Secangkir Kopi dan Perspektif Baru di Kampung Kopi Banaran

Sekitar jam 11 siang, saya, Deli, Isna dan Lila sampai di Kampung Kopi Banaran. Area wisata agrobisnis ini berada persis di pinggir jalan, tepatnya di Jalan Raya Semarang – Solo Km. 35. Berhubung saat itu long weekend, tak heran jika kondisinya sangat ramai pengunjung. Kami langsung menuju loket penjualan tiket kereta wisata untuk keliling perkebunan kopi yang juga dikenal sebagai Kebun Getas Afdeling Assinan.

Sayang sekali, saking antrinya, oleh petugas loket kami diinformasikan bahwa butuh 2-3 jam menunggu sampai jatah giliran kami tiba. Kami ingin sekali mengelilingi kebun kopi tapi malas antri. Sebelum menentukan pilihan, kami berjalan-jalan dulu sambil berfoto-foto.

Kampung Kopi Banaran

Saya dan kawan-kawan lalu berembug untuk memutuskan apakah kita akan dengan sabar menunggu antrian hingga 3 jam atau membatalkan keinginan kami untuk mengelilingi area perkebunan kopi itu. Akan tetapi keputusan bersama yang lahir adalah… kami akan berjalan kaki mengelilingi kebun kopi. Saya sampai 3 kali bertanya, “Yakin? Jalan kaki?”

Bukannya apa-apa, area Kampung Kopi Banaran itu luas sekali. Di dalam area itu terdapat kolam renang, taman kupu-kupu, flying fox, camping ground, taman yang dilengkapi dengan gazebo, hutan, hotel/villa, dan lain sebagainya.

Baca juga: Kuliner Solo: Drama di Warung Tengkleng Yu Tentrem

Cafe di kampung kopi banaran

Saya mencoba memberi gambaran ke teman-teman, bahwa perjalanan mengelilingi kebun kopi itu meski gak terlalu berat tapi juga gak terlalu ringan. Kalau naik kereta wisata butuh waktu sekitar 15-20 menit, sedangkan kalau berjalan kaki butuh waktu sekitar 1-1,5 jam. Jalannya juga tidak datar, melainkan sedikit menanjak. Namun rupanya, keputusan teman-teman sudah bulat dan telak! Tak bisa lagi ditawar-tawar. Kami akan menyusuri kebun kopi Banaran dengan berjalan kaki.

Di dalam kampung kopi Banaran

Selangkah demi selangkah kami mulai mengayunkan kaki menapaki jalanan yang tidak terlalu lebar dan agak menanjak. Sesekali kami berhenti untuk mengatur nafas dan kemudian melanjutkan perjalanan. Pada saat berhenti, saya mengedarkan pandangan ke perkebunan kopi yang terhampar luas. Sejauh mata memandang, hanya hijau yang tampak. Sembari menikmati pemandangan, tak lupa kami juga membalas sapaan sopir kereta wisata yang membawa rombongan wisatawan yang mengelilingi kebun kopi.

sajian kopi di kampung kopi banaran

Beberapa kali saya termangu sambil membayangkan bagaimana indahnya perkebunan itu ketika biji kopi mulai berwarna merah tua. Lalu para petani kopi mengenakan caping dan dengan penuh semangat memanen biji-biji kopi yang sudah siap dipetik. Mereka berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya.

Sayang, saat itu sebagian besar usia biji kopi masih muda. Warnanya masih hijau dan menyembul diantara dedaunan. Selain itu, saya juga agak kecewa karena tak bisa melihat langsung aktivitas pengolahan biji kopi di pabrik yang lokasinya tak jauh dari perkebunan. Menurut keterangan petugas yang berjaga di pusat informasi, pabrik hanya bisa dikunjungi hanya pada hari kerja.

banaran6

Sebenarnya, ada banyak keuntungan ketika kita memutuskan untuk berjalan kaki menyusuri seluruh perkebunan kopi. Yang pertama, kita bisa menghemat Rp 60.000,- biaya naik kereta wisata. Kedua, akan lebih sehat karena bisa berkeringat dan ada kemungkinan berat badan menyusut beberapa kilo. Obrolan tentang menyusut beberapa kilo ini sempat menjadi trending topic diantara kami berempat. Lila bilang, menyusut 2 kilo. Sedangkan Isna dan Deli memperkirakan kita masing-masing menyusut 3 kilo. Tentang kebenarannya, saya sendiri tak bisa memastikan. Karena belum ada bukti ilmiah yang bisa mengklarifikasi.

Yang bisa saya janjikan adalah pemandangan tepat di atas puncak bukit sangat indah sekali. Kita bisa melihat keindahan Rawapening yang berada di cekungan terendah tiga gunung, yakni Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo dan Gunung Ungaran.

banaran7

Setelah mencapai puncak bukit, maka jalan yang kemudian kita lewati cenderung menurun. Kalau anda berniat berjalan kaki juga, saya sarankan untuk memakai sepatu yang alasnya agak tebal. Mengingat, batu-batu yang berada di tengah jalan tersebut agak tajam.

Setelah menyelesaikan rute di perkebunan kopi, kami beranjak menuju Café Kopi Banaran. Rasanya kurang afdol kalau tidak mencicipi kopi yang bahannya diambil langsung dari perkebunan kopi tersebut. Maka, saya memesan secangkir kopi special Banaran dan segelas juice buah durian yang kebetulan saat itu menjadi salah satu pilihan ‘Menu Hari Ini.’ Isna dan Deli memesan es kopi Banaran, sedangkan Lila memilih es jeruk. Ya ampun, Lil, jauh-jauh ke Banaran kok mesennya es jeruk sih?

