Ke Klaten, Menguak Kisah Kain Tenun Lurik

Klaten (Bahasa Jawa: Klathen) merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah dan boleh dibilang wilayah yang cukup subur karena letaknya memang dekat dengan Gunung Merapi. Secara geografis kota ini diapit oleh dua kota besar bekas Kerajaan Mataram, yaitu Yogyakarta dan Solo. Mungkin saking besarnya potensi kedua kota yang mengapitnya, tak jarang hal ini membuat Klaten hanya dianggap sebagai pupuk bawang atau menjadi daerah yang kurang diperhitungkan bagi kalangan wisatawan. Tapi apa iya, di kota yang konon berasal dari kata “Kelathi” (buah bibir) ini memang benar-benar gak ada destinasi yang menarik?

Hohoho… jangan salah.

Meskipun terhitung kota kecil, Klaten banyak menyimpan potensi destinasi wisata. Ada wisata sejarah, seperti misalnya: Museum Gula, Candi Sewu, Candi Plaosan, Benteng Loji (Fort Engelenburg) dan sebagainya. Jika menyebut wisata alam, maka nama Umbul Ponggok akan langsung berada di urutan teratas. Nah, kalau yang disebut adalah wisata tenun di Jawa Tengah, sudah pasti Klaten-lah yang muncul sebagai juaranya. Ada beberapa sentra tenun lurik yang dapat kita kunjungi. Dan sebagai pemerhati kain tenun, justru alasan terakhir inilah yang membuat saya bersemangat mengeksplor Klaten.

Klaten Identik dengan Tenun Lurik. Klaten adalah Tenun Lurik

Monumen Tenun Lurik Klaten

Usia tenun lurik di Indonesia, hampir setua sejarah berdirinya bangsa ini. Dari sejak jaman Majapahit, tenun lurik sudah dikenal masyarakat. Lurik juga muncul pada relief Candi Borobudur. Dimana pada reliefnya tergambar seseorang yang sedang menenun dengan alat tenun gendong. Prasasti Raja Erlangga Jawa Timur tahun 1033 ada juga menyebutkan tentang kain tuluh watu. Sementara tuluh watu itu adalah salah satu motif klasik tenun lurik.

Sekarang ini, Klaten merupakan daerah yang paling perhatian terhadap keberlangsungan hidup tenun lurik. Tak salah jika ada yang menyebut bahwa Kabupaten Klaten itu merupakan ibukota tenun lurik. Pasalnya, tenun ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) lurik menjadi andalan kota ini. Ada banyak sekali desa yang menjadi sentra pengrajin lurik. Bahkan jika kita memasuki atau melewati kota Klaten, maka di pintu masuknya kita akan menemui monumen berupa patung seseorang yang sedang menenun dengan ATBM. Monumen yang dibangun pada tahun 2012 ini, berdiri di Jalan Raya Yogyakarta-Solo, atau tepatnya di perempatan Tegalyoso, Klaten.

Perajin tenun lurik klaten
Salah seorang perajin tenun di Desa Tlingsing

Dulu, ketika kain tenun lurik masih berada di jaman keemasannya, hampir semua penduduk di Klaten melakukan pekerjaan menenun. Jumlahnya ribuan. Keberadaan sentra tenun lurik menyebar di beberapa kecamatan antara lain, Pedan, Cawas, Bayat, Juwiring, Karangdawa dan Delanggu yang terkenal dengan beras rojolele-nya. Namun seiring persaingan bisnis kain yang makin ketat, dimana pasar lebih memilih harga murah, maka keberadaan sentra tenun lurik semakin berkurang. Dan dari sedikit yang masih bertahan itu diantaranya adalah Desa Wisata Tenun Tlingsing dan Lurik Prasojo di Pedan.

