Mana yang lebih kalian pilih: traveling sendirian atau traveling ramai-ramai? Yang lebih suka traveling sendiri, pasti punya 1001 alasan. Pun demikian dengan yang lebih suka traveling bareng teman. Yang manapun pilihannya, keduanya akan mengajarkan kita banyak hal. Tapi tentunya berlaku hanya buat yang memang ingin belajar. Belajar kan gak hanya dari sekolah yekan?
Saya pribadi pernah melakukan perjalanan sendirian hampir selama 3 bulan. Dari mulai Bali, Lombok, NTT, Makassar sampai ke Banda Neira. Dan buat saya, perjalanan itu merupakan pengalaman yang sangat luar biasa. Sebaliknya, saya juga pernah melakukan perjalanan ke pelbagai destinasi dengan beberapa kelompok/group yang berbeda. Selalu menyenangkan kah? Tidak selalu.
Pernah suatu kali saya jalan dengan kelompok/group yang tujuan travelingnya adalah banyak-banyakan destinasi. Kalau bisa, dalam sehari ada 10 atau lebih destinasi yang dikunjungi. Benar-benar hanya mengejar jumlah, tidak menikmati perjalanan. Sebaliknya, ada kelompok/group yang terlalu lamban berada di suatu destinasi. Melihat kambing makan rumput, minta turun dari mobil. Foto-foto kambingnya, lalu duduk-duduk di tempat itu lama. Bisa 2 jam lebih. Itu baru kambing. Belum yang lain. Lihat kerbau mandi, minta berhenti. Lihat ulat di daun, minta berhenti. Lihat anak-anak kecil main air, minta berhenti. #tantelelah
Biasanya, kalau saya merasa nyaman jalan dengan suatu kelompok, maka akan ada skedul jalan bareng mereka lagi. Kalau tidak, ya cukup sekali itu saja. Daripada bikin uring-uringan yekan? Salah satu group yang saya bersamanya telah berkali-kali jalan dengan mereka yaitu The Tripsters. Atau kalau di kalangan under-ground dikenal dengan sebutan ‘Genk Binals’.
Mereka adalah: Taufan Gio, Fahmi Anhar, Richo Sinaga, Bobby Ertanto dan (yang sebenarnya gak bisa disebut binals saking halus budi bahasanya) saya sendiri.
Sudah banyak destinasi yang mengukir pengalaman dan kenangan kami berlima. Dari mulai Semarang, Ambarawa, Salatiga, Bali, Malaka sampai ke Penang. Dan tidak tertutup kemungkinan akan menyusul destinasi-destinasi selanjutnya. Sebagian perjalanan ini kami biayai sendiri dan sebagian lagi ada yang dibiayai pihak sponsor. Yah, meskipun kami bisa membiayai sendiri, namun akan lebih senang jika ada pihak lain yang ikut mensponsori perjalanan kami. #eh #malahpromosi
Baca juga: Hotel Casa del Rio, kemewahan di tepi Sungai Melaka
Saya lupa bagaimana awalnya saya dan anggota Binalers lainnya bertemu dan kemudian menjadi semakin akrab. Tapi mungkin inilah yang dinamakan resonansi. Hukum resonansi mengatakan, “Satu benda akan bergetar akibat getaran benda lain karena kesamaan frekuensi.” Setiap benda dan mahluk hidup di alam semesta ini bervibrasi. Tidak ada sesuatupun yang mampu menolak getaran yang kita hasilkan jika mereka beresonansi dengan frekuensi kita. Jika kita memancarkan frekuensi yang positif, maka hal itu akan menarik orang-orang yang positif mendekat ke kita. Demikian pula sebaliknya. Begitu teorinya.