Baca juga: Pesona Cemara Udang di Pantai Lombang

banaran8

Sebagai teman minum kopi, kami juga memesan cemilan mendoan, singkong goreng dan pisang bakar madu. Mendoannya kurang maknyuss terasa hambar dan kurang asin. Pisang madunya lumayan enak. Sedangkan singkong gorengnya saya belum sempat mencoba sudah keburu disikat dan masuk perut Lila, Isna dan Deli. Hiks.

banaran9

Minum secangkir kopi sudah menjadi ritual saya di pagi hari sebelum memulai pekerjaan. Biasanya saya ambil satu sachet kopi, lalu dituangi air dari dispenser, diaduk-aduk, sambil saya nikmati aromanya. Aroma itu yang biasanya membangkitkan suatu sensasi tersendiri. Setelah puas menciumi aroma kopi yang baru saja diseduh, saya bawa kopi di atas meja. Di meja biasanya sudah tersedia roti bakar atau cemilan lain sebagai teman minum kopi. Sambil menyeruput kopi perlahan-lahan, tangan saya memegang smartphone untuk mencari informasi terbaru, baik dari media social maupun dari portal berita. Begitu terus setiap pagi. Berulang kali.

Baca juga: Yang mistis dan legendaris di Museum Radya Pustaka Solo

banaran10

Tapi, kali ini, menikmati kopi di dekat perkebunan kopi, membuat saya keluar dari kebiasaan sehari-hari. Menikmati kopi saat itu, membuka atau mengundang perspektif baru dalam diri saya. Bahwa untuk menjadi secangkir kopi yang saya nikmati setiap pagi, ada proses yang sangat panjang yang harus dilalui. Mulai dari menanamnya, menjaga agar tak diserang hama, memanen, memilih dan memilah biji-biji kopi yang berkualitas, memproduksinya di pabrik, pengemasan, distribusi, sampai ke penyajian terakhir.

Dari situ, kita bisa membayangkan betapa banyak pihak yang berkontribusi untuk menghasilkan (hanya) secangkir kopi. Saya tiba-tiba tersadar, bahwa untuk hal-hal yang kita anggap kecil atau remehpun, sesungguhnya kita butuh bantuan orang lain. Sebenarnya tidak cuma kopi, tapi juga ketersediaan nasi, sepotong kue, sesendok garam atau gula, dan sebagainya. Intinya, kita tak pernah bisa hidup sendiri. Dan rasanya, bukan suatu hal yang luar biasa kalau kita perlu bersyukur dan mengucapkan terimakasih terhadap banyak pihak yang telah berkontribusi itu.

banaran11

Lalu apa sebenarnya perspektif itu?

Coba perhatikan gambar di atas baik-baik. Bagaimana anda melihat gambar lautan tersebut? Perspektif yang sempit pasti akan mengatakan bahwa yang dia lihat hanyalah laut yang luasnya terbatas pada dua batu karang di samping kiri dan kanan. Sementara, perspektif yang luas akan mengatakan, bahwa laut itu luasnya tak tehingga. Meskipun pandangannya terhalang oleh batu karang yang berada di samping kiri dan kanan.

Kalau bicara soal perspektif, salah satu buku yang mengingatkan akan hal tersebut adalah buku/novel yang berjudul The Noticer. Buku yang ditulis Andy Andrews ini, berkisah tentang pria tua bernama Jones yang menemui beberapa orang yang sedang punya masalah. Dari mulai seseorang yang ingin bunuh diri, trus ada juga yang merasa hidupnya tak berarti lagi, sampai pada pernikahan yang sudah kehilangan cinta.

banaran12

Dengan cara yang bijak dan tanpa menggurui, Jones berusaha untuk membuka dan mengenalkan perspektif pada orang-orang yang bermasalah tadi. Ia juga menjelaskan bagaimana perspektif dalam hidup akan membuat kita menjadi lebih baik. Dan hanya dengan perspektiflah maka sukses atau goal yang ingin kita raih bisa tercapai. Saya tak bisa membayangkan bagaimana seorang pemimpin organisasi atau pemilik perusahaan bisa sukses tanpa memiliki perspektif.

Tapi memang, ketika berada dalam suatu masalah yang pelik, seringkali kita merasa tidak menemui jawabannya. Padahal, kondisi yang demikian itu, sesungguhnya hanya karena kita kurang mengerti tentang perspektif. Dengan memiliki perspektif, kita akan dituntun menuju ke pemikiran yang jernih, sehingga dapat membantu kita menyelesaikan masalah yang kita hadapi.

Ini seperti yang disampaikan Andy Andrews dalam buku The Noticer, “Pada masa-masa yang membuat putus asa, lebih daripada yang lain, orang membutuhkan perspektif karena perspektif membawa ketenangan, ketenangan membawa pada pemikiran jernih. Pemikiran jernih menghasilkan gagasan baru. Dan gagasan menerbitkan mekarnya jawaban. Jaga agar pikiran dan hati kalian tetap jernih. Perspektif bisa dengan mudah hilang sebagaimana ia bisa dengan mudah ditemukan.”

Lalu bagaimana dengan anda hari ini? Sudah punya perspektif baru untuk masalah yang ada? Kalau belum, mungkin anda butuh secangkir kopi.

Writer. Lecturer. Travel Blogger. Broadcaster

Related Posts