Pagi hari, shuttle bus (travel) yang akan saya tumpangi menjemput di depan hotel. Begitu duduk dan roda kendaraan melaju, saya mengucapkan selamat tinggal pada Labuan Bajo. Selamat tinggal komodo-komodo yang menakjubkan. Cinta saya selalu untuk kalian ya? π
Sebenarnya, perjalanan darat menuju Bajawa bisa dikatakan lumayan mulus. Meskipun tidak terlalu lebar dan meliuk-liuk, membuat siapapun yang tak terbiasa akan merasakan mual-mual. Beberapa saat kemudian saya terlelap dan terbangun ketika bus menghentikan lajunya. Astaga! Bannya bocor! π
Bakalan berhenti lama pastinya. Bannya parah begitu. Beberapa penumpang lain mulau menggerutu. Sementara ban diperbaiki di sebuah bengkel dekat lokasi ban pecah, saya mencoba mencari beberapa informasi. Saya berjalan kesana-kemari demi menghalau kebosanan dan berhenti di sebuah warung sambil membeli cemilan dan ngobrol-ngobrol. Dari informasi si pemilik warung, ternyata saat itu saya tengah berada di daerah Lembor, Manggarai Barat. Sebagian besar wilayah Lembor merupakan daerah irigasi untuk persawahan. Tak heran, jika Lembor dikenal dengan julukan Lumbung Pangan atau Sentra Produksi Padi dan men-supply kebutuhan beras bagai masyarakat Nusa Tenggara Timur.
Jika dilihat sekilas, tampaknya cara penanaman padi di daerah Lembor ini menggunakan sistem Jajar Legowo 2:1. Maksudnya, setiap dua baris tanaman padi diselingi satu baris kosong dengan lebar dua kali jarak tanam. Sehingga seolah-olah tanaman padi lebih banyak berada di pinggir. Keuntungan sistem tanam seperti ini memang banyak, salah satunya, tanaman padi yang berada di pinggir akan lebih banyak mendapatkan sinar matahari, yang membuat kualitas gabah menjadi lebih baik.
Saya segera kembali menuju bus, ketika pak sopir memberi isyarat kalau ban sudah selesai diganti dan kendaraan siap melaju kembali. Kamipun kembali melintasi jalan trans Flores yang berliku memecah pegunungan antara Kabupaten Manggarai Barat dan Manggarai. Belum lagi, kami sempat dihadang kabut ketika melewati Ruteng. Mungkin kalau kaki saya baik-baik saja, saya akan turun di Ruteng dan melipir ke Wae Rebo. Tapi ah sudahlah…
Hari sudah menjelang gelap ketika saya sampai ke Bajawa. 8 jam perjalanan yang harus saya lalui dari Labuan Bajo tadi. Mungkin lebih, ditambah dengan kejadian bon bocor. Bahkan ketika saya sampai di sebuah hotel, hari sudah benar-benar gelap. Saya sempat ngobrol banyak dengan anak si pemilik hotel yang ternyata lulusan Undip. Dia manawarkan saya untuk menemani ke Desa Bena besok pagi, yang saya sambut dengan suka cita. Obrolan semakin hangat, ketika kami sama-sama tahu ternyata memiliki minat yang sama: tenun. Bahkan skripsi dia temanya juga tenun. Hahaha. Sayang, saya tak berhasil meng-copy skripsinya itu, karena sudah lupa ditaruh dimana. Hm, kok bisa sih? π
Sekitar jam 8 malam, setelah mandi dan bersih-bersih, saya keluar mencari makan. Lapar sekali. Sepi sekali kota itu. Beberapa orang yang masih lalu lalang membungkus dirinya dengan kain yang tebal. Dinginnya memang ampun-ampun deh. Kesana kemari mencari rumah makan atau warung makan, hanya satu saja yang masih buka. Penjualnya seorang perempuan asal Gresik Jawa Timur yang dipinang pemuda Bajawa. Alhasil, jauh-jauh ke Bajawa, saya tetap ngobrol pakai Bahasa Jawa. Amazing! π π π
Dinginnya udara Bajawa membuat saya sulit tidur semalaman, Padahal fisik sudah lelah sekali. Tapi jaket dan selimut tebal yang melilit tubuh, tak sanggup menahan udara dingin yang menyelusup ke pori-pori kulit saya. Alhasil keesokannya saya bangun jam 9 pagi. Untungnya anak pemilik penginapan juga belum siap, jadi saya tidak terlalu malu. Sambil menunggu dia siap, saya mencoba berjalan-jalan di sekitar rumah penduduk. Saat itu, saya baru bisa melihat dengan jelas kalau beberapa rumah yang ada di Bajawa memiliki keunikan. Di atas atapnya terdapat ornamen orang-orangan.
Banyak destinasi menarik yang wajib dikunjungi selama berada di Bajawa. Tapi mengingat bahwa perjalanan saya melintasi jalan trans Flores ini boleh dikatakan ekspedisi tenun ikat, maka sudah pasti Desa Bena merupakan destinasi yang wajib dikunjungi.
