“… But when they are calling, I know I must go. That’s a magic of mountain.” (myself)
Saya menyukai gunung dan selalu tertarik olehnya. Di mata saya, gunung seolah sosok yang kuat, tegar dan anggun, sekaligus murah hati dan tidak sombong. Mereka adalah pihak pertama yang menerima air saat hujan datang. Namun air itu tak pernah disimpannya untuk diri mereka sendiri. Mereja justru mempertahankan agar penghuni sekitarnya tetap hidup sejahtera dan mengijinkan air mengalir ke bawah gunung. Karakter inilah yang biasanya melekat di dalam diri orang-orang pendaki gunung. Seolah mereka para pendaki ini, memang mempresentasikan sifat gunung yang mereka cintai.
Meskipun saya menyukai gunung, harus saya akui, saya hanyalah pendaki amatiran. Saya tak punya teknik tertentu untuk mendaki dan perlengkapan yang canggih. Selain itu saya juga punya masalah dengan paru-paru sejak kecil. Itu sebabnya ketika sejak SMA setiap kali saya mendaki gunung (Merapi, Merbabu, Lawu, dll) saya selalu bermasalah dengan tanjakan. Jalan saya menjadi tertatih-tatih dan parahnya seringkali kesulitan bernafas (ngos-ngosan).
Satu hal yang saya yakini dalam pendakian adalah, saya pasti sampai ke puncak. Tapi, tak bisa dengan jalan yang cepat, karena saya harus mengatur nafas saya sendiri. Itu sebabnya, sejak dari dulu, saya seringkali berada di barisan rombongan paling belakang. Kadang malah tertinggal jauh. Bukan teman rombongan yang sengaja meninggalkan saya, tapi karena saya yang memaksa mereka untuk berjalan lebih dulu. Ada semacam perasaan tidak enak kalau saya harus mengganggu perjalanan orang lain (dalam hal ini, teman). Kalau mereka mengikuti irama langkah kaki saya, pastinya akan lebih capek, karena harus jalan pelan dan sering beristirahat.
Mengingat masalah paru-paru itu, seringkali saya memantapkan diri untuk tak lagi mendaki gunung. Sudah, selesaikan saja hubungan ini dengan gunung. Sampai di sini saja. Tapi seberapa keras saya menolak, selalu saja ada suara-suara gunung yang memanggil. Panggilan itu menetap di dalam hati dan pikiran. Lalu setelahnya, akan ada pihak-pihak lain yang tanpa sengaja mendorong saya untuk berkunjung ke sana. Semacam sudah ‘suratan takdir.’
Kali ini, panggilan itu datang dari Gunung Bromo. Memang, rute pendakian gunung ini tak sesulit Gunung Merbabu atau bahkan Kawah Ijen. Sudah ada jeep yang banyak tersedia untuk membantu. Tapi tetap saja ada pendakian. Saya sudah membayangkan akan mengalami kondisi yang tak enak, nafas tersengal-sengal. Ingin saya hapus saja Bromo dari list destinasi. Tapi tak bisa. Seperti sudah suratan takdir, karena kali itu teman traveling saya, Natnat, seseorang yang menggilai gunung. Dan bahkan berencana punya rumah di sekitaran gunung.
Selain bayangan negatif yang datang dari diri sendiri, kadang hal-hal negatif juga datang dari luar. You know, small people, ketika tahu saya akan naik gunung, seringkali berkomentar, “Are you sure?“ Or “It’s too hard for you.” Or “That’s not possible.”
I hate those words. I really do. Tapi biasanya, kalau lagi mood, saya membalas komentar-komentar itu dengan senyum atau kalimat positif semacam, “Yah, dido’akan saja, semoga saya kuat. Semoga saya bisa berhasil.”
Ada suatu keajaiban yang saya terima dari dulu hingga kini selama pendakian. Saya selalu diberi ‘malaikat’ yang bersedia menemani saya di rombongan paling belakang, membantu mengurangi beban di ransel saya dan memotivasi. Dulu di Ijen, ada Mas Deni, di Flores ada Emin, kali ini di Bromo ada Mas Agus, guide saya.
Turun di Penanjakan, entah karena kurang tidur atau mungkin karena suhu udara yang terlalu dingin, atau mungkin juga karena keduanya, tiba-tiba saya terserang sesak nafas. Seolah ada sesuatu benda berat yang menghantam jantung saya. Saya bisa bernafas teratur kembali setelah masuk ke dalam jeep.
Mengingat kondisi itu, saya sebenarnya agak ragu ketika diajak melanjutkan perjalanan ke Bukit Kingkong. Tapi Mas Agus mengiming-imingi, di Bukit Kingkong, adalah spot terbaik menikmati sunrise. Keren banget! Ah, sayapun menjadi tergoda.
Begitu jeep berhenti di pinggir jalan, kami turun, lalu berjalan kaki menuju bukit sunrise terbaik itu. Dan benarlah, begitu agak menanjak kembali saya tersengal. Tampaknya langkah Natnat dan Mas Agus terlalu cepat untuk saya. Sebenarnya saya lebih suka berjalan sendiri di belakang, sehingga saya bisa mengatur nafas dengan leluasa. Tapi Mas Agus tak mengijinkan. “Ayolah, kekuatan itu ada di pikiran. Bukan pada fisik kita,” kata dia.
