Desa Kandri pagi itu terlihat sejuk dan damai. Desa wisata ini berlokasi di Kecamatan Gunung Pati ini dan dapat ditempuh sekitar 1 jam dari Kota Semarang dengan berkendara roda empat. Dari pendopo Desa Kandri, mata saya dimanjakan oleh pemadangan sawah yang menghijau dan terhampar luas. Saya bahkan sempat menyusuri pematang sawah dan menyentuh hijaunya daun-daun padi yang menggoda. Beberapa warga setempat menyambut ramah kehadiran kami travel blogger yang diundang untuk mengikuti kegiatan FamTrip Semarang. Salah satu aktivitas kami yaitu tubing di Sungai Kreo.
Setelah beberapa menit kami dan warga beramah-tamah, sebuah pick up tampak terparkir di halaman dekat pendopo desa. Mobil pick-up inilah yang akan mengantar kami berpetualang menyusuri Sungai Kreo, salah satu obyek wisata adventure yang ditawarkan oleh Desa Wisata Kandri. Menyusuri sungai dengan menggunakan pelampung ban secara perorangan inilah yang dikenal dengan sebutan tubing.
Di dalam mobil pickup sudah tersedia berbagai perlengkapan safety, mulai dari life jacket, helm, pelindung lutut kaki, pelindung tangan dan pelampung ban. Semua perlengkapan ini wajib dipakai peserta tubing untuk meminimalisir cidera selama kegiatan river tubing berlangsung. Seperti yang kita tahu, sungai yang digunakan sebagai kegiatan tubing, biasanya arusnya lumayan deras dan penuh dengan batu-batu yang tajam di sana-sini.
Baca juga: 5 warung kringetan asik untuk lunch di Semarang
Sekitar 5-10 menit dari Desa Kandri, pick up tadi sudah mengantar kami ke titik start lokasi tubing di pos Gedung Ceret. Di lokasi inilah, kami berkumpul mendengarkan sejarah Sungai (Kali Kreo) dari ketua rombongan skipper (life guard). Menurut kisah, dulunya Sunan Kalijogo pernah menyusuri sungai ini untuk membawa kayu jati yang akan digunakan sebagai tiang di Masjid Agung Demak. Lalu, karena berat, beberapa kera (monyet) membantu mengangkat kayu-kayu jati tadi ke daratan. Diceritakan pula, meskipun di sekitar lokasi Kreo ini banyak kera yang tinggal, namun sekalipun tak pernah ditemukan tulang atau tengkoraknya.
Beragam pertanyaan berkecamuk di benak saya, tapi pertanyaan-pertanyaan itu kalah dengan riuhnya pergumulan rasa was-was di di dalam hati saya. Ikut tubing atau tidak? Saya pernah ikut rafting di Cicatih. Aman. Tapi tubing, baru pertama kali ini. Nanti kalau kepala terantuk batu gimana? Apalagi, mas-mas skeeper itu bilang kalau kita akan melewati beberapa tantangan dan kedung. Dimana salah satu kedung itu dalamnya berlubang sehingga berbahaya sekali kalau nanti sampai jatuh. Aih, matek deh!
Di tengah-tengah pergumulan batin, tiba-tiba saya teringat ucapan seorang konsultan dan psikolog lulusan Boston College, Christy Matta M.A. Katanya, “Jika kita menghindari pengalaman baru karena rasa takut, rasa takut kita tidak berkurang dari waktu ke waktu. Bahkan, justru rasa takut itu akan semakin berkembang. Padahal, kemampuan untuk memecahkan masalah hidup dan menjalani kehidupan yang kita inginkan, itu berarti, kita berani menghadapi rasa takut dan kecemasan. Keluar dari zona kenyamanan, akan membawa kita ke pengalaman yang cenderung positif.”
Oke. Akhirnya dengan segenap jiwa raga, saya memantapkan diri untuk mengikuti tubing Sungai Kreo ini. Rasa takut dan was-was sudah pasti ada. Karena pada dasarnya, setiap kita melakukan sesuatu yang berbeda dari kebiasaan, kita akan merasa tegang dan bimbang. Bahkan, berpikir untuk melakukan hal baru saja dapat menyebabkan stress. Keluar dari zona nyaman, bisa sangat menegangkan urat saraf, sehingga sebagian besar orang tidak pernah melakukannya. Dan dengan demikian,maka tak heran kalau banyak orang yang tidak belajar tentang hal-hal baru yang tersedia di hadapannya.
Setelah mengikuti latihan pemanasan yang dipimpin oleh ketua rombongan skeeper, satu persatu dari para peserta tubing duduk di atas pelampung ban. Tidak ada yang perlu dikuatirkan sampai akhirnya kami sampai di sebuah pos dekat bangunan dam, dimana dibalik dam itu terdapat arus yang deras dengan ketinggian sekitar 4 meter. Para peserta tubing harus melewati rintangan pertama ini dengan memegang ban erat pelampung ban dan terjun dari dam tersebut dengan posisi badan yang terbalik. Wow! Ngerik!
