Terkesima Keunikan dan Keramahan Desa Mbawa Donggo Bima NTB

Siapapun yang menyukai budaya pasti langsung terkesima begitu menginjakkan kaki di Desa Mbawa. Desa tradisional yang secara administratif berlokasi di Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima NTB ini, selain terkenal karena keramahannya juga memiliki keunikan maksimal. Yang pertama, adanya rumah tradisional yang usianya ratusan tahun yang disebut Uma Leme. Kedua, tradisi perempuan memakai sarung tenun Tembe Me’e yang khas dengan warna hitamnya. Yang berikutnya, adanya kearifan lokal yang sanggup merekatkan persaudaraan antar warga meskipun mereka berbeda agama atau keyakinan. Perbedaan agama/keyakinan, baik itu Islam, Katholik, Kristen maupun Marafu (kepercayaan lokal), tak menyurutkan keharmonisan mereka dalam bermasyarakat. Selain itu, masih banyak ritual, simbol, kearifan lokal dan kesenian daerah yang semakin melengkapi keunikan Desa Mbawa Donggo ini.

Baca juga: Kemesraan Kultur Tionghoa dan Jawa Terekam di Lasem 

Uma Leme Mbawa Donggo 02
Baju Adat Donggo di Museum Asi Mbojo Bima

Perjalanan saya ke Bima tentu saja saya mulai dari Semarang. Transit di Bali sebentar lalu berhenti di Bandara Udara Sultan Muhammad Salahuddin. Di dalam pesawat dari Bali ke Bima hampir separoh lebih wisatawan bule. Dan membawa peralatan surfing. Saking tertuju pada Desa Mbawa Donggo, saya sampai mengabaikan bahwa di Bima terdapat beberapa pantai yang asyik untuk surfing. Beruntunglah saya sempat kesasar di salah satu pantainya. Lakey Beach yang akan saya ceritakan terpisah. Selama di Bima saya menginap di pusat kota. Tepatnya di Hotel Lambitu yang berlokasi di Jl. Sumbawa no.4, Bima. Selesai sarapan, mobil yang kami carter sudah menunggu di depan hotel. Sekitar jam 7 pagi kami cuzz menuju Mbawa, Donggo.

Selamat Datang di Uma Leme Mbawa Donggo!

Secara umum kondisi jalan menuju Donggo cukup bagus. Sudah beraspal dan tidak crowded. Bahkan cenderung sepi. Meskipun demikian, jalan terhitung agak menanjak, berliku dan tidak terlalu lebar. Maklum saja, karena memang daerah pegunungan. Di kanan kiri jalan terlihat rumah-rumah panggung yang bahan utamanya kayu. Pemandangan hutan yang hijau juga menyelinap dalam penglihatan saya. Utamanya hutan jati. Sejuk di mata. Ketika sampai di sekitar kawasan Desa Doridungga – Donggo, driver menghentikan mobil, karena di depan kerumunan kambing pada goleran di tengah jalan. Saya sempat terheran-heran dengan kondisi ini. Kok pemilik kambing gak kuatir piaraan mereka ketabrak mobil yang lewat? Lalu, si driver yang memang aseli warga Bima menjelaskan, bahwa tak mungkin ada mobil yang berani menabrak mati kambing itu. Karena sudah ada aturan yang tertulis, bahwa siapapun yang telah berani menabrak kambing sampai mati maka mereka wajib menggantinya dengan sapi. Hahaha… pantesan saja! Alhasil, kami berlima terpaksa turun dari mobil untuk menghalau kambing-kambing tadi agak ke pinggir.

Para kambing yang gegoleran santai di jalan raya Doridungga – Donggo

Setelah berhasil menghalau kambing-kambing ke pinggir jalan sembari menyapa warga setempat, kamipun melanjutkan perjalanan lagi. Lama juga ternyata perjalanan dari pusat kota Bima menuju Donggo. Ada kali kalau 2 jam lebih. Apalagi kami juga sempat berhenti dan mampir ke beberapa tempat yang kami anggap menarik. Sebuah dermaga yang berjejer kapal-kapal nelayan, misalnya. Di mana dari dermaga ini bisa terlihat dengan jelas Pulau Kambing yang eksotis.