Saya dan anggota The Tripsters yang lain, bukanlah orang-orang yang (sok) suci dan behaviornya selalu positif. Kadang-kadang kami suka nyinyir, kadang becandanya kelewatan, dan tak jarang kami suka uring-uringan. Semua punya tingkat uring-uringan yang sama, meskipun pemicunya bisa berbeda-beda. Misal: Gio paling uring-uringan kalau pas lapar, Fahmi paling uring-uringan kalau ada selisih uang iuran genk, Bobby beda lagi. Eh tapi kalau dia sih memang hobinya uring-uringan. Hihihi…
Dengan level uring-uringan yang terhitung tinggi, ditambah dengan perbedaan latar belakang keluarga, perbedaan status, usia, pendidikan, pekerjaan dan masih banyak perbedaan lainnya, pastinya bukan hal yang mudah untuk dapat menyatukan isi kepala dan berjalan beriringan dalam setiap destinasi. Jika tidak memiliki teknik/strategi tertentu, bisa jadi jalan sehari saja sudah langsung bubar jalan.
Bahwa mungkin benar, ada kesamaan frekuensi sehingga The Tripster dapat mempertahankan kebersamaan. (Meskipun jujurnya saya masih bingung dimana letak kesamaannya. Jangan-jangan di uring-uringan itu?). Tapi juga bukan berarti tak ada upaya apapun sehingga kebersamaan itu dapat terselenggara dengan baik dan lancar.
Bagaimanapun tetap harus ada upaya, agar perjalanan berombongan ini tetap fun dan sempurna. Pengalaman beberapa kali jalan bareng The Tripsters ke beberapa destinasi, saya rangkum dalam “7 Tips Sukses Traveling Bareng Teman”, yang antara lain:
1. Pahami Perbedaan Masing-masing
Langkah awal dalam merencanakan perjalanan yang nyaman dan menyenangkan adalah mencari tahu seberapa besar perbedaan yang ada antara yang satu dengan yang lainnya. Jika perbedaan itu terlalu signifikan, lebih baik dibicarakan jauh-jauh hari sebelum berangkat. Kalau perlu batalkan perjalanan bareng. Kan kalau yang satu sukanya nge-mall sementara yang satunya lagi suka blusukan ke rumah adat, susah kali disatukan yekan? Atau yang satunya suka nyelem sementara yang lainnya trauma air, kan repot kali ya cari jalan tengahnya?
Perbedaan memang akan menjadi masalah besar di kemudian hari kalau tidak dipahami dan dikelola dengan baik. Namun jika anggota group bisa saling menghormati perbedaan dan setuju mencari jalan tengah, maka perjalanan cenderung akan berjalan lancar. Contoh: Fahmi suka ikan, Gio suka sayur-sayur berkuah, Bobby dan Richo suka yang berdaging-daging. Itu sebabnya, kami lebih sering terdampar makan di food-court atau warteg yang menyediakan menu beragam. Atau memilih restaurant yang menyajikan menu standar semacam fried chicken.
2. Tentukan Tujuan Destinasi Bersama, Tapi Tetaplah Fleksibel
Memang ada yang pernah bilang, bahwa, “Traveler sejati itu ikut kemanapun kaki melangkah, tak punya rencana dan tujuan pasti.” Rasanya, ungkapan itu hanya cocok untuk mereka yang solo traveling atau maksimal jalan berdua saja. Nasehat itu menurut saya tak berlaku untuk traveler beregu yang ingin sampai akhir perjalanan tetap bersama. Itinerary atau tujuan yang pasti akan meminimalisir kericuhan yang terjadi selama dalam perjalanan. Namun meski sudah memiliki tujuan yang pasti, jangan lupa untuk tetap fleksibel. Kita toh bukan agen perjalanan yang rigid jam sekian harus sampai di sini, jam sekian harus ngapain, yekan?
The Tripsters sendiri tak pernah memiliki skedul itinerary yang terlalu ketat. Paling kita hanya menentukan bareng bahwa hari ini kita (misalnya) mau ke Agrowisata Salib Putih dan Museum Kereta Api Ambarawa. Tapi ternyata sempat melipir juga ke Goa Keep. Kita pernah juga merencanakan mau ke Lasem Rembang, eh malah jadinya ke Umbul Sidomukti, lalu ke Rawa Pening, dan dilanjut makan siang di Pasar Salatiga. Pernah waktu itu saya sudah merencanakan pengin ke Karangasem Bali, tapi batal karena konsensus bersama. Meskipun pernah juga waktu kami traveling ke Penang, tanpa konsensus saya memaksa memasukkan Miami Beach, Batu Ferringhi ke dalam itinerary.