Setelah satu dua orang mulai menerjunkan diri, sayapun segera mengambil urutan. Barangkali saya orang yang ke 3 atau ke 4 atau ke 5 yang terjun pertama kali. Makanya, gak ada fotonya. Hiks. Tidak semua peserta terjun dengan sukses. Beberapa ada yang terlepas dari ban, beberapa ada yang gagal. Tapi saya termasuk yang sukses terjun melewati rintangan pertama. *congkak.
Kecongkakan saya ini berbalas kepahitan, ketika harus melewati rintangan berikutnya. Di lokasi ini, ban saya terantuk batu sehingga ban sempat terlepas dari saya. Padahal di sekitar itu banyak bebatuan tajam dan arusnya cukup deras. Akhirnya, batu-batu tajam itu menciumi beberapa bagian tubuh saya yang menghasilkan 5 lebam di lutut, kaki, dan lain-lainnya. Sampai saat ini lebam itu masih ada.
Baca juga: Ekspresikan dirimu di Old City 3D Trick Art Museum
Ketika hendak melanjutkan rintangan selanjutnya, salah satu peserta, Puspa, terlempar dari ban dan mengalami luka-luka yang cukup serius di tubuhnya. Bengkaknya agak tebal. Saya sempat minggir ke tepian sungai untuk memeriksa kondisinya. Masak ya mas-mas skeeper yang mau meriksa? Jadi lebih baik saya saja yang memeriksa dia. Dengan berbagai pertimbangan, Puspa akhirnya tidak melanjutkan kegiatan tubing ini. Demi keselamatan dan keamanan bersama.
Segera setelah kejadian itu, saya kembali meraih pelampung ban, menaikinya, dan melanjutkan perjalanan menyusuri Sungai Kreo. Dari peristiwa naas di rintangan yang kedua tadi, saya belajar banyak hal. Bahwa, selama pantat kita tidak terlalu rendah menyentuh air, maka ban akan tetap berjalan dengan lancar dan kita tak perlu takut terlempar dari ban. Jadi, yang penting, angkat pantat setinggi-tingginya! Lalu, selama kedua tangan kita mendekap erat ban dan tidak terlalu keluar dari ban, tangan kita aman dari senggolan bebatuan. Dan selama kepala kita tegak, jangan kuatir kepala terantuk bebatuan. Cuma ya gegara mengangkat kepala sepanjang tubing inilah, leher jadi pegal-pegal sampai sekarang. Kalau dipakai untuk siaran atau ngajar, terasa sakit di leher. Hiks.
Dengan learning by doing inilah akhirnya selama melewati sekitar 20 rintangan selama kurang lebih 2 jam menyusuri Sungai Kreo, hanya sekali saja saya terlempar dari ban. Yaitu di rintangan yang kedua. Sebuah prestasi yang perlu dirayakan bukan? Bonus lain selama menyusuri Sungai Kreo sepanjang 3 kilometer ini adalah, pemandangan yang masih alami. Di kanan kiri sungai, terdapat hutan-hutan yang hijau, juga beberapa kera yang sepertinya memandang kita dengan aneh, dan beberapa air terjun kecil yang mengalir diantara tebing bebatuan. Keren.
Sampai di pos terakhir, di Kedung Dowo, kami disambut dengan cemilan pisang dan ubi rebus serta beberapa cemilan. Mungkin karena saking laparnya, suguhan itu ludes dalam beberapa menit. Dan pastinya, lapar itu belum terobati dengan tuntas. Buktinya, ketika kami diantar kembali ke Desa Kandri, semua peserta melahap ludes menu makan siang Sego Kethek plus kelapa muda. Ya ampun. Lapar atau doyan nih?
Sesaat, sebelum meninggalkan Desa Kandri, seorang mas-mas skeeper bertanya, “Kapok gak tubing di Kali Kreo?” Saya jawab, dengan tantangan, “Oh, tentu tidak. Jadi kapan saya diundang lagi kesini?”
Artinya, tubing menyusuri Sungai Kreo telah memberikan sensasi ngeri-ngeri sedap yang suatu saat ingin saya ulang lagi. Adrenaline yang terbakar, landscape yang menakjubkan, mas-mas skeeper yang ramah dan helpful banget, membuat lebam-lebam tak menjadi masalah.
Baca juga: Hotel Grand Candi Semarang, dibalut citra seni tinggi
Tertarik menyusuri Sungai Kreo dengan menggunakan pelampung ban? Hubungi: Pokdarwis Pandanaran (Gatot/Baedi). Dengan Rp 100.000,- saja, kita sudah bisa bertubing-ria di Sungai Kreo, lengkap dengan sajian menu makan siang Sego Kethek.