Baca juga: Maumere: Berburu Tenun di Desa Sikka

Sentra Tenun Lurik Tlingsing

Sentra Tenun Lurik Tlingsing
Gerbang masuk Sentra Tenun Lurik Tlingsing

Setelah sempat nyasar kesana-kemari, akhirnya saya sampai juga di Desa Tlingsing Kecamatan Cawas. Tiba di depan gapura masuknya kira-kira sudah jam 12.30 WIB. Saat itu matahari tengah semangat-semangatnya mengeluarkan sengatnya. Duhai, sengatan yang luar biasa. Bahkan menurut saya, panasnya melebihi sengatan matahari di Semarang. Tentu saja statement saya ini butuh data valid untuk klarifikasi. Hahaha…

Sepanjang jalan menuju Tlingsing, tak satupun kendaraan roda empat yang saya temui. Motor pun hanya 1-2 saja yang lewat. Jadi, santai saja kalau datang ke sini. Karena meskipun lebar jalannya hanya muat satu mobil saja, namun tak ada mobil lain yang akan berpapasan dengan kita. Namun hati-hati, jangan sampai salah jalan. Putar baliknya agak PR yaaa… mengingat saking sempitnya jalan. Selain itu, lebih baik matikan GPS dari ponsel karena sinyal tak mau bersahabat dengan kita di lokasi ini. Mending gunakan GPS yang lain, yaitu ‘Gunakan Penduduk Setempat’.

Persawahan di Tlingsing Klaten
Area persawahan di Tlingsing yang habis dipanen

Melewati jalan-jalan sempit di Tlingsing, di kanan-kiri jalan, kita akan disuguhi pemandangan area persawahan yang luas. Hanya sayang, waktu itu para petani tampaknya baru saja melakukan panen raya, sehingga saya tak menjumpai hamparan persawahan yang hijau selain batang-batang padi yang menguning habis dipotong. Tak terlihat juga para petani yang sibuk menjaga sawah, hanya saja terlihat 2-3 orang yang sedang membajak sawah dengan menggunakan hand tractor.

Baru beberapa langkah saja memasuki area perumahan warga di desa ini, saya sudah disambut dengan suara dag-dog-dag-dog yang berasal dari alat tenun ATBM. Suara itu terdengar sayup-sayup namun seolah bersahut-sahutan. Rupanya, jam-jam segini, merupakan jadwal menenun bagi warga desa ini. Padahal tadinya saya sempat berpikir, tak akan bisa menjumpai warga yang sedang menenun karena sudah terlalu siang sampai di sini. Tapi ternyata, banyak warga yang tengah bekerja dengan alat tenun ATBM-nya. Saya sempatkan diri untuk mengetuk pintu ke Pak RT (yang menemui Bu Widodo, istrinya). dan darinya saya mendapat informasi bahwa di wilayah inilah paling banyak jumlah penenunnya di banding desa lain di Klaten.

Mbah Sono, yang masih tetap semangat menenun meski tangannya sudah lumpuh separuh

Sekembalinya dari rumah Pak RT saya mulai melangkahkan kaki menuju ke beberapa rumah yang di dalamnya terdengar suara alat yang sedang dipakai untuk menenun. Salah satu yang saya temui adalah Mbah Sono. Di rumahnya yang sebagian masih terbuat dari anyaman bambu, berlantaikan tanah, Mbah Sono tinggal sendiri. Anak cucunya lebih memilih meninggalkan desa dan bekerja di luar kota. Usianya sekitar 80 tahun. Matanya yang tua, masih saja awas melihat jika ada benang yang putus dan segera dibetulkannya. Salah satu tangannya sudah susah digerakkan, namun ia tetap penuh semangat menggerakkan alat tenunnya. Dari tangannya yang sudah keriput itu, lahir sebuah karya seni tenun lurik. Tetap sehat ya Mbah…

Baca juga: Kemesraan Kultur Tionghoa dan Jawa terekam di Lasem

Sentra Tenun Prasodjo Pedan

Showroom kain lurik prasodjo
Showroom Lurik Prasodjo

Pedan, kecamatan di Kabupaten Klaten dikenal sebagai pusat kerajinan tenun lurik. Di daerah ini lurik memiliki sejarah yang sangat panjang, serta cerita pasang surut yang mengiringinya. Ada sentra tennun lurik yang masih bisa bertahan, namun banyak pula yang tumbang. Salah satu yang masih bertahan yaitu Sentra Tenun Prasodjo yang didirikan Sumo Hartono sejak tahun 1950. Nama itu kemudia disingkat menjadi SH dan dijadikan logo merek.