Lalu saya memusatkan pikiran. Saya tak mau mengarahkan pandangan ke depan sana, selain memperhatikan kedua kaki saya melangkah. Kiri, kanan. Kiri, kanan. Rupanya, teknik ini sangat membantu. Terlalu melihat ke depan sana, membuat saya berpikiran bahwa, perjalanan menanjak dan masih jauh. Sementara, jika mengarahkan penglihatan pada kedua kaki saya, saya hanya memikirkan bagaimana cara agar kedua kaki saya berjalan bergantian agar tetap melangkah ke depan.
Akhirnya, sampai juga saya di puncak Bukit Kingkong. Hanya kami bertiga: Mas Agus, Natnat dan saya yang berada di lokasi itu. Di depan saya terhampar pemandangan yang sangat menakjubkan. Gunung Bromo yang diselimuti halimun berdiri dengan anggunnya. Sementara di sampingnya kumpulan awan berserakan menambah keindahan panorama saat itu. Hanya sayang, sunrise tertutup mendung saat itu, sehingga saya tak bisa menikmati awan yang berwarna emas.
Dari Bukit Kingkong, kami turun ke Penanjakan Dua. Dari sini Gunung Bromo terlihat semakin dekat di depan mata. Spot ini agak lumayan ramai, karena banyak pengunjung yang berfoto-foto di lokasi ini. Dari sekian pengunjung tersebut, beberapa diantaranya wisatawan bule. Saya sempat ngobrol-ngobrol banyak hal dengan Pak Kingkong, penduduk setempat. Pak Kingkong merupakan nama beken karena ia berjualan di dekat Bukit Kingkong. Nama aselinya ia sebutkan, tapi saya lupa. Ia menjual minuman dan beberapa cemilan. Sayang tak ada jagung rebus.
Selain Pak Kingkong, saya juga ngobrol dengan seorang ibu-ibu yang menjual ikatan Bunga Edelweis. Ia meminta saya membeli bunga itu, tapi saya tolak dengan halus. Saya sebenarnya tak terlalu suka dengan bunga. Hanya dua macam bunga yang saya suka, salah satunya Edelweis. Bunga yang melambangkan persahabatan. Ingat ya, persahabatan, bukan cinta. Dulu ketika saya naik Gunung Lawu, banyak sekali Edelweis yang sedang mekar. Saat saya berhasrat ingin memetiknya, sang ketua Himapala bilang, “Sebagai pecinta alam, suatu anugerah yang luar biasa kita bisa menikmatinya. Itu sudah lebih dari cukup. Jangan kita rusak dengan memetiknya. Apalagi tak sedikitpun kita ikut campur tangan untuk memeliharanya.”
Pesan itu, sampai sekarang masih saya ingat dan saya pegang. Apalagi, sang ketua pecinta alam itu adalah mantan. Haduh, malah jadi baper ih. Hikz.
Dari Penanjakan Dua, kami kembali menuju jeep yang menanti di pinggir jalan. Spot berikutnya, tentunya Pasir Berbisik lalu dilanjut ke Bukit Teletubbies. Saya duga penamaan bukit ini dilakukan setelah film Teletubbies terkenal. Kenapa ya, namanya gak diambil saja dari nama yang lebih Indonesia gitu? Bukit Berbisik, mungkin? Tapi, apalah arti sebuah nama, kata seseorang. Yang jelas bukit-bukit ini memang unyuk (baca: unik), dan bikin saya gemas sangat. Saya membayangkan, pasti keren ngecamp di sini sambil melihat bintang-bintang (milkway). Tapi kudu siapin lensa yang khusus ya?
Saya ingin menjajal naik kuda sebenarnya. Kuda Tengger konon istimewa. Mungkin masih ada keturunan dari Sapu Jagat, kuda kesayangan Patih Gajah Mada. Tapi saat itu sudah jam 9 pagi. Sudah tak banyak waktu. Apalagi, rombongan dari Malang mengabarkan sudah sampai di sekitaran Bromo untuk mengajak ke destinasi selanjutnya.
Dalam perjalanan pulang menuju penginapan, kami melihat Gunung Bromo mengeluarkan asap tebalnya. Erupsi? Mas Agus bilang, ini momen langka. Mari kita turun menikmati momen langka ini. Maka kami segera bergegas turun dari jeep. Begitu turun, saya merasakan bau belerang yang menyengat. Agak ngeri, tapi asyik.
Overall, saya cukup menikmati panggilan Gunung Bromo. Akan selalu saya kenang pengalaman ini. Terimakasih Mas Agus, sudah bersedia menjadi ‘malaikat’ saya selama di sini. Terimakasih sudah jadi fotografer kami. Gimana destinasi berikutnya? Apa? Ngecamp di Semeru 4 hari? Yaik!
oOo