The more that you read, the more things you will know. The more that you learn, the more places you’ll go. (Dr. Seuss)
Sapih? Tempat macam apa itu? Ada apa dengan tempat itu? Dimana tempatnya?
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dari para sahabat ketika Gajah Mada menyatakan ingin menghabiskan masa tuanya di sebuah tempat yang bernama Sapih.
Lalu Sang Mahapatih dengan wajah penuh keyakinan menjawab:
“Suatu tempat yang sangat indah. Keindahannya hampir tak ada yang bisa menyamai. Ada beberapa air terjun yang menjanjikan kedamaian dan kesejukan. Kalau musim hujan, tempat itu diselimuti kabut. Kalau musim kemarau, keindahan tempat itu hanya bisa disamai oleh keindahan Lautan Pasir Gunung Bromo.”
Begitulah kira-kira cara Gajah Mada menjelaskan keindahan tempat yang bernama Sapih itu kepada dua sahabat yang telah menemaninya berkarir selama lebih dari 20 tahun di Kerajaan Majapahit. Tempat itu kemudian dikenal dengan nama Air Terjun Madakaripura.
Baca juga: Menapaki Reruntuhan Kejayaan Majapahit di Situs Trowulan
Itu baru sahabat-sahabatnya. Lalu ketika dalam perjalanan sampai di Pasuruan seorang nelayan bertanya, kenapa pilihannya jatuh ke Madakaripura, maka dengan mantap Sang Mahapatih menjawab,
“Aku sudah beberapa kali datang ke Sapih. Tak henti-hentinya aku mengagumi. Aku benar-benar jatuh cinta pada tempat itu.”
Sama seperti para sahabat dan nelayan itu, saya juga sebenarnya penasaran kenapa Gajah Mada memilih Sapih sebagai tempat pesanggrahan. Air terjun Sapih waktu itu masih sangat angker, dihuni para dedemit. Sudah gitu, jauh lho Sapih itu dari Trowulan Mojokerto. Kenapa gak di sekitar kota raja saja sih? (Loh kok jadi posesif? Hahaha…)
Mungkin, luka batin yang dialami Patih Gajah Mada saat itu sangat dalam, sehingga ia memang membutuhkan tempat yang benar-benar asing untuk menyembuhkan luka itu. Kita juga seperti itu, bukan? Dimarahin orang tua, berantem sama pasangan, dihina teman, dst, bawaannya kita pengen menyendiri di suatu tempat atau mojok di kamar. Lha ini, Sang Mahapatih dicuekin sama Raja Hayam Wuruk gegara salah strategi sehingga menimbulkan Perang Bubat. Padahal selama 20 tahun lebih, seluruh hidup Gajah Mada dipersembahkan untuk kerajaan. Sampai ada sumpah Palapa segala. Lha kok nila setitik rusak susu sebelanga?
Akhirnya karena merasa tak lagi dianggap ada oleh Prabu Hayam Wuruk dan rakyat Majapahit, Sang Patih berangkat menuju Sapih ditemani Sapu Jagad. Kuda paling gagah se-Majapahit yang berasal dari Dompu Bima.
Gajah Mada berkuda tidak melewati jalan umum, melainkan memilih menelusuri jalan pantai. Dari Mojokerto menuju Japanan, lalu ke timur menuju Bangil, lanjut ke Pasuruan, sampai akhirnya sampai ke Sapih Madakaripura.
Sama seperti Sang Mahapatih, sudah sejak lama saya juga memendam keinginan untuk mengunjungi Madakaripura. Tapi bukan karena alasan luka batin, melainkan ingin membuktikan seindah apa sih tempat itu? Kok Gajah Mada sampai segitu napsunya ingin menghabiskan sisa usianya di tempat itu?
Akhirnya, sampailah hari yang telah saya rencanakan. Setelah perjalanan dari Semarang sekitar 9 jam, akhirnya sekitar jam 7 pagi saya sudah sampai di Stasiun Malang. Perut sudah mulai memainkan musik Armin van Buren, tapi saya masih harus menunggu Nat-nat yang berangkat dari Bandung.
Dua jam kemudian, begitu dia sampai, kami langsung dibawa Pak Supir ke Depot Rawon yang konon sudah ada sejak tahun 1957. Ya ampun, usianya beda 20 tahun dengan saya! Naluri kepo saya menyuruh saya untuk mencari tahu sejarah berdirinya warung makan ini. Tapi, yang ada di situ hanyalah para pegawai yang tak tahu apa-apa. Ya sudah, saya menikmati sepiring rawon dan sepotong tempe goreng dengan rasa penasaran yang masih ada di kepala.