3. Saling Berkontribusi
Rantai sebuah kelompok akan berfungsi dengan baik kalau masing-masing anggotanya saling berkontribusi. Ibaratnya puzzle, masing-masing potongannya saling berkontribusi untuk membentuk sebuah gambar/lukisan puzzle yang sempurna. Dan kontribusi yang paling menyenangkan yang bisa kita kerjakan adalah kontribusi yang sesuai dengan minat kita. Bisa fotografi, bisa penyediaan konsumsi, bisa apa saja. Bisa kalian bayangkan, apa yang akan terjadi jika dalam sebuah kelompok ada seseorang yang hanya berdiam diri saja atau terima beres sementara yang lainnya sibuk mengerjakan ini dan itu?
Pernah suatu ketika saya jalan dengan kelompok lain. Ada satu orang, yang selalu minta difotoin. Setiap sampai ke suatu tempat, ia langsung menyodorkan kameranya dan langsung minta difoto dengan berbagai pose. Giliran dimintai tolong balik, mengerjakannya dengan males-malesan. Kan bikin BT yekan?
Ketika The Tripsters mendapat tawaran dari Air Asia untuk mengangkat Kota Melaka, masing-masing dari kami berbagi tugas. Saya yang berhubungan dengan pihak Air Asia, Fahmi dengan sigap menghubungi pihak hotel kenalannya di Malaka, Gio menyiapkan proposal, Richo dengan cekatan menawarkan ide-ide kreatifnya, sementara Bobby menyiapkan berjenis-jenis kamera yang dimilikinya untuk keperluan dokumentasi.
Baca juga: Concorde Hotel Kuala Lumpur, kenyamanan di pusat kota
4. Miliki Minimal Satu Bidang Keahlian
Ini masih ada kaitannya dengan kontribusi. Bagaimana kita bisa berkontribusi jika tak satupun keahlian yang kita miliki yekan? Keahlian itu bisa macam-macam bentuknya. Gak selalu harus yang teknis, seperti fotografi misalnya. Keahlian itu bisa dalam bentuk sangat ahli dalam menyemarakkan suasana.
Coba bayangkan jika dalam perjalanan mobil selama 5 jam, semua penghuninya pendiam atau serius semua? Garing banget yekan? Di Genk Binals, ada Richo yang senantiasa mencerahkan suasana yang muram dengan lontaran kalimat yang kocak.
Dibanding yang lainnya, level keahlian saya di bidang fotografi terhitung cupu. Tahu sendiri-lah gimana perfectnya hasil jepretan Bobby, Richo, Gio dan Fahmi. Apalah saya ini. Hanya butiran debu sahaja. Tapi kalau soal menawar harga, saya paling jago di antara mereka.
Tak heran, peristiwa ‘kain mahal di Pasar Sukawati Bali’ jadi melegenda hingga saat ini. Gara-garanya, saya bisa menawar kain tenun Bali dengan harga yang lebih murah dibanding yang RIcho beli. Padahal saat itu Richo merasa bahwa kain yang dia beli-lah yang paling murah. Eh ternyata masih terhitung mahal. Itulah kenapa kain tenun dia disebutnya sebagai kain mahal. Hahaha… Dan sejak kejadian itu, kalau ada yang mau beli sesuatu di pasar, sayalah yang akan maju menawar harga.
Selain itu, kesediaan untuk membantu juga merupakan suatu keahlian juga. Jika teman terkena diare, carikan dia obat. Meskipun itu memaksamu untuk jalan kaki berkilometer. Jika ada teman yang HP-nya mati karena kemasukan air, belikan ia beras. Meskipun itu memaksamu untuk jalan kaki ke pasar. Dan seterusnya.
5. Tunjuk Menteri Keuangan
Apa penyebab utama terjadinya perceraian antara suami-isteri? Jawabannya: uang. Suami-isteri yang terikat dalam mahligai yang suci saja bisa berpisah gegara uang, apalagi dengan pertemanan? Sangat mudah pertemanan hancur (minimal menjadi renggang) yang diakibatkan oleh uang. Seringkali ada teman yang minta dibayarkan lebih dulu, dengan dalih nanti akan diganti. Tapi nyatanya, sampai trip selesai, dia seolah santai saja. Pas ditagih, eh malah menghindar. Pertemanan pun malah menjadi renggang karenanya.