Berbeda dengan sentra tenun lurik Tlingsing yang masih menggunakan ATBM, maka di Lurik Prasojo ini sudah menggunakan Alat Tenun Mesin (ATM). Ini dilakukan mengingat  perkembangan teknologi sudah sedemikian pesat. Dan setelah menggunakan mesin tenun, maka produksi tenunnya juga semakin variasi. Tak melulu hanya warna dan motif yang klasik saja.

Produk penenun dari Tlingsing
Hasil karya para penenun dari Tlingsing yang memakai pewarna alami

Lurik Prasodjo terletak di Kampung Pencil, Kelurahan Bendo, Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten. Saya tiba di lokasi ini sekitar jam 3 sore. Bebarengan dengan bubarnya ratusan karyawan yang bekerja di situ. Agak sulit mendapat tempat parkir, karena mobil-mobil yang parkir banyak sementara tempat parkirnya terbatas. Rupanya banyak juga yang akan membelanjakan uangnya untuk membeli tenun lurik.

Dan benar saja. Begitu saya masuk ke showroom Lurik Prasodjo, di situ memang sudah berjubel para pembeli yang sibuk memilih kain tenun lurik. Ruangan showroom tidak terlalu luas, hanya terdiri dari 2 ruang saja. Di masing-masing ruangan tadi, berserakan kain-kain yang siap dibeli. Beragam motif dan warna yang bisa kita pilih. Selain kain, ada juga sandal lurik, tas lurik, baju ready to wear, bantal, dan sebagainya. Tinggal pilih saja mau beli yang mana. Ada banyak staff yang siap melayani. Mungkin karena banyak pembeli saat itu, saya merasa agak terabaikan. Tanya harga, dibilang gak tau. Tanya motif, dibilang gak tau juga. Ya ampun.

Baca juga: Moni: Berburu Tenun di Pemo dan Mbuli Lo’o

Makna Filosofis Motif Kain Tenun Lurik

Motik kain lurik hujan liris
Motif Lurik Hujan Liris

Kata atau istilah lurik berasal dari bahasa Jawa “lorek” atau “rik” atau “lirik-lirik.” Dalam bahasa Jawa kuno lorek berarti lajur atau garis, belang dan dapat pula berarti corak. Dan karena corak kotak-kotal itu terdiri dari garis-garis yang bersilang, maka corak kotak-kotak (cacahan) bisa juga dikategorikan sebagai lurik. Sementara laHal tersebut dikarenakan corak kotak-kotak terdiri dari garis-garis yang bersilang, maka corak kotak-kotak atau cacahan dinamakan pula lurik. Sementara kalau menurut para pakar Kejawen, secara religi “rik” itu berarti garis atau parit dangkal yang membekas yang menyerupai garis yang sulit dihapus.

Sejak zaman dahulu di daerah Jawa banyak dibuat kain tenun lurik yang memiliki aneka ragam corak dengan latar belakang filosofis tinggi. Makanya, di beberapa daerah seperti di Solo atau Yogyakarta, penggunaan kain lurik selalu berbeda-beda, disesuaikan dengan makna dan tujuannya. Motif kain lurik tradisional memiliki makna yang mengandung petuah, cita-cita serta harapan kepada pemakainya. Selain itu lurik juga dianggap memiliki kekuatan yang bersifat mistis. Bahkan sebagaian besar masyarakat pada waktu itu juga meyakini, bahwa jika mereka mengenakan pakaian lurik dengan motif tertentu, maka ia akan merasa lebih tenteram karena merasa terlindungi kesejahteraannya.