Niat awalnya, saya ingin menikmati perjalanan dari Malang ke Probolinggo, sekalian membayangkan bagaimana dahulu Mahapatih Gajah Mada menapaki jalan ke Madakaripura sembari mengendarai seekor kuda. Namun apa daya, badan capek dan perut kenyang. Alhasil saya malah tertidur dengan cantiknya.
Bangun-bangun, saya sudah sampai di Tongas. Konon dulunya Tongas ini adalah tempat yang sangat terkenal. Di sini terdapat pelabuhan kecil tempat berjual beli ikan. Dari lokasi ini, kita sudah bisa melihat keindahan Gunung Bromo. Dari titik ini sampai ke pintu gerbang Air Terjun Madakaripura, kita akan melewati jalanan yang meski sudah beraspal namun berkelok-kelok, naik-turun dan agak sempit. Bahkan saya sempat was-was kalau kebetulan bertemu dengan mobil lain dari arah yang berlawanan. Takut nyerempet. Untunglah pak sopir cukup ahli, sehingga saya cukup bisa menikmati pemandangan ketje yang tersaji di di sisi kiri dan kanan jalan.
Sekitar satu jam kemudian, sampailah kami di pintu gerbang air terjun. Hawa dingin sudah mulai terasa di area ini. Di situ, banyak warung-warung berjejer menawarkan berbagai aneka jajanan. Sayang, tak ada jagung rebus. Akhirnya saya hanya memesan kopi tubruk aseli Tengger. Beberapa tukang ojeg menawarkan jasanya dengan sopan. Semula saya dan Natnat berencana untuk jalan kaki saja. Tapi kemudian teringat, kalau malamnya nanti kami akan naik Gunung Bromo. Mending saving energy kan?
Selain tukang ojeg, banyak juga penjual jas hujan yang menawarkan dagangannya. “Beli jas hujan ini, daripada nanti basah kuyup, lho!”, kata si penjual. Saya belum mandi dari turun stasiun tadi, jadi memang berencana pengin basah-basahan. Makanya, tawaran penjual itu saya tolak dengan halus.
15 menit naik ojeg, sampailah kami di area Air Terjun Madakaripura. Ada patung Patih Gajah Mada di situ dalam posisi meditasi. Suara deburan air semakin jelas terdengar di sini. Tapi ini belum sampai. Kita masih perlu jalan kaki lagi menuju air terjun. Dugaan saya, di sekitar tempat inilah Patih Gajah Mada mendirikan rumah padepokannya. Karena saat sahabat-sahabatnya berkunjung dan ingin melihat air terjun, mereka perlu berjalan kaki lebih dahulu.
Pemandangan di sekitar air terjun sangat asri. Banyak pohon-pohon yang tumbuh di bebukitan.Di sisi sebelah kanan ada sungai yang airnya mengalir di antara batu-batu yang besar. Udaranya bersih dan dingin. Sesekali terdengar suara burung liar bersahutan.
Sekitar 10 menit kemudian sampailah saya di air terjun. Ketika saya mendongakan kepala, seolah ada lobang besar yang menganga di atas sana. Di pinggiran lobang tadi, dilapisi tebing karang yang berhiaskan lumut. Air yang memercik dari atas mengguyur seluruh tubuh saya. Airnya dingin dan segar. Serasa mandi pakai shower. Saya kegirangan. Sampai hampir terpeleset dari atas batu yang saya injak. Memang banyak juga batu-batu besar di sekitar air terjun itu, sehingga perlu hati-hati agar tak terpeleset.
Ada 5 rangkaian air terjun yang berada di lokasi air terjun Madakaripura ini. Dan yang paling besar adalah air terjun yang lokasinya paling ujung. Waktu saya berkunjung ke sini (akhir Mei 2016), airnya cukup jernih dan berwarna kehijau-hijauan. Konon, menurut keterangan mas pemandu, di bawah air terjun yang paling besar dan utama tersebut, ada sebuah goa yang dulunya dipakai Gajah Mada untuk meditasi. Saya penasaran dengan goa itu. Mungkin ada ukiran atau tulisan apa gitu kan? Sayang arusnya agak deras, sehingga pemandu melarang saya untuk kesana. Ya sudah, akhirnya saya menikmati saja apa yang tersaji di depan mata saya.
Setelah melihat keindahan Air Terjun Madakaripura dengan mata kepala sendiri, akhirnya saya bisa memahami kenapa Patih Gajah Mada begitu tergila-gila dengan tempat ini. Air terjun tertinggi di Jawa ini, memang layak dijadikan tempat untuk menyembuhkan luka batin. Indah, asri, sejuk, damai, tak ada hiruk-pikuk selain melodi perpaduan antara gemericik air terjun yang berkoborasi dengan pepohonan dan suara-suara satwa liar. Melodi yang luar biasa, sebuah masterpiece karya Illahi!
oOo