Beruntunglah, The Tripster punya Fahmi Anhar. Cara kerjanya rapi. Jadi, sebelum trip dimulai, dia biasanya meminta masing-masing anggota untuk menyerahkan iuran sebesar yang telah ditentukan. Kegunaan uang bisa macam-macam, baik untuk beli tiket bus/kereta, makan, ngasih tips dan lain-lain. Kalau uang sudah tiris, padahal trip masih ada beberapa hari lagi, ia tak segan-segan melakukan pengetatan.
Pernah suatu ketika meskipun berlima, kami hanya pesan menu 4 piring. Saya-lah yang harus pindah dari 1 piring ke piring lainnya. Dan jika trip telah berakhir, ia akan mengirimkan catatan pengeluaran dan pemasukan secara lengkap ke semua anggaota. Dan jika ada uang sisa, dia akan membaginya rata. Bahkan meskipun itu sisa Rp 50.000,- tetap akan dibagi rata.
6. Tetap Waspada, Jangan Sampai Lengah
Waspada yang saya maksudkan di sini adalah wasapada ke luar dan waspada ke dalam. Biasanya karena keasyikan bercanda bareng kita suka kurang waspada. Sebelum berangkat ke suatu destinasi, perlu saling mengingatkan barang-barang yang akan dibawa. Jika di tengah perjalanan, ada ransel teman yang terbuka, segera beri tahu. Habis makan, jangan sampai dompet tertinggal. Dan lain sebagainya.
Selain waspada ke luar, jangan lupakan juga waspada ke dalam.
Maksudnya gini… The Tripster itu rata-rata anaknya jahil. Kalau kita gak waspada ke dalam, bisa matilah awak jadi korban keisengannya. Gak pengin kan foto-fotomu yang dalam kondisi jelek parah beredar luas di media sosial? Misal difoto pas lagi tidur sambil mulut nganga. Ya ampun, jangan sampai terjadi deh. Makanya, perlu waspada tingkat tinggi. Kalau perlu miliki foto mereka dalam kondisi jelek parah juga. Ini bisa dipakai sebagai amunisi jika foto jelek kita disebarkan dengan semena-mena. Hahaha…
7. Murah Hatilah Bilang ‘MAAF’ dan ‘TERIMAKASIH’
Akan selalu ada masalah di setiap perjalanan. Terkadang jika sudah jalan kaki seharian, kondisi fisik sudah lelah, masalah sedikit saja, akan memicu adu mulut. Secepat mungkin minta maaflah jika ada perselisihan dengan teman yang lain. Merendahkan ego terasa lebih ringan dibandingkan perjalanan bareng teman dengan suasana yang tidak nyaman karena adanya perselisihan.
Di akhir traveling, setelah semuanya pulang ke tempat masing-masing, The Tripsters punya kebiasaan rutin. Kami saling meminta maaf dan berterimakasih. Minta maaf, jika dalam kebersamaan kemarin sempat ada gesekan-gesekan, perselisihan, suasana yang tidak nyaman, dlsb. Berterimakasih, karena telah saling merendahkan ego masing-masing sehingga perjalanan kemarin itu tetap terasa menyenangkan.
Sebenarnya masih ada beberapa tips yang ingin saya sampaikan. Tapi kalau terlalu panjang, biasanya Bobby akan teriak ‘Sukanya panjang-panjang kalau nulis. Gak SEO banget deh.’ Makanya saya cukupkan sekian saja.
Ke 7 tips yang saya tulis jika dapat dipenuhi, saya kira sudah dapat menjadi bekal yang cukup buat kamu yang pengen traveling bareng teman. Doakan juga agar The Tripsters masih akan terus melakukan perjalanan bersama ke destinasi-destinasi yang lain. Dengan begitu, saya masih akan bisa menceritakan keunikan, keseruan dan keuring-uringan yang ada dalam perjalanan kami.