Pulau Kambing yang pernah jadi destinasi wisata favorit warga Bima

Atau sempat juga mampir ke sebuah bangunan tua di depan kantor camat yang disebut Pesanggrahan Donggo. Bangunan ini merupakan peninggalan Belanda dan dulunya pernah dijadikan tempat penahanan Sultan Bima oleh pihak Belanda. Yang menakjubkan berada di lokasi ini adalah… kita bisa melihat panorama alam yang sangat indah dan mempesona. Pulau Kambing yang berada ditengah teluk Bima yang tadi sempat saya nikmati dari dermaga, dari ketinggian Pesanggrahan Donggo pulau itu terlihat seperti sebuah delta kecil pada sungai besar saja. Sementara bangunan-bangunan dan atap-atap rumah di kota Bima terlihat syahdu dalam pelukan gunung-gunung yang berselimut kabut tipis dikejauhan.

Pesanggrahan Donggod dekat Uma Leme Mbawa Bima
Pesanggrahan Donggo, Sultan Bima pernah ditahan Belanda di sini

Saya dan kawan-kawan sampai di Desa Mbawa Donggo sekitar jam 08.30 waktu setempat. Sempat celingak-celinguk karena suasananya sepi. Tak seorangpun warga setempat yang kelihatan di teras rumah atau di jalan kampung. Kebanyakan rumah di sini juga rumah panggung. Di beberapa rumah terikat tali di leher kuda yang badannya pendek, khas kuda Bima. Sementara di beberapa rumah yang lain, terlihat anjing yang duduk-duduk di depan teras sigap menjaga rumah. Situasi ini saya manfaatkan untuk menikmati pemandangan hijau dan suasana alam yang tenang dan sejuk cenderung dingin. Wajar saja, karena desa yang lokasinya di atas pegunungan Soromandi ini berada di ketinggian 1.500 mdpl.

Uma Leme Mbawa Donggo 06
Saya penjaga rumah di Desa Mbawa Donggo sini!

Puas menyesap keindahan alam di Desa Mbawa Donggo, kami melangkahkan kaki mendekati komplek situs Uma Leme. Rumah yang dulunya ditempati kepala suku. Uma artinya rumah. Leme artinya kerucut. Bisa jadi, Leme itu berasal dari kata limas. Dan dari penjelasan tadi, dapat dipastikan kalau rumah adat tradisional Donggo ini atapnya berbentuk kerucut. Rumah yang konon dibangun ratusan tahun silam oleh Ncuhi Mbawa ini tingginya sekitar 7 meter dengan ukuran sekitar 3×4 meter.

Secara struktur bangunan, Uma Leme terdiri dari 3 lantai. Dimana lantai pertama digunakan untuk menerima tamu dan kegiatan upacara adat. Lantai kedua berfungsi sebagai tempat tidur sekaligus dapur. Sementara lantai ketiga yaitu bagian atapnya digunakan untuk menyimpan bahan makanan, seperti padi dan palawija. Atapnya terbuat dari daun alang-alang. Alang-alang ini menutupi tiga perempat bagian rumah sebagai dinding dan memiliki pintu masuk di bagian bawah Sementara bangunan rumahnya bertiang empat dan dindingnya terbuat dari bahan kayu sangga. Konon kayu ini diyakini bisa menolak bencana dan malapetaka.

