang. Butuh sekitar ½ – 1 jam untuk sampai ke sana. Yang terpikir waktu itu, waduh saya masih punya tenaga gak ya untuk kembali dan menaiki tangga-tangga yang berliku-liku itu. Kalau turun sih masih mendingan, tapi kalau naik? Aduh makjaaanng…
Air Terjun Tiu Kelep
Setelah berpose sejenak di Sendang Gila, saya melanjutkan perjalanan ke air terjun Tiu Kelep. Perjalanan ini lebih berat dan terjal. Bahkan, sepasang warga Swedia yang juga kebetulan akan ke sana, sepatunya sampai jebol. Gimana gak jebol, karena untuk sampai ke Tiu Kelep, kita harus menyeberang sungai, dimana di dalam sungai itu banyak batu-batuan yang lumayan tajam. Selain menyeberang sungai, kita juga perlu melewati jembatan yang di tengahnya banyak lobang-lobang yang lebar. Belum lagi, saya harus melewati hutan segala. Mana pas hujan deras pula.
Tapi segala ‘pengorbanan’ berlelah-lelah seperti itu, seakan hilang dan terbayarkan, saat sampai di air terjun Tiu Kelep. Sungguh luar biasa pemandangan yang ada di sana. Saking ternganga-nganganya, seolah-olah saya berat untuk beranjak pulang dari sana.
Tanpa terasa hari sudah beranjak sore, sebentar lagi menjelang gelap. Saya harus menaiki tangga-tangga yang panjang dan mendaki tadi untuk keluar dari kawasan air terjun ini, dan sebelumnya saya harus melewati lorong air yang panjang dan gelap. Sempat kuatir, nanti kalau di tengah perjalanan di lorong itu terjadi sesuatu gimana ya? Ah, tapi segera saya tepis keraguan itu. Dan alhamdulillah, saya berhasil keluar dari lorong itu dengan selamat.
Kunjungan air terjun Sendang Gila dan Tiu Kelep ini mengakhiri perjalanan wisata saya di Lombok, Mataram. Lima hari sudah saya berada di Lombok, Mataram ini. Rasanya masih kurang, karena masih banyak destinasi yang belum sempat saya kunjungi. Tapi ya sudah, masih ada esok bukan? Setelah memesan hotel yang dekat bandara, saya beranjak ke Mal Mataram untuk membeli beberapa makanan khas daerah sebagai oleh-olah. Juga beberapa kaos oblong. Juga beberapa asesoris. Mudah-mudahan balik ke Semarang, penyemangat penelitian tesisku kembali menyala! Amen.