Sepanjang yang saya tahu, kegiatan menenun di desa ini dilakukan oleh semua warga di depan rumah masing-masing. Membayangkannya saja, sudah membuat saya bersemangat. Semakin bersemangat, setelah saya melewati Desa Triwiru karena itu berarti Desa Bena sudah tinggal selangkah lagi. Bahkan kemegahan Gunung Inerie sudah tampak dari kejauhan.
Begitu memasuki Desa Bena udara dingin semakin terasa. Saya hanya bisa terkesima, begitu kaki saya menginjakkan tanah di bumi megalitikum itu. Wow! Itulah kalimat pertama yang keluar dari mulut saya begitu memasuki kawasan desa adat Bena. Seperti tidak ada kalimat yang tepat untuk menggambarkan kekaguman saya melihat lansekap yang nyaris sempurna.
Perkampungan itu terkesan teduh dan damai dikelilingi pohon-pohon besar dan seolah diayomi oleh Gunung Inerie yang menjulang tinggi, kokoh, sekaligus angkuh.
Di depan saya persis, terhampar bangunan rumah-rumah adat tradisional yang arsitekturnya tampak seragam dan berderet rapi saling berhadapan. Deretan rumah di sisi kiri dan kanan dipisahkan oleh sebuah lapangan luas dimana batu-batu megalitikum tersusun sederhana. Terdapat beberapa suku yang mendiami Desa Bena. Suku atau klan-klan ini yang mendiami kampung adat ini bertanggung-jawab menjaga tradisi mereka.
Jika dilihat dari atas, deretan rumah itu seolah membentuk sebuah ragangan kapal atau perahu. Konon, menurut kisah yang diyakini turun temurun oleh warga kampung adat tersebut, Desa Bena dulunya berasal dari sebuah kapal besar yang terdampar di lereng Gunung Inerie. Mungkin dulunya, gunung itu terendam di bawah laut. Kapal itu tidak bisa berlayar lagi dan terus terdampar sampai akhirnya air surut. Bangkai kapal itu kemudian kemudian digunakan sebagai lokasi perkampungan.
Di situlah lokasi makam nenek moyang yang sekaligus menjadi lokasi upacara adat warga Desa Bena. Setiap unsur di desa ini sungguh menarik untuk diamati. Tanduk kerbau, taring babi, ukiran, lukisan dan suluruh ornamen yang terpasang di rumah-rumah kayu beratapkan ilalang itu pasti menyiratkan simbol dan nilai penting.
Saya mendatangi seorang nenek yang tengah menikmati sirih pinang di teras rumahnya. Dari nenek itu, saya mengetahui bahwa semalam baru saja diselenggarakan upacara adat karena salah satu keluarga mereka ada yang meninggal. Pantas saja, di banyak saya lihat tetesan darah hewan kurban yang tersebar di beberapa lokasi. Selain itu, juga tak terlihat satupun perempuan yang sedang menenun di teras rumah, karena bila sedang berkabung maka peraturan adat tidak memperbolehkan warganya melakukan aktivitas. Padahal menenun merupakan pekerjaan yang biasanya mereka lakukan di teras rumah. Sehingga dengan demikian, pupuslah harapan saya untuk menjumpai momen dimana para warga sedang menenun di depan rumah mereka.
Biarpun rencana awal kurang berhasil, namun saya tidak benar-benar kecewa. Keindahan dan keunikan Desa Bena sendiri sudah sanggup memikat siapapun yang melihatnya. Beberapa turis bule tampak sibuk berfoto-foto di lokasi itu sembari berbincang dengan tour guide-nya. Saya yakin, mereka tak akan menyangkal bahwa rumah-rumah adat beratap ilalang, batu-batu tempat dilaksanakan upacara adat, keramahan warganya, serta pemandangan Gunung Inerie, benar-benar menawan.
Hasil kerajinan tenun warga di sini, bisa terlihat di beberapa rumah yang memajangnya. Saya perhatikan, kain tenun di desa ini motifnya cenderung lebih sederhana dan warnanya lebih terang. Dari kain tenun yang dipajang itu, saya membaca kekhasan motifnya, yaitu gambar rumah adat dan kuda serta garis-garis horisontal. Selain itu, warnanya juga lebih lebih cerah dan berwarna-warni.
Puas menikmati dan mengagumi keindahan Desa Bena, sayapun kembali ke penginapan. Haripun sudah beranjak siang. Anak pemilik hotel menawarkan akan mengantarkan ke beberapa tempat menarik lainnya di sekitar Bajawa. Tapi saya berkilah bahwa jam 1 siang nanti sudah memesan travel untuk menuju kota Ende.
Sejujurnya, saya tak sanggup menambah sehari lagi menginap di Bajawa. Dinginnya ampun-ampun dah. Mungkin karena anak pemilik hotel itu melihat saya traveling sendirian, ada nada kekuatiran yang dia sampaikan melalui pertanyaan, βsudah pesan penginapan?β βnanti di sana sama siapa?β dst. Yang kesemuanya itu, saya jawab dengan, βSaya belum tahu. Nanti lihat-lihat situasi dan kondisi.β Akhirnya, dia merekomendasi nama seorang teman di Ende yang dia kenal dengan baik. Saya catat nama dan namanya. Lalu saya bergegas masuk kamar untuk mengambil ransel. Tak lama kemudian, sebuah mobil travel sudah menjemput saya dan mengantar ke destinasi berikutnya. Ende.