Uma Leme Mbawa Dongga 07Rumah adat Uma Leme yang didirikan Tetua Mbawa ratusan tahun silam

Di situs Uma Leme kami disambut dengan ramah oleh seorang perempuan tua yang mohon maaf saya lupa namanya. Dari bibirnya meluncur kisah-kisah legenda dari nenek moyang mereka. Sesekali perempuan tua itu tertawa di tengah-tengah ia bercerita. Ketika saya singgung soal wanita yang biasanya terlihat menenun, ia menjelaskan kebanyakan mereka sedang beribadah ke gereja. Mengingat, saat itu tepat perayaan Hari Natal. Pantesan saja sepi… Seharusnya, begitu memasuki areal desa Mbawa, akan terlihat aktifitas ibu-ibu dan gadis remaja setempat yang menenun. Biasanya mereka menenun di bawah kolong rumah atau di teras rumahnya. Bagaimanapun, menenun merupakan tradisi turun temurun masyarakat Bima, khususnya Desa Mbawa-Donggo. Umumnya, tenunan donggo didominasi corak garis-garis dan warna hitam. Pewarna yang dipakai-pun, berupa pewarna alami dari serat dan bunga-bunga pohon di hutan terdekat. Tenunan Donggo dikenal dengan nama Tembe Me’e. Konon sarung Mbawa – Donggo ini bisa menyesuaikan cuaca dan iklim. Jika digunakan pada musim panas/kemarau terasa dingin dan sejuk. Sedangkan jika digunakan pada musim dingin/hujan terasa hangat dan lembut.

Uma Leme Mbawa Donggo Bima NTB
Saya dan warga aseli dari Desa Mbawa, Dongga, Bima NTB

Uma Lemme terletak di puncak sebuah bukit di desa Mbawa, Donggo. Di sebelah Barat Teluk Bima. Kalau dulu digunakan sebagai rumah kediaman kepala suku, sekarang rumah adat ini digunakan sebagai tempat berkumpul untuk melakukan ritual dan tradisi juga sebagai tempat berdo’anya masyarakat. Doa Raju, misalnya. Doa dan ritual ini dilaksakan sebelum mereka menanam padi. Atau sekitar bulan September-Oktober. Doa yang mereka panjatkan dalam rangka meminta kepada sang Penguasa Alam agar tanaman yang akan ditanam nanti bisa tumbuh dengan subur, jauh dari hama dan mendapatkan hasil yang memuaskan untuk keberlangsungan kehidupan setahun ke depan. Dan karena saya datang pas hari Natal, maka saya tak bisa menyaksikan ritual dan doa menanam padi ini. Padahal, saya membayangkan acara itu pasti seru banget!

Selang beberapa saat berada di situs Uma Leme, kamipun memutuskan untuk pulang. Tiba-tiba salah seorang warga keluar dari rumahnya dan mengajak kami berbincang. Kami diundang oleh seorang warga untuk mampir ke rumahnya. Kami tak sanggup menolah keramahan yang mengakar kuat di Desa Mbawa Donggo ini. Akhirnya kami bertamu dan ngobrol-ngobrol sebentar. Si perempuan tua itu menawari saya untuk menumbuk padi. Jika ditumbuk, kulit padi akan mengelupas dan yang tersisa adalah butir-butir beras. Setelah membantu menumbuk padi, ia menari saya minuman teh dan cemilan khas Donggo. Setelah semua cemilan itu berpindah ke dalam perut kami, tanpa basa-basi kami meminta ijin pulang kembali ke Bima.

Padi yang mengering siap ditumbuk agar menjadi butir-butir beras

Hari sudah siang. Matahari sudah beranjak ke tengah. Masih banyak destinasi yang kami harus singgahi. Meskipun di Desa Mbawa Donggo ini ada beberapa keinginan yang belum terpenuhi. Mungkin lain waktu lagi. Dan saya pastikan, saya ingin datang pas musim tanam akan dimulai. Sehingga banyak ritual dan tradisi yang bisa saya nikmati. Dalam melanjutkan perjalanan, ada kekecewaan yang mencuat. Air terjun yang kami datangi ternyata tak seindah yang ada di internet. Padahal jalan ke sana jauh dan jalannya sulit dilewati mobil. Untunglah kami dapat bonus Lakey Beach. Dan membawa pulang madu aseli yang baru saja diambil dari hutan.

Writer. Lecturer. Travel Blogger. Broadcaster

Related Posts