Motif Telupat

Motif Kain Lurik Telupat
Motif Lurik Telupat

Ciri-ciri motif lurik ‘telupat” adalah kain yang lirik-liriknya selang-seling tiga garis-empat garis/lajur. Motif ini berasal dari kata akronim telu (tiga) dan papat (empat) lajuran, sehingga jika dijumlahkan menjadi pitu atau tujuh garis. Angka 7 merupakan angka keramat yang dalam kepercayaan tradisional Jawa melambangkan kehidupan dan kemakmuran.

Konon motif ini diciptakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I. Beliau memilih perbandingan kedua satuan kelompok tersebut dengan perbandingan 3:4 daripada 1:6 atau perbandingan 2:5, karena kecuali serasi untuk dipandang mata, juga mengandung makna falsafah.

Perbandingan 3 : 4 tidak terlalu mencolok, tidak jauh bahkan berdekatan, dibanding dengan perbandingan lainnya. Makna yang terkandung adalah bahwa seseorang yang lebih besar (bukan dalam arti harfiah) seperti umpamanya raja atau penguasa, harus dekat dengan rakyatnya serta harus merupakan pemberi kemakmuran dan kesejahteraan serta pengayom pada rakyatnya.

Motif Tumbar Pecah

Motif Tumbar Pecah diibaratkan orang memecah ketumbar dan seharum aroma ketumbar. Motif ini digunakan untuk upacara tingkeban atau mitoni dengan maksud agar kelahiran berjalan dengan lancar semudah orang memecah ketumbar, ibu dan anak dalam keadaan selamat serta anak menjadi anak yang berguna dan harum namanya.

Motif Udan Liris

Motif Lurik Pelangi
Motif Lurik Pelangi

Motif Udan Liris artinya hujan gerimis. Di Jawa, ada suatu keyakinan bahwa hujan mengandung konootasi mendatangkan kesuburan. Tak heran jika kemudian motif ini melambangkan kesuburan dan kesejahteraan.

Motif udan liris merupakan salah satu corak yang dipakai penguasa dengan harapan si pemakai diberkati oleh Yang Maha Kuasa dan membawa kesejahteraan bagi para pengikutnya.

Motif Tuluh Watu

Tuluh Watu berarti batu yang bersinar dan dianggap bertuah sebagai penolak bala. Motif ini dapat dipergunakan pada upacara ruwatan sukerta dan sebagai pelengkap sesajen upacara labuhan.

Tuluh dapat berarti pula kuat atau perkasa. Motif Tuluh Watu termasuk sakral, dimana pada masa lalu motif ini hanya boleh dipakai oleh orang tertentu yang berkepribadian kuat dan berbudi luhur.

Di pedesaan kaum wanita pedagang memakai corak ini sebagai selendang untuk membawa barang dalam tugas sehari-hari karena dipercaya mempunyai kekuatan selain kekuatan tenunnya yang kuat

Kain Tenun Lurik Zaman NOW

Aneka kreasi tenun lurik di era jaman now
Aneka kreasi tenun lurik di era jaman now

Sekarang ini pasar tidak lagi peduli tentang warna, jenis, motif, dan makna filosofis di balik sehelai kain tenun lurik yang selama ini dikembangkan oleh para leluhur. Sekarang ini banyak bermunculan jenis, corak dan warna dasarnya yang diambil dari lurik tradisi dengan sentuhan masa kini yang lebih bervariasi mengikuti tren dunia fashion.

Jika kondisi ini dibiarkan terus berlangsung, saya kira bukan gak mungkin tenun lurik semakin termarjinalkan dan lama-kelamaan akan hilang dari peredaran. Dan jika memang itu yang terjadi, berarti memang kita tidak bisa menjadi ahli waris yang dapat menjaga dan mengembangkan warisan adiluhung nenek moyang kita.

Dan barangkali benar, kita tak perlu membawa-bawa masa lampau ke era sekarang. Sekarang sudah era revolusi 4.0 dimana yang mahal dan ribet tak lagi laku, karena yang dibutuhkan serba instant dan yang penting murah.

oOo

Writer. Lecturer. Travel Blogger. Broadcaster

Related Posts